26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:27 AM WIB

Berpotensi Rampas Hak Warga Negara, KPA Bali Tegas Tolak Omnibus Law

SINGARAJA – Tak hanya dari kalangan kaum buruh, mahasiswa dan masyarakat yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Begitu pula penolakan keras juga dilakukan oleh Konsosium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali.

Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali Ni Made Indrawati menyebut bukan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI. Melainkan undang-undang celaka yang membuat sengsara rakyat. Ada hal yang menjadi sorotan pihaknya terhadap UU Cipta Kerja.

Indra menjelaskan persoalan UU Cipta Kerja bukan hanya persoalan ketenagakerjaan. Melainkan menjadi masalah bagi seluruh aspek tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Mulai dari agraria, hukum, pendidikan, keagamaan serta keyakinan.

UU ini diwujudkan untuk menggeser ideologi bangsa, menggeser sistem ekonomi hukum dan politik bangsa. Mengubah, menambah dan menghapus lebih dari 70 peraturan perundang-undangan sekaligus, yang substansinya menabrak dan bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi Negara. Sistem ekonomi yang semula dicita-citakan oleh pendiri bangsa untuk kesejahteraan rakyat bergeser menjadi untuk kepentingan penguasa, dan pengusaha mitra penguasa (oligarki).

“Itulah mengapa gerakan perlawanan Omnibus Law muncul sejak awal gagasan ini dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI). Berbagai gerakan rakyat menolak Omnibus Law tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai macam bentuk. Termasuk juga di Bali,” papar Indra.

Lanjutnya, meski bernama Cipta Kerja namun mayoritas ketentuannya mempermudah perampasan tanah, perusakan lingkungan dan penghisapan buruh yang malah menghilangkan “tempat kerja” itu sendiri (tanah pertanian, wilayah adat dan wilayah tangkap nelayan).

Termasuk soal agraria. Undang-Undang Omnisbus Law tanpa mempertimbangan kualitas aturan dan situasi agraria saat ini. Pembuat undang-undang terkesan instan disahkan tanpa ada pembahasan yang matang di DPR dan tidak adanya partisipasi masyarakat.

Padahal Indonesia saat ini tengah mengalami lima pokok krisis agraria, yakni: (1) Ketimpangan struktur agraria yang tajam; (2) Maraknya konflik agraria struktural; (3) Kerusakan ekologis yang meluas; (4) Laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian; (5) Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

“Maka melihat permasalahan yang berpotensi muncul ke belakang setelah disahkan Omnibus Law ini, yakni perampasan hak atas warga. Maka kami memandang Omnibus Law gagal menjawab 5 krisis agraria yang terjadi. Secara tegas kami menolak Omnibus Law. Karena point terkait dengan pertanahan pada omnibus Law seharusnya menjadi basis bangsa dan negara kita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan Pasal 33 UUD 1945,” pungkasnya.

SINGARAJA – Tak hanya dari kalangan kaum buruh, mahasiswa dan masyarakat yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Begitu pula penolakan keras juga dilakukan oleh Konsosium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali.

Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali Ni Made Indrawati menyebut bukan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI. Melainkan undang-undang celaka yang membuat sengsara rakyat. Ada hal yang menjadi sorotan pihaknya terhadap UU Cipta Kerja.

Indra menjelaskan persoalan UU Cipta Kerja bukan hanya persoalan ketenagakerjaan. Melainkan menjadi masalah bagi seluruh aspek tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Mulai dari agraria, hukum, pendidikan, keagamaan serta keyakinan.

UU ini diwujudkan untuk menggeser ideologi bangsa, menggeser sistem ekonomi hukum dan politik bangsa. Mengubah, menambah dan menghapus lebih dari 70 peraturan perundang-undangan sekaligus, yang substansinya menabrak dan bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi Negara. Sistem ekonomi yang semula dicita-citakan oleh pendiri bangsa untuk kesejahteraan rakyat bergeser menjadi untuk kepentingan penguasa, dan pengusaha mitra penguasa (oligarki).

“Itulah mengapa gerakan perlawanan Omnibus Law muncul sejak awal gagasan ini dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI). Berbagai gerakan rakyat menolak Omnibus Law tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai macam bentuk. Termasuk juga di Bali,” papar Indra.

Lanjutnya, meski bernama Cipta Kerja namun mayoritas ketentuannya mempermudah perampasan tanah, perusakan lingkungan dan penghisapan buruh yang malah menghilangkan “tempat kerja” itu sendiri (tanah pertanian, wilayah adat dan wilayah tangkap nelayan).

Termasuk soal agraria. Undang-Undang Omnisbus Law tanpa mempertimbangan kualitas aturan dan situasi agraria saat ini. Pembuat undang-undang terkesan instan disahkan tanpa ada pembahasan yang matang di DPR dan tidak adanya partisipasi masyarakat.

Padahal Indonesia saat ini tengah mengalami lima pokok krisis agraria, yakni: (1) Ketimpangan struktur agraria yang tajam; (2) Maraknya konflik agraria struktural; (3) Kerusakan ekologis yang meluas; (4) Laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian; (5) Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

“Maka melihat permasalahan yang berpotensi muncul ke belakang setelah disahkan Omnibus Law ini, yakni perampasan hak atas warga. Maka kami memandang Omnibus Law gagal menjawab 5 krisis agraria yang terjadi. Secara tegas kami menolak Omnibus Law. Karena point terkait dengan pertanahan pada omnibus Law seharusnya menjadi basis bangsa dan negara kita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan Pasal 33 UUD 1945,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/