29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 3:31 AM WIB

Ajak Pelaku Seni Tetap Berpedoman Pada Satyam, Siwam, dan Sundaram

Joged Bumbung sempat menjadi buah bibir masyarakat karena belakangan ini akrab dengan nuansa porno.

Padahal kesenian kerakyatan ini sudah termasuk dalam sembilan tari Bali yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda.

 

WAYAN WIDYANTARA, Denpasar

 

SEDIH, kata itu yang terlontar pertama dari Pembina Joged Seluruh Bali, Ni Made Wiratini saat ditanya soal respon joged bumbung  di Bali saat ini.

“Kita lihat video yang beredar tentang joged bumbung yang sekarang, duh sedih sekali saya melihatnya, respon masyarakat mancanegara pun jadi negatif,” ungkapnya di akhir pementasan Joged Bumbung All Star di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar, Kamis malam (23/8).

Menurutnya, sebagai pelaku seni, ada tiga dasar yang harus dipakai pegangan dalam berkesenian. Yakni, Satyam, Siwam dan Sundaram. “Kalau tidak ya seperti sekarang ini, miris saya melihatnya,” imbuhnya.

Bersama sang suami (I Wayan Dibia), Wiratini pun mengaku sudah mengupayakan yang terbaik untuk mengembalikan kesenian joged bumbung ke jalan dan pakem yang benar.

Dimulai dengan memberikan saran dan pendapat di forum, menelisik sumber-sumber joged jaruh, dan membuat kegiatan yang mengaitkan dengan esensi joged bumbung yang sejati.

Munculnya joged jaruh di tengah masyarakat menurut pengamatan Wiratini dan sang suami disebabkan oleh adanya mata rantai antara si penari nakal dan yang memberi upah.

“Pertama untuk penari kenapa dia mau, kedua penari mau pasti karena diupah dengan jumlah yang besar, dan inilah yang harusnya diputus,” tegasWiratini

Dirinya pun mengaku sudah berusaha membuat parerem (aturan-red) apabila yang terbukti melakukan dan melaksanakan joged porno pelakunya harus ditangkap.

 Namun, hingga saat ini pihak berwenang pun tak terlalu menggubris kelakar tegas Wiratini. “Apanya yang porno?,” ujar Wiratini menirukan nada bicara mereka yang tak perduli.

Sebagai pecinta seni dirinya hanya dapat mengupayakan apa yang dapat diperjuangkan. “Yang jelas saya tidak akan berhenti, sebab kalau bukan kita sebagai orang Bali siapa lagi yang akan menyelamatkan joged,” tutup Wiratini.

Joged Bumbung sempat menjadi buah bibir masyarakat karena belakangan ini akrab dengan nuansa porno.

Padahal kesenian kerakyatan ini sudah termasuk dalam sembilan tari Bali yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda.

 

WAYAN WIDYANTARA, Denpasar

 

SEDIH, kata itu yang terlontar pertama dari Pembina Joged Seluruh Bali, Ni Made Wiratini saat ditanya soal respon joged bumbung  di Bali saat ini.

“Kita lihat video yang beredar tentang joged bumbung yang sekarang, duh sedih sekali saya melihatnya, respon masyarakat mancanegara pun jadi negatif,” ungkapnya di akhir pementasan Joged Bumbung All Star di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar, Kamis malam (23/8).

Menurutnya, sebagai pelaku seni, ada tiga dasar yang harus dipakai pegangan dalam berkesenian. Yakni, Satyam, Siwam dan Sundaram. “Kalau tidak ya seperti sekarang ini, miris saya melihatnya,” imbuhnya.

Bersama sang suami (I Wayan Dibia), Wiratini pun mengaku sudah mengupayakan yang terbaik untuk mengembalikan kesenian joged bumbung ke jalan dan pakem yang benar.

Dimulai dengan memberikan saran dan pendapat di forum, menelisik sumber-sumber joged jaruh, dan membuat kegiatan yang mengaitkan dengan esensi joged bumbung yang sejati.

Munculnya joged jaruh di tengah masyarakat menurut pengamatan Wiratini dan sang suami disebabkan oleh adanya mata rantai antara si penari nakal dan yang memberi upah.

“Pertama untuk penari kenapa dia mau, kedua penari mau pasti karena diupah dengan jumlah yang besar, dan inilah yang harusnya diputus,” tegasWiratini

Dirinya pun mengaku sudah berusaha membuat parerem (aturan-red) apabila yang terbukti melakukan dan melaksanakan joged porno pelakunya harus ditangkap.

 Namun, hingga saat ini pihak berwenang pun tak terlalu menggubris kelakar tegas Wiratini. “Apanya yang porno?,” ujar Wiratini menirukan nada bicara mereka yang tak perduli.

Sebagai pecinta seni dirinya hanya dapat mengupayakan apa yang dapat diperjuangkan. “Yang jelas saya tidak akan berhenti, sebab kalau bukan kita sebagai orang Bali siapa lagi yang akan menyelamatkan joged,” tutup Wiratini.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/