28.2 C
Jakarta
21 November 2024, 20:13 PM WIB

Pentaskan Joget Bumbung Tiga Zaman

RadarBali.com – Sanggar Tari Dharna Santhi mengangkat topik pementasan Tiga Zaman dalam perhelatan Bali Mandara Mahalango di Art Centre Denpasar, Minggu (16/7).

Pada hari yang sama, tampil dua pementasan berbeda. Sanggar Tari Dharna Santhi, Desa Pakraman Bila Tua, Kubutambahan, Buleleng menampilkan joged bumbung di Kalangan Ratna Kanda.

 Di panggung berbeda, Madya Mandala, Ksirarnawa tampil seni etnik inovatif bertajuk Wit Urip Puput Urip oleh Sanggar Seni Kebo Iwa Sempidi.

“Kami mengangkat tari joged bumbung tiga zaman karena dari segi tarian dan gamelannya beda,” ujar kordinator Sanggar Tari Dharna Santhi, Ni Komang Darma Weni.

Konsep tiga zaman jelasnya, menggambarkan perkembangan joged di Bali. Perkembangan  joged bumbung sebagai seni pertujukkan ungkapnya bermula dari Buleleng Barat, tepatnya di Desa Lokapaksa, Seririt dan desa Bilatua Banjar Kawan Sebila.

“Ketika itu pakaiannya sederhana, apa adanya,  spontanitas saja. Tabuhnya juga apa adanya. Seperti tabuh Putri Ayu dan beberapa lagi lainnya. Itu terjadi periode tahun 1920-1960-an,” urainya.

Seiring perkembangan gong kebyar, Weni menyebut unsur-unsur tarian Joged Bumbung terpengaruh. Kesenian ini mulai ditata seperti tarian lepas pada gong kebyar.

“Jadi di awal ada gerakan tarian lepas. Ini terjadi pada periode 1960-1980 an. Periode berikutnya pada 1980 ke atas unsur tari Jaipongan dari luar Bali mulai mempengaruhi tari joged. Banyak kemudian sekaa joged yang memasukan tarian jaipongan dalam tari joged bumbungnya,” terang Darma Weni.

Pada era ini tarian Joged masih elegan dan dikagumi oleh banyak kalangan. Hingga akhirnya joged bumbung disusupi oleh pornografi dan pornoaksi.

Ditandaskan Weni kesan pornografi dan pornoaksi bukan ciri khas joged bumbung dan baru bermunculan. Kondisi perkembangan joged bumbung inilah yang mendorong  Sanggar Tari Dharna Santhi mementaskan Joged Bumbung Tiga Zaman. 

RadarBali.com – Sanggar Tari Dharna Santhi mengangkat topik pementasan Tiga Zaman dalam perhelatan Bali Mandara Mahalango di Art Centre Denpasar, Minggu (16/7).

Pada hari yang sama, tampil dua pementasan berbeda. Sanggar Tari Dharna Santhi, Desa Pakraman Bila Tua, Kubutambahan, Buleleng menampilkan joged bumbung di Kalangan Ratna Kanda.

 Di panggung berbeda, Madya Mandala, Ksirarnawa tampil seni etnik inovatif bertajuk Wit Urip Puput Urip oleh Sanggar Seni Kebo Iwa Sempidi.

“Kami mengangkat tari joged bumbung tiga zaman karena dari segi tarian dan gamelannya beda,” ujar kordinator Sanggar Tari Dharna Santhi, Ni Komang Darma Weni.

Konsep tiga zaman jelasnya, menggambarkan perkembangan joged di Bali. Perkembangan  joged bumbung sebagai seni pertujukkan ungkapnya bermula dari Buleleng Barat, tepatnya di Desa Lokapaksa, Seririt dan desa Bilatua Banjar Kawan Sebila.

“Ketika itu pakaiannya sederhana, apa adanya,  spontanitas saja. Tabuhnya juga apa adanya. Seperti tabuh Putri Ayu dan beberapa lagi lainnya. Itu terjadi periode tahun 1920-1960-an,” urainya.

Seiring perkembangan gong kebyar, Weni menyebut unsur-unsur tarian Joged Bumbung terpengaruh. Kesenian ini mulai ditata seperti tarian lepas pada gong kebyar.

“Jadi di awal ada gerakan tarian lepas. Ini terjadi pada periode 1960-1980 an. Periode berikutnya pada 1980 ke atas unsur tari Jaipongan dari luar Bali mulai mempengaruhi tari joged. Banyak kemudian sekaa joged yang memasukan tarian jaipongan dalam tari joged bumbungnya,” terang Darma Weni.

Pada era ini tarian Joged masih elegan dan dikagumi oleh banyak kalangan. Hingga akhirnya joged bumbung disusupi oleh pornografi dan pornoaksi.

Ditandaskan Weni kesan pornografi dan pornoaksi bukan ciri khas joged bumbung dan baru bermunculan. Kondisi perkembangan joged bumbung inilah yang mendorong  Sanggar Tari Dharna Santhi mementaskan Joged Bumbung Tiga Zaman. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/