29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:35 AM WIB

Pariwisata “Tidur” Karena Covid-19, Industri Kerajinan Mulai Bangkit

DENPASAR – Industri pariwisata Bali benar-benar dibuat “tidur” oleh pandemi Coronavirus Disease alias Covid-19. 

Seandainya pun kran pariwisata dibuka mulai Kamis (9/7) mendatang, banyak pihak menyangsikan situasi akan segera pulih. Bahkan industri pariwisata disebut akan pulih paling buncit alias terakhir.

“Pada musim pandemi ini semestinya pemerintah mencarikan alternatif industri lain yang bisa menggerakkan ekonomi Bali. 

Ketergantungan perekonomian Bali terhadap pariwisata sangat tinggi, yakni 78 %. Oleh karena itu, kita terpukul begitu telak oleh pandemi Covid-19. 

Banyak prediksi recovery pariwisata yang paling lambat. Bali yang paling terpukul dan selama ini belum ada alternatif 

untuk itu,” ucap Ketut Dharma Siadja, Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) Provinsi Bali, Kamis (2/7) siang.

Karena recovery sektor pariwisata lambat, pengusaha asal Ubud, Gianyar itu menyarankan pemerintah untuk segera move on. 

Produk ekspor kerajinan dan handicraft, khususnya asal Bali jelasnya bisa dijadikan alternatif penyeimbang kondisi terpuruk saat ini. 

“Bali banyak menghasilkan barang kerajinan. Saat pariwisata “tidur” industri kerajinan ini masih bergerak dan menggeliat karena mendapatkan limpahan dari Tiongkok. 

Di masa pandemi ini Bali bisa mengekspor barang kerajinan dengan tujuan Amerika Serikat dan Eropa. Ini pasar tradisional kita,” ucap Ketut Dharma Siadja.

Kerajinan kayu, perak, garmen, dan sejenisnya mulai “bergerak” sejak Mei 2020. Sempat terseok-seok hanya dua bulan, yakni Maret dan April saat AS dan Eropa memberlakukan lock down. 

Sentra kerajinan kayu, perak, garmen ini tersebar di sejumlah titik. Antara lain Tegalalang, Pujung, Tampaksiring, dan Kerobokan. 

“Kerajinan, peternakan, perikanan, dan pertanian ini yang perlu dipikirkan pemerintah untuk menyeimbangkan Bali ke depan. 

Khusus kerajinan, Bali adalah pasar kerajinan nusantara. Masalah di Bali saya pikir adalah bagaimana kehadiran pemerintah mampu memberikan efek domino bagi masyarakat Bali,” ungkapnya.

Ke depan, Ketut Dharma Siadja berharap industri kerajinan, khususnya untuk kebutuhan ekspor semakin digalakkan. 

Pelaku usaha idealnya intens menjalin komunikasi dengan Dewan Kerajinan Nasional Provinsi Bali (Dekranasda) untuk meningkatkan strata atau kelas produknya sehingga memenuhi syarat ekspor. 

“Ke depan para pelaku UMKM atau UMK ini harus memiliki target produknya bisa diekspor ke luar negeri. 

Yang belum bisa ekspor agar menjalin komunikasi dan minta dibina oleh Dekranasda Provinsi Bali,” ungkapnya optimis.

DENPASAR – Industri pariwisata Bali benar-benar dibuat “tidur” oleh pandemi Coronavirus Disease alias Covid-19. 

Seandainya pun kran pariwisata dibuka mulai Kamis (9/7) mendatang, banyak pihak menyangsikan situasi akan segera pulih. Bahkan industri pariwisata disebut akan pulih paling buncit alias terakhir.

“Pada musim pandemi ini semestinya pemerintah mencarikan alternatif industri lain yang bisa menggerakkan ekonomi Bali. 

Ketergantungan perekonomian Bali terhadap pariwisata sangat tinggi, yakni 78 %. Oleh karena itu, kita terpukul begitu telak oleh pandemi Covid-19. 

Banyak prediksi recovery pariwisata yang paling lambat. Bali yang paling terpukul dan selama ini belum ada alternatif 

untuk itu,” ucap Ketut Dharma Siadja, Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) Provinsi Bali, Kamis (2/7) siang.

Karena recovery sektor pariwisata lambat, pengusaha asal Ubud, Gianyar itu menyarankan pemerintah untuk segera move on. 

Produk ekspor kerajinan dan handicraft, khususnya asal Bali jelasnya bisa dijadikan alternatif penyeimbang kondisi terpuruk saat ini. 

“Bali banyak menghasilkan barang kerajinan. Saat pariwisata “tidur” industri kerajinan ini masih bergerak dan menggeliat karena mendapatkan limpahan dari Tiongkok. 

Di masa pandemi ini Bali bisa mengekspor barang kerajinan dengan tujuan Amerika Serikat dan Eropa. Ini pasar tradisional kita,” ucap Ketut Dharma Siadja.

Kerajinan kayu, perak, garmen, dan sejenisnya mulai “bergerak” sejak Mei 2020. Sempat terseok-seok hanya dua bulan, yakni Maret dan April saat AS dan Eropa memberlakukan lock down. 

Sentra kerajinan kayu, perak, garmen ini tersebar di sejumlah titik. Antara lain Tegalalang, Pujung, Tampaksiring, dan Kerobokan. 

“Kerajinan, peternakan, perikanan, dan pertanian ini yang perlu dipikirkan pemerintah untuk menyeimbangkan Bali ke depan. 

Khusus kerajinan, Bali adalah pasar kerajinan nusantara. Masalah di Bali saya pikir adalah bagaimana kehadiran pemerintah mampu memberikan efek domino bagi masyarakat Bali,” ungkapnya.

Ke depan, Ketut Dharma Siadja berharap industri kerajinan, khususnya untuk kebutuhan ekspor semakin digalakkan. 

Pelaku usaha idealnya intens menjalin komunikasi dengan Dewan Kerajinan Nasional Provinsi Bali (Dekranasda) untuk meningkatkan strata atau kelas produknya sehingga memenuhi syarat ekspor. 

“Ke depan para pelaku UMKM atau UMK ini harus memiliki target produknya bisa diekspor ke luar negeri. 

Yang belum bisa ekspor agar menjalin komunikasi dan minta dibina oleh Dekranasda Provinsi Bali,” ungkapnya optimis.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/