25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:50 AM WIB

Angkat Cerita Pariwisata Bali, Juli Sastrawan Rilis Kulit Kera Piduka

SINGARAJA – Masa pandemi tak berarti aktifitas berkarya menjadi mati. Penulis muda, Juli Sastrawan berhasil menuntaskan karya terbarunya.

Kali ini ia meluncurkan sebuah novel yang berjudul “Kulit Kera Piduka”. Sejak tahun lalu, penulis asal Klungkung ini memang intens menyelesaikan novelnya.

Pada masa pandemi, semangatnya dalam berkarya justru semakin kuat. Masa-masa selama beraktifitas di rumah ia isi dengan menulis.

Bab demi bab dalam novel miliknya, berhasil dituntaskan. Sehingga novel itu bisa dirilis pada bulan Juli ini.

Novel Kulit Kera Piduka, banyak bercerita tentang pariwisata Bali terkini.

Misalnya cerita tentang joged dan isu-isu gender yang terjadi di Bali. Ia ingin menggambarkan kehidupan di Bali yang begitu tergantung dengan pariwisata. Hal-hal yang dekat dengan kehidupannya pun ditulis dengan gambling.

“Ya aku ingin saja, siapa tau juga bisa membuka ruang diskusi dengan kawan dan yang lainnya dengan kondisi Bali saat ini,” ujar penulis yang akrab disapa Pegok itu.

Lewat narasi yang ia bangun dalam karya terbarunya, Pegok berharap muncul ruang diskusi yang lebih luas terkait kondisi pariwisata Bali saat ini.

Menurutnya cukup banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Pertanyaan itu muncul jauh sebelum pandemi dan perlambatan ekonomi terjadi.

Pertanyaan yang muncul misalnya, apakah masih pantas bila Bali sepenuhnya bergantung dengan pariwisata? Apakah tak ada hal lain yang sejatinya bisa dikerjakan sehingga tak harus bergantung pada pariwisata?

Meski berpotensi banyak mengundang diskursus terhadap kondisi pariwisata Bali terkini, novel yang ditulis Pegok jauh dari kesan menceramahi.

“Tapi pembaca bebas melakukan intepratasi, dan itu ya sah-sah saja. Karena buku telah terbit dan bukan hakku lagi untuk menghakimi

bagaimana pembaca memberi nilai pada apa yang aku tulis,” ujar penulis yang giat beraktifitas dengan beberapa komunitas literasi itu.

Sebenarnya novel terbarunya, akan ia perkenalkan di beberapa daerah lain untuk tur buku. Mengingat buku itu diedarkan pada beberapa toko independen di Palembang, Makassar, NTT, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bali dan beberapa toko buku lainnya.

Namun, hal itu terpaksa ditunda karena masa pandemi. Tak menutup kemungkinan tur itu akan ia lakukan pada akhir tahun ini, atau bahkan tahun depan bila situasi dipandang lebih bersahabat.

Sekadar diketahui, pada novel setebal 169 halaman ini, Pegok menulis delapan bab. Masing-masing berjudul Piduka Si Pengasah Kulit Kera, Gadis Murung dan Cerita yang Dikubur,

Yang Menyublim Serenjang, Berterima Kasihlah Pada Masa Lalu, Biru yang Terabaikan, Tubuhku yang Menari Bersamamu, Hingga yang Tersisa Hanya Kata-Kata, dan Kematian yang Melamarmu.

Sebelum melepas novel, Pegok sebenarnya sudah melepas karya lain. Pada 2018 lalu, Pegok melepas antologi cerpen yang berjudul Lelaki Kantong Sperma.

Dalam antologi tersebut, penulis asal Desa Paksebali, Klungkung itu, menjadikan seksualitas sebagai tema utama. 

SINGARAJA – Masa pandemi tak berarti aktifitas berkarya menjadi mati. Penulis muda, Juli Sastrawan berhasil menuntaskan karya terbarunya.

Kali ini ia meluncurkan sebuah novel yang berjudul “Kulit Kera Piduka”. Sejak tahun lalu, penulis asal Klungkung ini memang intens menyelesaikan novelnya.

Pada masa pandemi, semangatnya dalam berkarya justru semakin kuat. Masa-masa selama beraktifitas di rumah ia isi dengan menulis.

Bab demi bab dalam novel miliknya, berhasil dituntaskan. Sehingga novel itu bisa dirilis pada bulan Juli ini.

Novel Kulit Kera Piduka, banyak bercerita tentang pariwisata Bali terkini.

Misalnya cerita tentang joged dan isu-isu gender yang terjadi di Bali. Ia ingin menggambarkan kehidupan di Bali yang begitu tergantung dengan pariwisata. Hal-hal yang dekat dengan kehidupannya pun ditulis dengan gambling.

“Ya aku ingin saja, siapa tau juga bisa membuka ruang diskusi dengan kawan dan yang lainnya dengan kondisi Bali saat ini,” ujar penulis yang akrab disapa Pegok itu.

Lewat narasi yang ia bangun dalam karya terbarunya, Pegok berharap muncul ruang diskusi yang lebih luas terkait kondisi pariwisata Bali saat ini.

Menurutnya cukup banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Pertanyaan itu muncul jauh sebelum pandemi dan perlambatan ekonomi terjadi.

Pertanyaan yang muncul misalnya, apakah masih pantas bila Bali sepenuhnya bergantung dengan pariwisata? Apakah tak ada hal lain yang sejatinya bisa dikerjakan sehingga tak harus bergantung pada pariwisata?

Meski berpotensi banyak mengundang diskursus terhadap kondisi pariwisata Bali terkini, novel yang ditulis Pegok jauh dari kesan menceramahi.

“Tapi pembaca bebas melakukan intepratasi, dan itu ya sah-sah saja. Karena buku telah terbit dan bukan hakku lagi untuk menghakimi

bagaimana pembaca memberi nilai pada apa yang aku tulis,” ujar penulis yang giat beraktifitas dengan beberapa komunitas literasi itu.

Sebenarnya novel terbarunya, akan ia perkenalkan di beberapa daerah lain untuk tur buku. Mengingat buku itu diedarkan pada beberapa toko independen di Palembang, Makassar, NTT, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bali dan beberapa toko buku lainnya.

Namun, hal itu terpaksa ditunda karena masa pandemi. Tak menutup kemungkinan tur itu akan ia lakukan pada akhir tahun ini, atau bahkan tahun depan bila situasi dipandang lebih bersahabat.

Sekadar diketahui, pada novel setebal 169 halaman ini, Pegok menulis delapan bab. Masing-masing berjudul Piduka Si Pengasah Kulit Kera, Gadis Murung dan Cerita yang Dikubur,

Yang Menyublim Serenjang, Berterima Kasihlah Pada Masa Lalu, Biru yang Terabaikan, Tubuhku yang Menari Bersamamu, Hingga yang Tersisa Hanya Kata-Kata, dan Kematian yang Melamarmu.

Sebelum melepas novel, Pegok sebenarnya sudah melepas karya lain. Pada 2018 lalu, Pegok melepas antologi cerpen yang berjudul Lelaki Kantong Sperma.

Dalam antologi tersebut, penulis asal Desa Paksebali, Klungkung itu, menjadikan seksualitas sebagai tema utama. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/