DENPASAR – Mahalnya harga daging ayam di Bali disebabkan banyak faktor. Salah satunya karena pola beternak peternak ayam Bali yang dianggap konvensional.
Karena itu, Dinas Peternakan dan Kesehatan Bali sampai meminta peternak untuk terus mencari pola beternak yang bisa
meningkatkan bobot ayam tanpa penggunaan antibiotic growth promoters (AGP) yang dilarang pemerintah sejak awal tahun 2018.
Memang saat ini banyak pakan herbal yang bisa digunakan. Namun, pola tersebut hanya bisa diterapkan kepada ayam petelur saja.
Sedangkan untuk ayam pedaging cukup sulit mengingat umur panen yang singkat. Sementara penggunaan herbal baru bisa dilakukan dalam jangka panjang.
“Nah, ini yang terus dilakukan oleh pihak peternak, sampai mendapatkan yang cocok,” beber Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bali I Putu Sumantra.
“Harga daging ayam saat ini memang mahal, tapi kami minta kepada peternak agar harganya bisa diturunkan di angka Rp 34 per kilogram. Kalau tidak bisa sekarang, ya kita maklumi dulu lah,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Broiler I Ketut Yahya Kurniadi, mengatakan, tengah belajar menerapkan pola ternak baru untuk mengatasi kondisi ini.
Kata dia, seluruh tim ahli dari pabrik pakan saat ini tengah melakukan penelitian. Penelitian yang dilakukan di Jawa bisa di atasi, namun di Bali tidak.
“Ini karena masalah day old chicken (DOC). Kalau faktor DOC tidak bagus akan berpengaruh ke produksi. Saat ini dengan pola normal kami harus ekstra hati-hati. Mungkin kami targetkan Mei ini sudah bisa teratasi,” janjinya.
Ketua Perkumpulan Rumah Potong Unggas (Perpu) Bali Sang Putu Sudarsana mengatakan, pihaknya telah mendatangkan daging ayam dari Jawa untuk memenuhi permintaan dari beberapa konsumen di luar pasar becek.
“Dalam satu bulan permintaan daging ke Jawa antara 50 sampai 90 ton per masing-masing rumah potong. Dalam satu hari pemesanan daging dari Jawa rata-rata mencapai 3 ton,” pungkasnya