DENPASAR – Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya lewat Putusan Nomor 221/B/LH/2018/PT.TUN.SBY tertanggal 26 Desember 2018 memutus menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar pada 16 Agustus 2018.
Ini berarti, gugatan banding yang dilayangkan warga terdampak PLTU Batubara Celukan Bawang dengan Greenpeace Indonesia terhadap Surat Keputusan Gubernur Bali
Nomor 660.3/3985/IV-A/DISMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PT. PLTU CelukanBawang tidak dapat diterima.
Penggugat tetap dianggap tidak memiliki kepentingan dalam mengajukan gugatan. Merespons putusan tersebut, warga Celukan Bawang dan Greenpeace Indonesia
didampingi Tim Kuasa Hukum YLBHI-LBH Bali memasukkan memori kasasi, Senin (11/2) siang melalui PTUN Denpasar.
“Majelis Hakim PT TUN Surabaya tidak memperhatikan, juga tidak mempertimbangkan substansi penting yang ada dalam banding,” ujar perwakilan tim kuasa hukum, Ni Putu Candra Dewi.
“Sudah jelas terdapat kekeliruan yuridis dalamprosedur penerbitan izin lingkungan PLTU Batubara Celukan Bawang 2×330 MW. Aspek penting lainnya juga masih terus diabaikan,
seperti pelibatan masyarakat, dokumen Amdal yang catat substansi, dan tidak sesuainya proyek PLTU tersebut dalam prinsip keberlanjutan lingkungan hidup,” kata Candra.
Secara rinci, alasan kasasi terhadap putusan PT TUN Surabaya adalah:
a. Putusan Tingkat Banding yang menyatakan bahwa akibat hukum dari izin lingkungan adalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup bertentangan dengan
beberapa pasal UU PPLH yang sudah secara tegas menentukan akibat hukum dari izin lingkungan, termasuk Objek Sengketa.
Halyang mana berpengaruh pada dirugikannyaPara Pemohon Kasasi karena dianggap tidakmemiliki “kepentingan hukum yang dirugikan. Padahal, objek sengketa bersifat strategis dan berdampak luas.
b. Tenggang waktu 90 hari dalam perkara seharusnya dihitung sejak Pemohon Kasasi I mendapatkan dokumen AMDAL dan Objek Sengketa dari LBH Bali.
Sehingga putusan tingkat banding memuat pertentangan hukum dan karenanya melanggar Pasal 53 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
c. Putusan persidangan fakta menganggap “terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan” merupakan akibat hukum dari izin lingkungan, padahal itu dampak yang tidak dikehendaki dari dijalankannya kegiatan usaha.
Artinya, kebolehan untuk beroperasi maupun melakukan konstruksi sesungguhnya merupakan akibat hukum dari izin usaha, dan hak untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup tidak akan dapat dilakukan apabila operasi dan konstruksi belum terjadi.
Begitu pula perubahan usaha dan/atau kegiatan juga tidak mungkin terjadi jika operasi dan konstruksi belum dilakukan. Maka hal ini berdampak pada penggugat tidak bisa mengajukan gugatan atas potensi dampak dari Objek Sengketa.
d. Persidangan fakta telah lalai dalammemenuhi syarat putusan tata usaha negarayang ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1) UU PTUN karena tidak mempertimbangkan setiapbukti yang ada selama persidangan.
“Dimasukannya memori kasasi menunjukkan bahwa gerakan perlawanan masyarakat terus berlangsung, “ ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo.
“Kami juga menagih janji Gubernur Bali Wayan Koster yang berjanji tidak akan membiarkan bertambahnya PLTU Batubara di Bali
yang jelas mengancam kesehatan masyarakat dan menimbulkan risiko besar pada perekonomian dan industri pariwisata,” pungkas Didit.