27.3 C
Jakarta
8 Februari 2025, 23:07 PM WIB

Korupsi Kapal Rp 1 M, Terdakwa Akui Terima Gratifikasi Rp 27 Juta

RadarBali.com – Sidang kasus dugaan korupsi pemalsuan dokumen kapal Dream Tahiti senilai Rp 1 M lebih, dengan terdakwa Joni Edy Susanto, 43, Rabu (8/11) kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Yang menarik pada sidang dengan Majelis Hakim pimpinan I Wayan Sukanila, terdakwa yang berdinas di di Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) Benoa tak mampu berkelit

ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wayan Suardi mempertanyakan peran terdakwa hingga akhirnya didudukkan di kursi pesakitan.

Terdakwa mengakui membantu pengurusan dokumen. Terdakwa juga tak menampik menerima gratifikasi.

Dijelaskan, penerimaan gratifikasi bermula dari pembelian satu unit kapal yacht bernama Dream Tahiti berbendera Perancis yang dibeli

oleh saksi Ni Made Sumbersari bersama Eric Michel Malo Menager melalui pemilik perusahaan Archipels Croisieres di Perancis, Loic Bonnet seharga USD 80 ribu.

Setelah dibeli, kapal itu tiba di perairan Serangan tanggal 9 Pebruari 2016 dan telah dilakukan pemeriksaan oleh petugas pemeriksa barang dari Bea dan Cukai Wilayah Pabean A Denpasar.

Saat diperiksa, kapten kapal warga negara Perancis, Deligne Pierre menyatakan bahwa kapal tersebut datang dari Tahiti, dan menunjukkan dokumen asli kapal kepada petugas.

Dengan pembelian kapal, saksi Sumbersari dan Eric Michel sempat mendatangi agent isle marine untuk mengurus perubahan bendera kapal, dari Perancis menjadi Indonesia.

Kedua saksi meminta tolong kepada Direktur Agent Isle marine, Rutyasi Pilemon dan kapten kapal freelance, Adi Wicaksono (keduanya adalah tersangka dalam berkas terpisah).

Adi Wicaksono lalu berkomunikasi dengan terdakwa Susanto dan sanggup membantu pengurusan pergantian bendera serta balik nama kapal.

Dibantu pula oleh mendiang terdakwa Supriyadi .”Saya dan mendiang Heru bersama-sama membuat dokumen yang seolah-olah kapal tersebut dibuat dan dibangun di Indonesia,

meskipun sesuai fakta fisik pembuatan kapal dan dokumen pembuatan yang sah adalah berbendera Perancis atas nama Dream Tahiti, “terang Susanto. 

Sejak terbitnya dokumen, kapal yang telah berganti bendera Indonesia, dan balik nama menjadi Kapal Dream Bali langsung dioperasikan.

Kapal beroperasi dari bulan Februari sampai bulan Juli 2016 secara komersil dengan rute berlayar Bali, Lombok, Serangan, Nusa Penida dan Nusa Lembongan.

Dalam pengurusan dokumen itu, saksi Sumbersari dan Eric Michel telah menyerahkan uang kepada Rutyasi sebesar Rp 300 juta.

Kemudian Rutyasi mentransfer uang itu ke Adi Wicaksono sebesar Rp 160 juta. Selanjutnya Adi Wicaksono mentransfer uang Rp 160 juta secara bertahap ke rekening terdakwa Susanto Rp 47 juta, dan diserahkan secara tunai Rp 3 juta.

Namun terkait transferan uang yang diterima terdakwa, terdakwa hanya mengaku menerima Rp 27 juta dan sisanya sebesar Rp 70 juta dikembalikan lagi ke mendiang Heru.

”Saya akui terima tranferan itu untuk biaya bolak-balik ke Banyuwangi. Tapi tidak sebesar itu, sisanya lagi saya serahkan ke Heru dan Rp 300 juta ke Adi Wicaksono dan biro jasa,”akunya.

Di depan persidangan, terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya Made Suryawan juga menyesali perbuatannya.

Apalagi akibat perbuatannya , Susanto kehilangan pekerjaan dan anak istrinya tak mendapat nafkah karena sudah tidak terima gaji sejak ditetapkan tersangka.

Atas keterangan terdakwa, sidang selanjutnya ditutup dan dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.

RadarBali.com – Sidang kasus dugaan korupsi pemalsuan dokumen kapal Dream Tahiti senilai Rp 1 M lebih, dengan terdakwa Joni Edy Susanto, 43, Rabu (8/11) kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Yang menarik pada sidang dengan Majelis Hakim pimpinan I Wayan Sukanila, terdakwa yang berdinas di di Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) Benoa tak mampu berkelit

ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wayan Suardi mempertanyakan peran terdakwa hingga akhirnya didudukkan di kursi pesakitan.

Terdakwa mengakui membantu pengurusan dokumen. Terdakwa juga tak menampik menerima gratifikasi.

Dijelaskan, penerimaan gratifikasi bermula dari pembelian satu unit kapal yacht bernama Dream Tahiti berbendera Perancis yang dibeli

oleh saksi Ni Made Sumbersari bersama Eric Michel Malo Menager melalui pemilik perusahaan Archipels Croisieres di Perancis, Loic Bonnet seharga USD 80 ribu.

Setelah dibeli, kapal itu tiba di perairan Serangan tanggal 9 Pebruari 2016 dan telah dilakukan pemeriksaan oleh petugas pemeriksa barang dari Bea dan Cukai Wilayah Pabean A Denpasar.

Saat diperiksa, kapten kapal warga negara Perancis, Deligne Pierre menyatakan bahwa kapal tersebut datang dari Tahiti, dan menunjukkan dokumen asli kapal kepada petugas.

Dengan pembelian kapal, saksi Sumbersari dan Eric Michel sempat mendatangi agent isle marine untuk mengurus perubahan bendera kapal, dari Perancis menjadi Indonesia.

Kedua saksi meminta tolong kepada Direktur Agent Isle marine, Rutyasi Pilemon dan kapten kapal freelance, Adi Wicaksono (keduanya adalah tersangka dalam berkas terpisah).

Adi Wicaksono lalu berkomunikasi dengan terdakwa Susanto dan sanggup membantu pengurusan pergantian bendera serta balik nama kapal.

Dibantu pula oleh mendiang terdakwa Supriyadi .”Saya dan mendiang Heru bersama-sama membuat dokumen yang seolah-olah kapal tersebut dibuat dan dibangun di Indonesia,

meskipun sesuai fakta fisik pembuatan kapal dan dokumen pembuatan yang sah adalah berbendera Perancis atas nama Dream Tahiti, “terang Susanto. 

Sejak terbitnya dokumen, kapal yang telah berganti bendera Indonesia, dan balik nama menjadi Kapal Dream Bali langsung dioperasikan.

Kapal beroperasi dari bulan Februari sampai bulan Juli 2016 secara komersil dengan rute berlayar Bali, Lombok, Serangan, Nusa Penida dan Nusa Lembongan.

Dalam pengurusan dokumen itu, saksi Sumbersari dan Eric Michel telah menyerahkan uang kepada Rutyasi sebesar Rp 300 juta.

Kemudian Rutyasi mentransfer uang itu ke Adi Wicaksono sebesar Rp 160 juta. Selanjutnya Adi Wicaksono mentransfer uang Rp 160 juta secara bertahap ke rekening terdakwa Susanto Rp 47 juta, dan diserahkan secara tunai Rp 3 juta.

Namun terkait transferan uang yang diterima terdakwa, terdakwa hanya mengaku menerima Rp 27 juta dan sisanya sebesar Rp 70 juta dikembalikan lagi ke mendiang Heru.

”Saya akui terima tranferan itu untuk biaya bolak-balik ke Banyuwangi. Tapi tidak sebesar itu, sisanya lagi saya serahkan ke Heru dan Rp 300 juta ke Adi Wicaksono dan biro jasa,”akunya.

Di depan persidangan, terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya Made Suryawan juga menyesali perbuatannya.

Apalagi akibat perbuatannya , Susanto kehilangan pekerjaan dan anak istrinya tak mendapat nafkah karena sudah tidak terima gaji sejak ditetapkan tersangka.

Atas keterangan terdakwa, sidang selanjutnya ditutup dan dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/