RadarBali.com – Penurunan nilai ekspor dari Bali terjadi terjadi di sejumlah lini usaha. Terutama furniture dan kerajinan asal Bali.
Padahal sebelumnya menjadi salah satu komoditas unggulan eksportir. Berdasar data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kayu olahan mengalami penurunan 25,68 persen di bulan Juni 2017.
Persentase itu jika dibandingkan bulan yang sama tahun 2016 lalu. Menyikapi hal ini, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) DPD Bali, tak menampik bahwa masalah itu sudah terjadi memasuki awal tahun ini.
Sekretaris HIMKI DPD Bali, Zanny Zapata Chandra mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi turunnya ekspor kayu.
Mulai soal bahan baku yang mahal, hingga regulasi ekspor. Seperti, untuk mendapat Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang cukup rumit dengan pengeluaran biaya yang cukup mahal.
“Permasalahan terbesar masih SVLK, banyak pengerajin di Bali belum mampu untuk memenuhi persyaratan regulasi ini. Akhirnya teman- teman menggunakan jasa perantara yang akhirnya akan menambah cost produksi,” klaimnya.
Untuk itu lanjut Zanny, dari HIMKI pusat telah melakukan beberapa cara untuk meningkatkan kembali ekspor di bidang komoditas kayu.
Dengan memperjuangkan kemudahan regulasi kayu untuk UKM , juga melakukan pendekatan dengan Perhutani untuk kesediaan bahan baku.
Sementara dari tenaga kerja, saat ini sedang mengkaji peluang membangun akademi vokasi kayu untuk menghasilkan tenaga terampil.
“Karena yang terjadi juga saat ini keberadaan tenaga kerja tidak sebanding dengan keahlian,” paparnya.
Saat regulasi ekspor sudah banyak yang dipermudah?, kata dia untuk di wilayah Bali belum terasa dampak besarnya.
“Untuk regulasi SVLK di industri hilir(furniture atau handicraft), tapi kami dorong regulasinya juga di industri hulu yakni bahan baku,” jelas Zanny.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Ni Wayan Kusumawathi, menyangkal pihaknya telah mempersulit regulasi.
“Menurut saya tidak mempersulit, kami memfasilitasi perajin untuk mendapatkan verifikasi legal,” sangkalnya via pesan singkat.
Sementara itu, pengamat ekonomi Wayan Ramantha mengatakan kalau regulasi yang diterapkan saat ini sudah bagus, menurunnya ekspor di komoditas kayu ini lantaran terkendala bahan baku.
Untuk memperoleh bahan baku, biaya yang dikeluarkan cukup banyak. Misalnya, ketika kayu tersebut di dapat dari wilayah NTT, kemudian di olah menjadi bentuk produksi di Bali dan kemudian dikirim melalui laut yang terlebih dahulu dikirim menuju Surabaya untuk mencapai negara tujuan.
“Jadi biaya sangat mahal. Karena Bali belum memiliki pelabuhan langsung,” jelasnya. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana ini menambahkan menurunnya ekspor ini juga dipicu permintaan dari negara tujuan yang berkurang, hal ini karena adanya saingan dari beberapa negara yang juga mengekspor produk yang sama.
“Untuk bisa meningkatkan nilai ekspor ini harus bisa meningkatkan kualitas dan menurunkan harga,” pungkasnya.