DENPASAR – Persoalan pelik di Pulau Dewata saat ini adalah masalah tanah. Hal itu terjadi tidak terlepas dari pola kehidupan masyarakat yang semakin hedonis serta didukung dengan banyaknya mafia tanah yang bermain.
“Ada juga mafia tanah di Bali yang terkooptasi ke berbagai macam profesi dan institusi,” ujar Advokat Senior Togar Situmorang SH MH MAP, Minggu (10/3) di Denpasar.
Konflik pertanahan yang terjadi itu tidak hanya antara masyarakat saja, namun juga antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dan pengusaha, ataupun pemerintah dengan pengusaha.
Managing Partner Togar Situmorang & Associates ini menjelaskan cara kerja mafia tanah ini yaitu dengan menggunakan surat-surat yang tidak sesuai untuk merampas Hak Tanah.
“Contoh kasus mafia tanah yang saat ini sedang ditangani oleh Tim Hukum kami adalah AA. NRAA yang menjual tanah Pemprov
yang bukan miliknya kepada klien kami berinisial RB,” ujar Togar yang juga Caleg DPRD Provinsi Bali Dapil Denpasar nomor urut 7 dari Partai Golkar itu.
Kasus ini berawal dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli No.49 tertanggal 14 November 2016 antara Penjual a/n AA. NRAA dengan Pembeli a/n RB di hadapan Notaris/PPAT NKAA terhadap sebagian
dari bidang tanah yang luasnya 262,5 M2 yang terletak di Jl. Kapten Tantular/Cut Nyak Dien, Desa Dangin Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar Provinsi Bali.
Namun, setelah ditelusuri ternyata tanah yang dijual oleh AA. NRAA tersebut adalah milik Pemprov, bukan milik pribadi.
Sehingga penjual tidak bisa menunjukkan Sertifikat Hak Milik asli yang digunakan dalam PPJB No.49 tanggal 14 November 2016 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT NKAA tersebut.
“Kasusnya sudah kami laporkan ke Polda Bali dengan No.Reg. DUMAS/865/VIII/REN.4.2/2018/SPKT Polda Bali. Namun penanganannya hingga sampai saat ini masih belum jelas bagaimana perkembangannya,” tambah Togar.
Advokat senior yang saat ini sedang menyelesaikan program S3 Hukum di Universitas Udayana ini juga menjelaskan, lemahnya penegakan dan sistem pencegahan dari pemerintah
terhadap sistem permasalahan tanah ini mengakibatkan praktik mafia tanah semakin berani. Bahkan praktik mafia tanah berani menunjukkan taringnya meskipun menabrak aturan.
“Kita harus melibatkan berbagai pihak untuk mendorong upaya mekanisme pencegahan dengan membenahi sistem dan prosedur
kepengurusan sertifikat tanah, sehingga nantinya dapat meminimalisir praktik kecurangan di lapangan atau adanya mafia tanah,” tegasnya.
Dukungan dari Polri juga diharapkan dapat memperbaiki sistem kepengurusan sertifikat tanah, sehingga praktik kecurangan dan mafia tanah bisa dicegah.
Advokat kelahiran Jakarta itu juga menambahkan, apalagi Kapolri dan Menteri Agraria dan Tata Ruang sebelumnya sudah pernah menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang Pemberantasan Mafia Tanah.
Polda Bali dan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali juga sudah sepakat membentuk Tim Terpadu Pemberantasan Mafia Tanah.
“Jadi saya rasa bahwa penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus tanah yang proporsional, lalu ditindaklanjuti jajaran Polda Bali akan lebih berhasil apabila didukung BPN Provinsi Bali,” jelasnya.
Advokat yang juga Pengamat Publik ini berharap penyelesaian terhadap kasus-kasus perampasan atas tanah yang terjadi ke depan harus dilakukan dengan membentuk suatu Lembaga Ad Hoc untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dengan demikian, ketika ada seorang yang dirampas tanahnya, maka mereka memiliki wadah yang dinaungi oleh lembaga resmi yang dibentuk Pemerintah.
“Sehingga ketika harus berperkara di Pengadilan Agraria memiliki dukungan kuat, serta bisa diselesaikan secara adil agar memiliki kepastian hukum,” tutup Caleg Milenial yang mempunyai tagline ‘Siap Melayani Bukan Dilayani’ ini. (rba)