DENPASAR – Delapan bulan tidak disidang, kasus dugaan korupsi Yayasan Al Mar’uf dengan tiga tersangka masing-masing H Muhamad Saifudin, Supeni Mayangsari alias Bu Jero, dan H Miftah Aulawi akhirnya terjawab.
Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Denpasar diduga menghentikan perkara korupsi yang merugikan negara Rp 200 juta tersebut.
Penghentian perkara yang disidik oleh penyidik Unit Tipikor Satreskrim Polresta Denpasar ini diduga terkait keluarnya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang dikeluarkan oleh penyidik Pidsus Kejari Denpasar pada Januari lalu.
Surat penghentian tersebut diduga ditandatangani oleh mantan Kajari Denpasar, Sila H Pulungan.
Menurut informasi, setelah dilakukan pelimpahan tahap II yaitu pelimpahan barang bukti dan tersangka dari penyidik kepolisian ke Kejari Denpasar, Kamis (6/9) lalu,
penyidik Pidsus Kejari Denpasar bukannya langsung melimpahkan perkara ini ke Pengadilan Tipikor Denpasar, melainkan kembali melakukan penelitian perkara tersebut.
Hasilnya, penyidik Pidsus Kejari Denpasar menyatakan jika pekara ini tidak layak dilanjutkan ke Pengadilan Tipikor Denpasar karena ada
beberapa aspek yuridis yang tidak terpenuhi, selain adanya pengembalian kerugian Negara setelah dilakukan pelimpahan.
Selain itu, beredar kabar ada ‘orang kuat’ dari kalangan kejaksaan yang menginginkan perkara ini dihentikan.
“Sejak dilimpahkan kasus ini sudah menuai kontroversi.Tiga tersangka tidak ditahan dan perkaranya tidak dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Denpasar,” jelas sumber yang enggan disebutkan namanya.
Puncaknya pada Januari lalu, penyidik Pidsus Kejari Denpasar mengeluarkan SKP2 untuk menghentikan perkara yang sebelumnya sudah dinyatakan lengkap dan siap disidangkan oleh penyidik Unit Tipikor Polresta Denpasar.
Anehnya, meski perkara ini dihentikan, namun tidak ada pejabat di Kejari Denpasar yang berani buka mulut soal penghentian perkara ini.
Bahkan, Kasi Intel dan Humas Kejari Denpasar, Agus Sastrawan yang dikonfirmasi wartawan beberapa waktu lalu minta waktu untuk koordinasi dengan Kejati Bali.
Sementara Kasi Penkum Dan Humas Kejati Bali, Gede Putera yang baru beberapa hari menggantikan Edwin Beslar menolak berkomentar dengan alasan masih akan melakukan koordinasi dengan Kejari Denpasar.
“Nanti saya tanyakan dulu. Besok kami beri jawaban,” ujar Gede Putera yang hingga kini tak kunjung memberikan jawaban soal perkara ini kepada wartawan.
Seperti diberitakan, dugaan kasus korupsi ini berawal 30 Desember 2016 ketika tersangka, H Miftah Aulawi Noor selaku ketua yayasan Al-Ma’ruf Denpasar
mengajukan permohonan dana bantuan hibah untuk kegiatan perjalanan Ziarah Wali Songo dan pengadaan pakaian seragam pada APBD Perubahan tahun 2016.
Pengajuan bantuan dana hibah ini dibantu oleh tersangka H Mohamad Saifudin sebagai Pembina yayasan Al-Ma’ruf dan tersangka Supeni Mayangsari.
Pemerintah Kota Denpasar kemudian mengucurkan dana hibah sebesar Rp200 juta. Setelah bantuan dana hibah ini cair, sebagai ketua yayasan dan pemohon dana bantuan hibah,
H Miftah Aulawi Noor, tidak dapat mempertanggungjawabkan dana bantuan hibah untuk kegiatan perjalanan Ziarah Wali Songo dan pengadaan pakaian seragam tersebut.
Ternyata, kegiatan tersebut tidak dilaksanakan dan dalam laporan pertanggungjawaban tersangka mempergunakan nota dan kuitansi fiktif.
Berdasar hasil audit perhitungan kerugian keuangan Negara dari BPKP Perwakilan Bali menyatakan bahwa perbuatan tersangka telah mengakibatkan kerugian Keuangan Negara atau Daerah sebesar Rp.200 juta.