DENPASAR – VBL bisa bernafas lega. Pasalnya, pengemudi mobil Ford Escort yang masih berusia 17 tahun ini tidak ditahan kepolisian Polresta Denpasar.
Padahal, VBL telah menabrak dua emak-emak pengendara motor hingga tewas di Jalan Bypass Ngurah Rai, Denpasar Selatan beberapa waktu lalu. Dua korban itu Peni Lestari, 38, dan Oka Rumiyati, 45.
Kasus ini sendiri mendapat perhatrian Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Ni Kadek Vani Primaliraning.
Kadek Vani menyatakan, VBL masih di bawah umur. Karena itu wajib didiversi. Kasus VBL sendiri persis dengan kasus anak musisi Ahmad Dhani, Abdul Qadir Jaelani alias Dul.
Mobil Mitsubishi Lancer yang dikendarai Dul saat itu menabrak dua mobil sehingga menewaskan tujuh orang. Saat itu, Dul tak dipenjara. Alasannya, Dul belum dewasa.
“Pemenjaraan terhadap anak di bawah umur dapat memperburuk kondisi kejiwaannya,” kata Kadek Vani lagi.
Dia mengatakan, UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menitikberatkan pada semangat diversi atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Hal ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice). Jikalau korban sudah memaafkan dan melihat ini sebagai suatu musibah,
dan kesepakatan kedua belah pihak berjalan lancar yakni berjanji menanggung biaya korban maka terlapor bisa di Vonis bebas.
Seperti yang tertera pada Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi, jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,
Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Pun ancaman sanksi pidana untuk pengemudi kendaraan bermotor penyebab kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000 (Pasal 310 ayat [4] UU LLAJ).
“Kalau berkaca pada Dul, sampai di pengadilan. Tapi dikembalikan ke orang tua. Karena orang tua Dul mau bertanggung jawab dengan ganti rugi. Di sini, polisi berhak melakukan divesi tanpa harus ke pengadilan,” bebernya.
Disinggung mengenai ada tidaknya diskriminasi bagi pelaku (anak) yang miskin, Kadek Vani mengatakan, dalam prosesnya, tidak jarang anak mendapatkan kekerasan fisik (setrum, pemukulan) dan psikis dari aparat.
Juga jarang berhasil didiversi karena tidak mampu mampu memenuhi keinginan korban. Hanya bersandar pada putusan Hakim, Jaksa yang menangani kasus anak.
Tidak semua anak punya perspektif tidak merasa bersalah. Putusan hakim pun sekarang lebih cenderung ke pidana ketimbang pengembalian ke orang tua atau pelatihan kerja.