SINGARAJA – Kendati harga bibit babi (kucit) sempat terpuruk akibat wabah penyakit Afrika Swine Fever (ASF) beberapa waktu lalu, peternak kini mulai bisa tersenyum semringah.
Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19 bertepatan perayaan Galungan dan Kuningan, harga kucit di Buleleng malah mengalami kenaikan tajam.
Di Buleleng saat flu babi afrika merebak, harga kucit hanya Rp 200 ribu. Harga kucit tersebut meski murah peternak sangat kesulitan menjual.
Nah saat ini harga kucit yang berumur 50-60 hari dengan harga per ekornya berkisar Rp 600-700 ribu.
Ketut Wijaya salah seorang peternak babi asal Banjar Dinas Joanyar, Desa Joanyar, Kecamatan Seririt Buleleng mengaku, permintaan anakkan babi dari masyarakat saat hari Raya Galungan dan Kuningan mengalami peningkatan.
Bahkan, dirinya tak mampu memenuhi permintaan bibit babi (kucit). “Saat Hari Raya Galungan saya hanya mampu memenuhi 18 ekor kucit.
Sedangkan permintaan sebanyak 30 ekor datang dari masyarakat,” ungkap pria 43 yang beternak babi hitam ini.
Tingginya permintaan anakkan babi lantaran tidak tersedianya bibit babi. Bibit babi sudah banyak yang mati saat virus ASF menyerang dari bulan Februari sampai Juni lalu.
Sehingga stok bibit babi dipeternak babi rumahan dan skala besar menipis. “Anakkan babi (kucit) sudah langka saat ini.
Kemudian peternak babi belum mulai beternak. Itu yang mendorong harga kucit naik di tingkat peternak sampai Rp 600-700 ribu per ekornya,” ungkapnya.
Dia menyebut bibit babi atau kucit berusia 50-60 hari selain digunakan oleh masyarakat sebagai babi guling juga digunakan untuk keperluan sarana upacara keagamaan.
Permintaan kucit dari sebagian besar untuk upacara. Apalagi Galungan dan Kuningan. Maka yang diburu bibit babi hitam.
“Saya saat ini khusus indukkan babi, sudah memelihara 38 ekor. Sedangkan kucit di Hari Raya Kuningan sudah ada permintaan 15, terpenuhi hanya 10 ekor.
Dengan permintaan datang dari warga Bali Aga. Seperti Desa Pedawa, Sidatapa, Tigawasa dan daerah lainnya di Buleleng,” tandasnya.