DENPASAR – Nama notaris Ni Ketut Neli Asih, 54, sempat diseret-seret saat sidang kasus penggelapan dan penipuan yang melibatkan mantan Wagub Bali I Ketut Sudikerta bergulir.
Notaris kelahiran Singaraja itu juga sempat menjadi pesakitan karena didakwa terlibat penipuan bersama terdakwa lain Gunawan Priambodo yang juga kolega Sudikerta.
Neli pada persidangan tingkat pertama di PN Denpasar pertengahan 2019 lalu dinyatakan bersalah melanggar Pasal 378 KUHP.
Ia diganjar pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan (16 bulan). Tak terima dengan putusan itu, Neli kemudian banding. Hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun 2 bulan.
Karena upaya hukum kasasi lewat waktunya, Neli langsung menempuh peninjauan kembali (PK). Kabar teranyar, pengajuan PK ke Mahkamah Agung tidak sia-sia.
PK yang diajukan Neli dikabulkan. “Isi PK kami belum tahu. Tapi, dalam website MA sudah dinyatakan PK (Neli Asih) kabul. Artinya Neli Asih bebas murni,” terang John Korassa, penasihat hukum Neli Asih kemarin.
Menurut John, pihaknya mengajukan PK dengan pertimbangan hakim PN Denpasar telah khilaf salah penerapan hukum dalam mengambil putusan.
Salah penerapan hukum bukan pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian dibuat antara para pihak Mahendro Anton Inggriyono (pelapor/saksi korban) dengan Gunawan Priambodo (terlapor).
Saksi korban menerangkan akte yang dikeluarkan Neli tidak merugikan, justru menguntungkan korban.
“Ini kan kasus yang dipaksakan. Korban tidak pernah melaporkan, tapi Neli bisa menjadi terdakwa,” tudingnya.
Sementara itu, Kasi Intel Kejari Denpasar IGN Agung Ary Kesuma yang dikonfirmasi terpisah mengaku belum mendapat informasi salinan putusan PK dari MA.
“Kami belum bisa berkomentar karena kami belum mendapatkan bukti apapun. Kami sifatnya masih menunggu,” kata Ary.
Sebagaimana diungkap dalam dakwaan JPU Putu Oka Suryatmaja di muka majelis hakim yang diketuai IGN Partha Barghawa, pada 4 September 2014 bertempat di kantor
terdakwa Neli di Jalan Nakula, Nomor 8, Legian, Kuta, Badung, terdakwa dianggap sengaja memberi kesempatan Gunawan Priambodo
melakukan perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.
Awalnya, pada 8 Agustus 2014, Neli didatangi Sugiartini staf pribadi Gunawan. Staf tersebut membawa surat kelengkapan tanah
yang berlokasi di Kelurahan Tanjung Benoa, Kuta Selatan, seluas 5.445 meter persegi atas nama PT Nuansa Bali Utama.
Sertifikat HGB itu dibawa dengan maksud dibuatkan perjanjian jual beli antara Anton (korban) dengan Gunawan Priambodo. Sertifikat itu dititipkan di kantor Neli.
Namun, bukannya membuat perjanjian perikatan jual beli (PPJB) melainkan hanya dibuatkan akta kuasa menjual antara Gunawan dengan Anton.
Pada dan Mahendro Anton Inggriyono (korban). Baik Gunawan maupun Mahendro sama-sama pebisnis yang bergerak di bidang agen properti di Bali.
Menurut saksi Sugiartini, keduanya menyetujui cara pembayaran tanah tersebut dengan cara menghapus piutang korban yang masih berada pada Gunawan,
kemudian mengakumulasikan piutang tersebut bersama beberapa transaksi antara Gunawan dengan korban.
Beberapa kali korban menyetorkan sejumlah uang pada Gunawan. Jika ditotal mencapai Rp 11,6 miliar.
Pada 13 Agustus 2014, datang saksi Sugiartini ke kantor Neli mengambil sertifikat atas perintah Gunawan dengan dalih akan mengurus pemecahan sertifikat sendiri.
Namun, sertifikat tanah ternyata masih atas nama PT Nuansa Bali Utama berupa HGB. Singkat cerita, saat korban datang ke kantor Neli hendak mengurus transaksi dan perikatan,
terdakwa Neli tidak memberitahu jika sertifikat sudah diambil Gunawan. Akibat perbuatan terdakwa, korban mengalami kerugian Rp 11,6 miliar.