DENPASAR – Sidang kasus dugaan korupsi LPD Desa Kapal, Mengwi, Badung, sampai pada tahap akhir.
Sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Majelis Hakim pimpinan Angeliky Handajani Day akhirnya mengganjar terdakwa yang juga mantan Ketua LPD Kapal, I Made Ladra dengan hukuman pidana selama 3 tahun dan enam bulan (3,5 tahun) serta denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara,
“Mengadili, menjatuhkan pidana 3 tahun dan enam bulan (3,5 tahun) serta denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara,” tegas hakim. Terdakwa Ladra yang berdiri terus menunduk menatap lantai.
Selain hukuman penjara dan denda, sesuai amar putusan, hakim juga mewajibkan Ladra membayar uang pengganti kerugian negara Rp 1,7 miliar.
Uang tersebut harus dibayarkan setelah sebulan keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Jika tidak membayar, maka harta bendanya dilelang untuk membayar uang pengganti. “Jika masih tidak cukup, maka diganti hukuman penjara dua tahun,” tukas hakim yang karib disapa Kiki itu.
Dijelaskan, hukuman bagi Ladra itu, karena hakim menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsider jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Badung, yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Perbuatan terdakwa merugikan negara, dalam hal ini keuangan LPD Kapal yang modalnya merupakan bantuan dari pemerintah. Sebelum menjatuhkan hukuman, hakim membacakan pertimbangan meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan terdakwa mengaku menyesal. Sedangkan pertimbangan yang memberatkan, terdakwa telah melakukan korupsi secara bersama sehingga merugikan keuangan negara.
Usai membacakan putusan, hakim memberitahu terdakwa bahwa hukuman yang dijatuhkan bisa langsung diterima, pikir-pikir, atau banding. Terdakwa kemudian berdiskusi dengan penasihat hukumnya. Cukup lama mereka berdiskusi. “Yang Mulia, melihat putusan yang baru saja dijatuhkan, kami harus musyawarah dengan keluarga besar terdakwa dulu. Putusan ini harus disampaikan pada keluarga besar terdakwa. Kami pikir-pikir,” ujar penasihat hukum terdakwa.
Hakim memberi waktu tujuh hari untuk pikir-pikir. “Jangan lewat tujuh hari, ya. Kalau lewat kami anggap terdakwa menerima putusan di tingkat pertama ini,” jelas Kiki.
Sikap serupa ditunjukkan JPU Agung. Agung menyatakan pikir-pikir. Sementara usai sidang, terdakwa langsung menyalami hakim.
Seperti diketahui, Ladra diduga melakukan upaya memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Di sisi lain LPD yang dikelolanya bermodalkan dari APBD Badung dan donasi dari Pemprov. Dan pendirian LPD tersebut berdasarkan SK Gubernur Bali Nomor 151/1990 tentang Pendirian LPD.
Berdasar audit yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Sri Marmo dan selanjutnya diinvestigasi oleh Tim Verifikasi dan Mediasi dengan metode risk base audit, menyimpulkan ada sebelas temuan prinsip yang mengakibatkan LPD Desa Kapal mati suri.
Di antaranya adanya permufakatan jahat dari pengurus LPD yang menikmati fasilitas kredit dalam jumlah yang sangat besar. Fasilitas itu diberikan untuk diri terdakwa sendiri, istri terdakwa, keluarga terdakwa, dan perusahaan terdakwa. Pemberian fasilitas kredit itu dilakukan dengan bunga di bawah standar yang berkisar antara 1,3 persen sampai 2,5 persen.
Temuan berikutnya menyangkut adanya window dressing (rekayasa pemberian kredit) kepada anggota keluarga Ni Luh Rai Kristianti (mantan kolektor LPD) sebesar Rp 8,5 miliar. Kredit tersebut diberikan dengan bunga di bawah standar. Yang minimal tiga persen, diberikan hanya satu persen. Hal itu merupakan pelanggaran BMPK atau Batas Maksimal Pemberian Kredit.
Pemberian kredit bernilai fantastis itu dilakukan terdakwa dengan persetujuan badan pengawas. Dan untuk menghindari aturan BPMK, pemberian kredit tersebut diberikan kepada empat orang debitur yang terhitung masih anggota keluarga terdakwa. Dan pelunasan terhadap kredit sebesar Rp 8,5 miliar itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan tabungan fiktif.