DENPASAR – Aksi teror mengebom tiga gereja, Mapolresta Surabaya, dan sebuah rusunawa di kawasan Sepanjang, Sidoarjo, memicu teror di masyarakat.
Meski begitu masyarakat tak perlu takut. Aparat bakal bertindak tegas dengan memburu pelaku teror. Namun, ada yang perlu dikritisi dengan aksi bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo ini.
Yakni lemahnya aparat mendeteksi para pelaku sehingga insiden bom bunuh diri itu terjadi. Aparat yang dimaksud adalah Badan Intelijen Nasional (BNI) dan Polri.
Peneliti Pertahanan Keamanan di Puslit Politik LIPI Diandra Mengko mengatakan, berdasar catatan LIPI, sering terjadi misinformasi antara BIN dan kepolisian.
Sementara teknologi cyber berkembang pesawat. Tapi, faktanya bom masih meledak. “Terkadang mereka tahu informasinya, kalau kita bertanya tanya kepolisian.
Mereka menjawabnya tidak mendapat informasi intelijen. Dalam hal ini sulit dipastikan mana yang benar. Yang jelas ada misinformasi. Dan, itu tidak terjadi sekali. Itu menunjukkan koordinasi disana sangat lemah,”kritiknya.
Padahal, ada Kominpus, yakni komite intelijen pusat. Karena mereka ketemu hampir setiap bulan. Jadi, menurutnya, peningkatan koordinasi sudah pasti.
Selain itu juga ada dua hal yang menjadi urgensi dari revisi UU tersebut yakni mengenai pelibatan TNI dalam melakukan penindakan terhadap terorisme dan perpanjangan masa penahanan.
Menurutnya, pelibatan TNI dalam melakukan penanganan sebenarnya bisa dilakukan dengan menggunakan UU TNI yang sudah ada tanpa menunggu Perppu atau revisi UU Terorisme.
Hanya saja, UU ini belum lengkap skemanya dan hanya mengatur sampai presiden bisa membuat keputusan politik negara sehingga perlu diatur dalam UU Perbantuan.
“Itu tugas yang belum kami selesaikan dari lama, PR (pekerjaan rumah) dari reformasi yang 20 tahun belum selesai,” tegasnya