29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:25 AM WIB

ARAK Bali Sebut KPK dalam Proses Pembusukan dari Luar dan Dalam

DENPASAR – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 – 2023.

Para pegiat antikorupsi di Bali pun melihat KPK sedang dalam proses pelemahan secara massif dan sistematis.

Komang Arya Ganaris, Koordinator Aliansi Rakyat Bali Anti Korupsi (ARAK) Bali mengaku kecewa mesti tak terlalu terkejut dengan terpilihnya Inspektur Jenderal Firli Bahuri tersebut.

“Dari awal kami sudah curiga terhadap kredibilitas dan intergritas pansel, baik dari proses penjaringan awal calon pimpinan KPK hingga terpilihnya Capim KPK dimana Firli mendapatkan suara terbanyak,” ujar Arya Ganaris.

Terlebih, track record Firli juga patut dipertanyakan. Berdasar catatan ARAK Bali, Firli tidak menyetorkan LHKPN sejak 2002, dan diduga melakukan pelanggaran berat saat menjabat Deputi Penindakan KPK.

Firli juga diduga pernah membuka rekening bank dengan profil swasta dan dituding menerima gratifikasi menginap dua bulan di hotel.

Hal ini dapat menodai kinerja KPK ke depan, dalam hal komiten untuk pemberantasan korupsi. Selain Firli, terdapat empat calon lain

yang terpilih sebagai Pimpinan KPK yakni Nawawi Pomolango (Ketua Pengadilan Tinggi  Denpasar), Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan Staf Ahli Komisi XI DPR).

Alexander Marwata (Wakil Ketua KPK 2015-2019), dan Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban periode 2008-2013 dan 2013-2018).

Bagi Arya Ganaris, ada dua momentum besar yang sangat mempengaruhi masa depan KPK ke depan.

Pertama adalah tindakan politik DPR RI yang mengambil inisiatif untuk merevisi Undang-undang KPK di masa akhir tugas DPR di periode ini dan juga melalui pergantian pimpinan KPK.

“Kalau dilihat dari dua hal ini, kami khawatirkan khususnya untuk pemberantasan korupsi yang selama ini dikerjakan oleh KPK sendiri,” kata pria asal Buleleng ini.

Hal ini memperlihatkan komitmen untuk pemberantasan korupsi tidak betul-betul dijalankan oleh pihak eksekutif ataupun legisiatif sesuai janji mereka dalam pemberatasan korupsi.

“Dengan kedua momentum ini, kami melihat secara jelas memposisikan  KPK ke depan hanya sebatas sebagai komisi pencegahan bukan pemberantasan korupsi,” imbuhnya.

Hal tersebut dapat dilihat dari point-point substansi yang diusulkan dalam merevisi undang-undang KPK, dimana kewenangan KPK yang menjadi alat terbesar dalam pemberatasan koruspi dicoba untuk dipreteli.

“Semangat untuk merevisi undang-undang KPK ini secara otomatis ingin melemahkan KPK. Bagi kami, KPK hari ini mengalami pembusukan secara internal (pemilihan calon pimpinan KPK) dan luar (revisi UU KPK),” sebutnya.

Atas hal tersebut, pihaknya secara tegas menuntut agar pemerintah untuk menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK yang diusulkan oleh pihak DPR RI. 

DENPASAR – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 – 2023.

Para pegiat antikorupsi di Bali pun melihat KPK sedang dalam proses pelemahan secara massif dan sistematis.

Komang Arya Ganaris, Koordinator Aliansi Rakyat Bali Anti Korupsi (ARAK) Bali mengaku kecewa mesti tak terlalu terkejut dengan terpilihnya Inspektur Jenderal Firli Bahuri tersebut.

“Dari awal kami sudah curiga terhadap kredibilitas dan intergritas pansel, baik dari proses penjaringan awal calon pimpinan KPK hingga terpilihnya Capim KPK dimana Firli mendapatkan suara terbanyak,” ujar Arya Ganaris.

Terlebih, track record Firli juga patut dipertanyakan. Berdasar catatan ARAK Bali, Firli tidak menyetorkan LHKPN sejak 2002, dan diduga melakukan pelanggaran berat saat menjabat Deputi Penindakan KPK.

Firli juga diduga pernah membuka rekening bank dengan profil swasta dan dituding menerima gratifikasi menginap dua bulan di hotel.

Hal ini dapat menodai kinerja KPK ke depan, dalam hal komiten untuk pemberantasan korupsi. Selain Firli, terdapat empat calon lain

yang terpilih sebagai Pimpinan KPK yakni Nawawi Pomolango (Ketua Pengadilan Tinggi  Denpasar), Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan Staf Ahli Komisi XI DPR).

Alexander Marwata (Wakil Ketua KPK 2015-2019), dan Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban periode 2008-2013 dan 2013-2018).

Bagi Arya Ganaris, ada dua momentum besar yang sangat mempengaruhi masa depan KPK ke depan.

Pertama adalah tindakan politik DPR RI yang mengambil inisiatif untuk merevisi Undang-undang KPK di masa akhir tugas DPR di periode ini dan juga melalui pergantian pimpinan KPK.

“Kalau dilihat dari dua hal ini, kami khawatirkan khususnya untuk pemberantasan korupsi yang selama ini dikerjakan oleh KPK sendiri,” kata pria asal Buleleng ini.

Hal ini memperlihatkan komitmen untuk pemberantasan korupsi tidak betul-betul dijalankan oleh pihak eksekutif ataupun legisiatif sesuai janji mereka dalam pemberatasan korupsi.

“Dengan kedua momentum ini, kami melihat secara jelas memposisikan  KPK ke depan hanya sebatas sebagai komisi pencegahan bukan pemberantasan korupsi,” imbuhnya.

Hal tersebut dapat dilihat dari point-point substansi yang diusulkan dalam merevisi undang-undang KPK, dimana kewenangan KPK yang menjadi alat terbesar dalam pemberatasan koruspi dicoba untuk dipreteli.

“Semangat untuk merevisi undang-undang KPK ini secara otomatis ingin melemahkan KPK. Bagi kami, KPK hari ini mengalami pembusukan secara internal (pemilihan calon pimpinan KPK) dan luar (revisi UU KPK),” sebutnya.

Atas hal tersebut, pihaknya secara tegas menuntut agar pemerintah untuk menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK yang diusulkan oleh pihak DPR RI. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/