DENPASAR – Ada insiden kurang mengenakkan yang terjadi saat wartawan meliput penggerebekan WNA Tiongkok, anggota sindikat penipuan online lintas negara kemarin.
Tanpa alasan jelas, aparat kepolisian melarang wartawan meliput, mengabadikan, maupun merekam penggerebekan tersebut.
Pelarangan dan intimidasi ini dialami dua jurnalis. Yakni Wayan Sukarda (Reuters TV) dan fotografer Miftahuddin Mustofa Halim (Radar Bali), hari Kamis (11/1) kemarin.
Kronologi kejadian tersebut berawal ketika Kepala Urusan Kemitraan Subbidpenmas Bidang Humas Polda Bali Kompol Ismi Rahayu menyampaikan informasi kepada jurnalis tentang rencana penggerebekan di empat lokasi.
Di empat lokasi tersebut dikabarkan ditempati ratusan warga negara Tiongkok yang diduga melakukan tindak kejahatan.
Berdasar informasi tersebut, Miftahuddin M. Halim, jurnalis foto Jawa Pos Radar Bali melakukan kegiatan peliputan ke tempat kejadian perkara (TKP) 1 di Jalan Tukad Badung No. 22.
Namun, setelah ditunggu cukup lama, tidak ada tanda-tanda aparat kepolisian melakukan penggerebekan di lokasi 1 sebagaimana diinformasikan.
Kemudian, datang jurnalis Kompas, Cokorda Yudistira di lokasi tersebut. Karena cukup lama menunggu tak juga ada kejelasan,
maka Cok dan Miftah memutuskan menuju Lokasi 4 di Desa Kutuh, Kuta Selatan. Belakangan, ketika Miftah dan Cok sudah berangkat
menuju TKP 4 di Jalan Darmawangsa Gang SDN 2 Kutuh No. 1X, baru muncul informasi bahwa Lokasi 1 yang disebutkan Ismi kurang lengkap.
Yang benar adalah Jalan Tukad Badung XXI Nomor 22. Ketika sudah tiba di TKP 4, ternyata sudah banyak anggota kepolisian yang berjaga di luar pagar sebuah rumah.
“Sebagian anggota kepolisian lainnya berada di dalam rumah yang dihuni puluhan warga negara Tiongkok,” kata Miftah.
Ketika baru tiba, Miftah juga ditanya dari mana oleh anggota kepolisian. Lalu Miftah menunjukkan kartu identitas pers (ID Pers).
Sebagai jurnalis, maka Miftahuddin melakukan pengambilan gambar foto (memotret) suasana penggerebekan dari luar rumah menggunakan kamera smarthphone.
Seketika itu, dua anggota kepolisian mendatangi Miftahuddin, dan salah satu anggota tersebut meminta agar Miftahuddin tidak memfoto.
Anggota polisi ini juga meminta Miftahuddin menghapus foto suasana penggerebekan tersebut.
Belum sempat Miftahuddin menghapus, anggota polisi ini mengambil smartphone tersebut lalu menghapus sendiri foto-foto tersebut.
Hal ini juga dialami oleh jurnalis Reuters TV, Wayan Sukarda yang kebetulan tinggal tidak jauh dari lokasi atau TKP 4.
Dia mendapat larangan merekam atau mengambil gambar video suasana penggerebekan. Bahkan, rekaman video suasana penggerebekan miliknya juga dihapus oleh anggota kepolisian.
Larangan peliputan juga terus dilakukan oleh anggota kepolisian yang menenteng senapan laras panjang ketika puluhan warga negara Tiongkok yang menghuni rumah itu digiring ke jalan untuk memasuki bus.
Bahkan, ketika para terduga sudah memasuki bus, masih ada larangan terhadap tiga jurnalis yang merekam video dan memfoto peristiwa tersebut.
“Jelas, aksi sepihak ini merupakan pelanggaran pasal 18 ayat (1) UU No 40 tahun 1999 tentang pers, yang berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja
melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah),” ujar Ketua AJI Denpasar Hari Puspita.
Pasal 4 ayat 3 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Di bagian lain, pada Pasal 8 UU Pers disebutkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
“Tindakan menghalangi peliputan pada hari Kamis, 11 Januari 2018 di Desa Kutuh, Kuta Selatan ini merupakan kesombongan aparat yang tidak layak dilakukan di era keterbukaan informasi yang sudah sesuai dengan undang-undang,” kata Hari.
“AJI Kota Denpasar dan IJTI Bali mengecam perlakuan polisi yang telah menghambat jurnalis mencari dan meliput berita dan lebih jauh, tindakan ini mengancam kemerdekaan pers,” imbuh Ketua IJTI Bali AA Kayika.
Menurutnya, tindakan menghalangi peliputan ini adalah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Yakni menghalang-halangi dan menghambat pekerjaan jurnalis bisa dikenai pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Karena itu, AJI Denpasar dan IJTI Bali meminta kepolisian untuk menghormati kerja jurnalistik wartawan dan memahami UU Pers.
AJI dan IJTI juga mengimbau kawan-kawan jurnalis untuk menjalankan tugas jurnalistik secara profesional, mematuhi rambu-rambu UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.