RadarBali.com – Membawa embel-embel nama drama klasik, tak membuat Sekaa Drama Klasik dari Banjar Paketan Kelurahan Paket Agung, melupakan gaya drama Buleleng.
Mereka tampil dengan mengedepankan gaya-gaya realis dalam pementasan drama. Lakon itu dipentaskan di Puri Seni Sasana Budaya, Rabu (2/8) malam lalu.
Gaya drama realis, memang dikenal sebagai ciri khas pementasan drama dari Buleleng. Gaya ini sangat tersohor pada era 1970-an hingga awal dasa warsa 1990-an.
Terutama ketika Drama Gong Puspa Anom membawakan lakon Sam Pek Eng Tay. Tak ingin melupakan gaya khas Buleleng, mereka mengedepankan gaya-gaya realis ini.
Seperti menggunakan beragam properti di atas panggung. Mereka juga menggunakan tenda (backdrop, Red) untuk menambah kesan realis.
Tenda itu juga menandakan pergantian babak dalam pementasan. “Ini memang untuk menonjolkan ciri khas drama Buleleng.
Beberapa pakem, seperti penggunaan tenda dan property ini memang kami pertahankan,” ujar sutradara drama, Nyoman Susila Warsa.
Drama klasik I Gede Basur sendiri menceritakan kehidupan pria kaya bernama I Gede Basur. Dia juga dikenal menguasai ilmu hitam.
Basur memiliki seorang putra bernama I Wayan Tigaron yang gemar berjudi, mabuk, hingga mempermainkan wanita.
Pada desa yang sama, hidup seorang pria sederhana bernama I Nyoman Karang. Ia digambarkan sebagai sosok ideal seorang pria dan ayah single parent.
Karang hidup bersama putri semata wayang yang bernaam Ni Nyoman Sukasti. Kegelisahan mulai muncul ketika I Gede Basur hendak mempersunting Ni Nyoman Sukasti, namun ditolak oleh Sukasti.
Basur murka dan menggunakan ilmu hitamnya untuk menyakiti Nyoman Sukasti. Akhirnya datang seorang Jro Balian yang mengobati sukasti, hingga terjadi perang ilmu kebatinan antara Basur dengan Balian.
Konflik dalam cerita itu terjadi ketika Gede Basur hendak melamar Putri satu satunya Nyoman Karang.
Tidak tergiur dengan kekayaan, Sukasti justru menolak lamaran Gede Basur. Gede Basur pun marah dan murka.
Ia kemudian menyakiti Nyoman SUkasti dengan kemampuan Ilmu Hitam yang dimiliki. Hingga kemudian datnglah Jro Balian Untuk mengobati Sukasti.
Terjadilah perang ilmu antara I Gede Basur dengan Jro Balian. “Pesan dari pementasan ini bahwa kebaikan dan keburukan itu tidak bisa dipisahkan. Selain itu kebaikan juga pasti menang melawan kebatilan. Seperti konsep hidup yang kita yakini, Rwa Bhineda dan konsep dharma yang selalu menang melawan adharma,” imbuhnya.
Pementasan drama klasik malam itu, nyaris tanpa cela. Meski berlangsung selama tiga jam, penonton dibuat betah menyaksikan lakon itu.
Satu-satunya kekurangan ialah minimnya mic, sehingga beberapa bagian dialog tak terdengar jelas.