SINGARAJA – Pembahasan pemberian insentif pajak bagi petani padi di Buleleng, rupanya, masih alot.
Para petani berkeinginan mendapat insentif pengurangan pajak hingga 95 persen dari tarif yang dikenakan. Sementara pemerintah masih bertahan pada angka 75 persen.
Hal itu terungkap dalam rapat panitia khusus (pansus) yang membahas Ranperda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Pertemuan dilangsungkan di Ruang Rapat Komisi II DPRD Buleleng, kemarin. Ketua Pansus Ranperda PLP2B, Putu Mangku Budiasa mengatakan, pembahasan masih berkutat pada insentif bagi petani.
Saat melakukan sosialisasi sepanjang pekan lalu, petani meminta agar pemerintah memerhatikan masalah irigasi. Petani juga memberikan insentif bagi petani. Utamanya pengurangan pajak.
Mangku menilai permintaan itu sangat logis. Sebab lahan petani yang masuk dalam peta PLP2B, hanya bisa diperjualbelikan secara terbatas.
Sehingga nilai jual tanah akan menurun secara drastis. Apabila pengenaan pajak masih merujuk pada peta bidang yang dipegang pemerintah, maka hal itu dianggap masih kurang adil.
“Karena statusnya sudah sawah, menurut kami NJOP-nya disamakan saja. Toh mau di Pancasari, Seririt, Gerokgak, kalau sudah namanya sawah,
ya fungsinya sama. Karena kalau sudah masuk PLP2B, lahan itu pasti jeblok harganya,” kata Putu Mangku Budiasa.
Lantaran klausul insentif masih tarik ulur, ia mengusulkan agar pemerintah memberi insentif lain. Yakni subsidi premi Asuransi Usaha Tanaman Padi (AUTP).
Selama ini pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan subsidi senilai Rp 144 ribu per hektare, per musim tanam. Sehingga petani hanya perlu membayar premi senilai Rp 36 ribu per hektare, per musim tanam.
“Kami minta pemerintah menanggung premi yang Rp 36 ribu ini. Dengan total lahan seluas 6.900 hektare,
pemerintah hanya perlu mengeluarkan uang Rp 750 juta untuk bayar premi. Kami kira ini hal yang penting bagi perlindungan petani,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta mengatakan, selama ini AUTP sejatinya sudah berjalan.
Hanya saja minat petani mengikuti program itu terbilang minim. Sebab dampak kerusakan yang dialami petani harus mencapai 75 persen dari total luas lahan.
“Prinsipnya kami setuju. Selama ini programnya juga sudah jalan. Hanya memang kendala dari petani luas lahan yang harus rusak itu. Petani inginnya paling tidak 50 persen lahan rusak, sudah bisa klaim asuransi,” katanya.