DENPASAR – Dewi Drupadi menggugat dunia yang selalu diciptakan oleh para lelaki. Sejak masa klasik sampai masa kini, sistem yang patriarkistik telah menjadi cangkang yang sulit ditembus oleh perempuan. Para lelaki penciptanya selalu berlindung di balik relasi kuasa, yang membuat para perempuan selalu jadi bayang-bayang.
Itulah inti sari yang bisa dipetik dari pementasan Teater Monolog “Drupadi”, Sabtu (15/10/2022) di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali.
Pementasan yang disutradarai Putu Fajar Arcana dan Dibal Ranuh ini diselenggarakan dalam rangka Festival Seni Bali Jani IV 2022. FSBJ yang digagas Putri Suastini Koster ini berlangsung 9-22 Oktober 2022.
Pementasan dimulai dengan tayangan Drupadi sedang berdiri di sebuah gunung batu yang terjal. Suara angin bersiut-siut seperti mengantarkan suasana yang penuh misteri. Setelah lampu perlahan-lahan menyala, di panggung seorang perempuan sedang memainkan cello. Gesekan cello yang lirih itu menggemakan nuansa penuh kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan yang campur-aduk.
Begitulah gambaran suara hati Drupadi yang sedang berdiri di padang tandus, saat-saat melakukan perjalanan suci menuju pertapaan dengan kelima Pandawa. Latar cerita ini menjadi titik berangkat, Putu Fajar Arcana sebagai penulis naskah, untuk masuk ke dalam perasaan hati seorang perempuan bernama Drupadi.
Meski menggunakan aktor tunggal dengan Gung Ocha sebagai pemeran Drupadi, pentas ini juga melibatkan beberapa penari dan pemusik. Mereka diberi peran sebagai aktor untuk memperkuat karakteristik panggung. Sebagai aktor, Gung Ocha, tidak sekadar berakting, ia juga menembangkan lagu berjudul “Drupadi” yang digubah oleh musisi Ayu Laksmi bersama komposer Gede Yudhana, berdasarkan lirik Putu Fajar Arcana.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Ahmad Mahendra, menyatakan Ditjen Kebudayaan turut mendukung pentas ini. Drupadi, yang digarap Arcana Foundation, mengeksplorasi kekuatan media baru sebagai basis berkesenian.
“Ini upaya kreatif sekali, patut kita dukung,” katanya dari Jakarta. Mahendra menyatakan ingin hadir langsung di Denpasar, tetapi ada tugas dadakan di Jakarta, sehingga ia menunda keinginannya untuk menyaksikan “Drupadi”.
Selain itu, tambahnya, pentas “Drupadi” tidak saja mengeksplorasi tradisi, tetapi lebih-lebih menjadi refleksi, yang bermanfaat sebagai pedoman moralitas bangsa. “Pentas ini penting sekali. Ia membicarakan isu perempuan, tanpa harus meniadakan satu sama lain dengan lelaki,” katanya.
Terlihat hadir dalam pentas ini seniman patung Nyoman Nuarta, yang datang khusus dari Bandung bersama keluarga. Menurut Nuarta, pertunjukan “Drupadi” termasuk salah satu pertunjukan yang cerdas. “Ini penulis naskah dan sutradaranya cerdas. Ia tahu persis selera penonton masa kini. Disajikan dengan indah, mengalir, dan berisi,” katanya.
Nuarta bahkan mengusulkan, sebaiknya Kemendikbud terus memberikan dukungan agar pementasan ini bisa dilakukan di berbagai kota.
“Ya karena isu yang diusung ini amat penting, bolehlah Kemendikbud mementaskannya di kota seperti Jakarta, Bandung atau Yogyakarta,” kata pencipta patung Garuda Wisnu Kencana itu.
Sutradara Putu Fajar Arcana mengatakan, ia menulis “Drupadi” dalam versi dirinya sendiri. Putu tidak merunut atau memperbaharui kisah-kisah klasik tentang Drupadi, tetapi menggunakan kekuatan teks untuk merespons realitas timpang yang terjadi di tengah masyarakat.
Ia merasa prihatin terhadap berbagai kejadian yang melecehkan perempuan di berbagai belahan dunia.
“Ada pemuka agama yang melecehkan para murid perempuan, ada pula perempuan yang dibunuh karena alasan atribut agama. Kita masih bisa menderetkan lagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan,” kata Putu.
Peristiwa-peristiwa itulah yang antara lain, tambahnya, memicu dirinya untuk menggali kembali sistem nilai yang terdapat dalam kisah “Drupadi”. Apa yang dialami oleh Drupadi sepanjang hidupnya, hampir selalu diposisikan sebagai “penurut”. “Makanya, ia menggugat dengan melontarkan pertanyaan, apa karena aku perempuan?,” ujar Putu.
Selain mengemas isu perempuan secara baik, pentas “Drupadi” juga menyuguhkan pertunjukan visual yang menawan. Sutradara visual Dibal Ranuh mengatakan, ia banyak menggali inspirasi dari lakon monolog yang ditulis Putu Fajar Arcana ini.
“Naskahnya sendiri sudah visual, jadi saya tinggal menerjemahkannya ke dalam citraan visual dengan menggunakan teknologi,” kata Dibal.
Dibal berharap kelak akan semakin banyak bentuk-bentuk teater yang menggunakan teknologi sebagai basis berkreativitas.
“Teknologi itu keniscayaan, sekarang kita menggunakannya setiap hari. Jadi sebaiknya seni juga memanfaatkannya untuk melahirkan karya yang menarik,” ujar Dibal.
Pertunjukan “Drupadi” diakhiri dengan adegan Dewi Drupadi mencapai moksa. Jasadnya secara gaib menghilang ke dalam pohon banyan besar, yang ditayangkan dalam video mapping. Ending cerita ini, menempatkan Drupadi dalam posisi yang amat agung, sehingga Sang Maha Pencipta memberinya jalan menuju pencerahan (moksa).
Gung Ocha, yang lebih dikenal sebagai penyanyi, merasa terhormat diberi kepercayaan memerankan tokoh sekaliber Drupadi. “Terus terang saya masih tak percaya diberi peran Drupadi. Ini tokoh penting dalam dunia perempuan kita,” kata Ocha sambil berharap semoga aktinya tidak terlalu mengecewakan.
Sebagai pemeran Drupadi, Ocha seolah mendapatkan kesadaran bahwa banyak hal dalam kehidupan kita sehari-hari, selalu menomorduakan perempuan. Perempuan selalu identik dengan dapur. “Tempatnya selalu di belakang, bahkan sering kali disembunyikan dan suaranya tidak pernah diperhitungkan,” ujar Ocha.
Produser Drupadi Joan Arcana mengatakan, kesuksesan pementasan di ajang FSBJ 2022, telah memicunya untuk membawa pentas ini ke Jakarta dan Bandung. “Mungkin sementara dua kota itu jadi target kami berikutnya,” kata Joan. Dalam mewujukan pentas ini, tambah Joan, ia merangkul Kitapoleng Bali untuk menggarap koreografi dan segmen visual. “Ini kerja kolaboratif,” singkatnya. (ara)