PANJI – Sejumlah seniman di Buleleng, turut mengantar mendiang I Made Ngurah Sadika alias Susik, ke peristirahatannya yang terakhir di Setra Desa Pakraman Panji, pagi kemarin (22/5).
Seniman-seniman yang terlihat, kebanyakan dari seniman topeng maupun bondres. Diantaranya Nyoman Suardika alias Mang Epo yang kini mendirikan Sanggar Seni Nong Nong Kling.
Ada pula duet Tut Warta dan De Ciply yang kini berproses di Sanggar Seni Sunari Bajra, serta Ketut Suardana alias Loleng yang sering berkegiatan bersama Susik di Sanggar Susik Bondres.
Jenazah Susik sampai di Setra Desa Pakraman Panji sekitar pukul 09.00 pagi. Jenazah diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Kresna Kelurahan Kendran sekitar pukul 08.30 pagi.
Jenazah kemudian diantar menggunakan ambulans menuju lokasi perabuan. Sebelum upacara perabuan dimulai, sempat dilakukan serangkaian ritual. Termasuk doa bersama.
Beberapa benda kesayangan Susik, seperti Topeng Susik yang sering ia gunakan pentas, serta pin Anugerah Seni Wija Kusuma yang baru diterimanya pada Senin (21/5), diletakkan di atas jenazah.
Saat api hendak dinyalakan, barang-barang kesayangan Susik itu kembali diambil. Sebelum api perabuan dinyalakan, istri Susik, Luh Rening sempat terlihat histeris.
Sementara dua anaknya, yakni Gede Arya Darmadi alias Cimcim serta Made Ary Darmini, terlihat tabah dengan cobaan tersebut.
Salah seorang seniman, Mang Epo menceritakan, Susik adalah sosok seniman yang pekerja keras.
Dulunya, Mang Epo sempat berkesenian bersama Susik dan Wayan Sujana (kini Kabid Kesenian Disbud Buleleng, Red) dalam wadah Bondres Dwi Mekar.
“Dari awal sekali masuk bondres, beliau tidak setenar ini. Awalnya tidak diterima masyarakat, tidak diterima di pemerintahan, malah lebih banyak yang caci maki.
Akhirnya beliau jengah, dapat taksu, dan mulai tenar,” kata Mang Epo yang kini berkesenian di Sanggar Seni Nong Nong Kling.
Seiring berjalannya waktu, Susik menjadi ikon topeng bondres di Buleleng. Bahkan masyarakat kerap menyebut pemeran topeng dengan karakter wanita, adalah tokoh Susik.
Sekalipun nama maupun karakter yang dibawakan bukan Susik. Dalam hal pementasan, menurut Mang Epo, Susik saat realis.
Ia berhasil menterjemahkan sastra agama dalam bentuk kehidupan sehari-hari. Dia tak lagi menjelaskan tatwa di atas panggung, namun mengimplementasikannya secara sederhana.
Hal yang tak bisa dilupakan adalah kenangan Mang Epo bersama Susik. “Dulu awal kami berkesenian, yang punya sepeda motor hanya Pak Sadik.
Itu motor supercup 800. Dari rumah ke Sanggar Dwi Mekar itu, biasanya naik bertiga. Pak Sadik yang gas motornya, saya pegang stang, Sujana yang rem. Itu momen yang tidak terlupakan,” kata Mang Epo.
Sementara rekan satu sanggar Susik di Sanggar Susik Bondres, Ketut Loleng “Suardana” mengaku kehabisan kata-kata mengenang sosok Susik.
“Saya tidak bisa bicara apa-apa. Setiap ingat beliau, dada saya sesak,” kenangnya. Mendiang Made Ngurah Sadika menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Buleleng, Selasa (15/5) lalu.
Mendiang mengalami sakit komplikasi, seperti diabetes, gagal ginjal, jantung, anemia, hingga penyempitan tulang belakang.
Semasa hidup, Susik sangat dikenal sebagai seniman topeng bondres dengan karakter Susik.