33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 11:55 AM WIB

Jelang Musim Panen, Petani Kopi di Pupuan Tabanan Sepi Order

TABANAN – Meski belum memasuki masa panen, petani kopi di Pupuan saat ini tengah gelisah. Itu karena kekhawatiran mereka saat panen tiba pada Agustus mendatang, produksinya tidak terserap akibat Covid-19 ini.

Pesanan yang biasanya sudah masuk sejak bulan Mei ini kini sepi. Terlebih sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari penjualan kopi jenis robusta ini.

Seperti yang dituturkan salah seorang petani kopi asal Banjar Margasari, Desa Pujungan, Pupuan, I Wayan Dira.

Dia mengungkapkan, akses pasar untuk komoditas kopi terhenti dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah akibat corona ini.

Misalnya adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah di Indonesia, Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) hingga tutupnya beberapa kedai kopi tempat petani kopi menyuplai bahan baku.

“Serapan kopi tidak ada, karena outlet dan beberapa hotel tutup. Begitu juga pelanggan dari beberapa daerah,” ucap Dira.

Meski diakui, masih ada permintaan di tingkat lokal Bali, namun jumlahnya sangat sedikit. Terlebih dengan saat ini, banyak yang berkecimpung di bisnis kopi.

Sehingg, kata Dira, persaingan semakin ketat. “Sebelum Covid-19 ini, kami petani di Pupuan rata-rata menyuplai untuk kebutuh outlet kopi di Denpasar, Badung, Jakarta dan beberapa daerah lainya di Indonesia,” paparnya.

Untuk saat ini, stok kopi di tingkat petani yang dipanen tahun lalu sudah habis terjual. Saat ini petani kopi di Pupuan khususnya di Desa Pujungan tengah menunggu panen di bulan Agustus mendatang.

Namun, ada kekhawatiran petani kopi di Pupuan, dengan dihadapkan situasi seperti ini mereka pesimis produksi kopi yang dihasilkan bisa terserap maksimal.

Untuk di Desa Pujungan sendiri, Dira yang juga bertugas sebagai marketing produk kopi biasanya mendistribusikan hingga 5 ton kopi dengan kualitas yang bagus.

“Itu juga dibagi-bagi dengan petani kopi dari desa lain yang memiliki kelompok kreatif. Tapi kalau keseluruhan petani kopi di desa Pujungan sendiri sekitar 500 KK, rata-rata per KK memiliki lahan kopi sekitar 1 hektare,” kata Dira.

Dia berharap, kondisi ini bisa segera pulih. Menurutnya, guncangan Covid-19 jika dibanding dengan bencana lokal lain seperti erupsi Gunung Agung dan tragedi Bom Bali, lebih parah saat ini.

Pasalnya, pandemi corona ini tidak bisa ditebak akan berakhir sampai kapan. “Biasanya bulan-bulan ini orderan sudah mulai masuk. Ini sama sekali tidak ada.

Karena rata-rata pelanggan kami juga masih wait and see untuk membeli kopi di tengah pandemi covid-19 ini. Kami berharap bisa secepatnya pulih, karena dampaknya hampir dirasakan semua sektor,” tandasnya. 

TABANAN – Meski belum memasuki masa panen, petani kopi di Pupuan saat ini tengah gelisah. Itu karena kekhawatiran mereka saat panen tiba pada Agustus mendatang, produksinya tidak terserap akibat Covid-19 ini.

Pesanan yang biasanya sudah masuk sejak bulan Mei ini kini sepi. Terlebih sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari penjualan kopi jenis robusta ini.

Seperti yang dituturkan salah seorang petani kopi asal Banjar Margasari, Desa Pujungan, Pupuan, I Wayan Dira.

Dia mengungkapkan, akses pasar untuk komoditas kopi terhenti dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah akibat corona ini.

Misalnya adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah di Indonesia, Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) hingga tutupnya beberapa kedai kopi tempat petani kopi menyuplai bahan baku.

“Serapan kopi tidak ada, karena outlet dan beberapa hotel tutup. Begitu juga pelanggan dari beberapa daerah,” ucap Dira.

Meski diakui, masih ada permintaan di tingkat lokal Bali, namun jumlahnya sangat sedikit. Terlebih dengan saat ini, banyak yang berkecimpung di bisnis kopi.

Sehingg, kata Dira, persaingan semakin ketat. “Sebelum Covid-19 ini, kami petani di Pupuan rata-rata menyuplai untuk kebutuh outlet kopi di Denpasar, Badung, Jakarta dan beberapa daerah lainya di Indonesia,” paparnya.

Untuk saat ini, stok kopi di tingkat petani yang dipanen tahun lalu sudah habis terjual. Saat ini petani kopi di Pupuan khususnya di Desa Pujungan tengah menunggu panen di bulan Agustus mendatang.

Namun, ada kekhawatiran petani kopi di Pupuan, dengan dihadapkan situasi seperti ini mereka pesimis produksi kopi yang dihasilkan bisa terserap maksimal.

Untuk di Desa Pujungan sendiri, Dira yang juga bertugas sebagai marketing produk kopi biasanya mendistribusikan hingga 5 ton kopi dengan kualitas yang bagus.

“Itu juga dibagi-bagi dengan petani kopi dari desa lain yang memiliki kelompok kreatif. Tapi kalau keseluruhan petani kopi di desa Pujungan sendiri sekitar 500 KK, rata-rata per KK memiliki lahan kopi sekitar 1 hektare,” kata Dira.

Dia berharap, kondisi ini bisa segera pulih. Menurutnya, guncangan Covid-19 jika dibanding dengan bencana lokal lain seperti erupsi Gunung Agung dan tragedi Bom Bali, lebih parah saat ini.

Pasalnya, pandemi corona ini tidak bisa ditebak akan berakhir sampai kapan. “Biasanya bulan-bulan ini orderan sudah mulai masuk. Ini sama sekali tidak ada.

Karena rata-rata pelanggan kami juga masih wait and see untuk membeli kopi di tengah pandemi covid-19 ini. Kami berharap bisa secepatnya pulih, karena dampaknya hampir dirasakan semua sektor,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/