27.3 C
Jakarta
21 November 2024, 22:52 PM WIB

Hakim Putus Nihil Koruptor ASABRI, Praktisi Mengecam, Jaksa Banding!

DENPASAR-Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi ASABRI yang merugikan negara triliunan rupiah lolos dari tuntutan hukuman mati. Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memutus Heru bersalah, tapi hakim tidak menjatuhkan hukuman pidana badan alias nihil. Hakim hanya menjatuhkan pidana pembayaran yang ganti rugi.

 

Hakim membebaskan Heru dari tuntutan hukuman mati dengan dalih sudah mendapat hukuman maksimal pada kasus lain. Sontak putusan hakim Pengadilan Tipikor yang memberikan hukuman nihil pada Heru itu langsung banjir kecaman. Salah satunya dari Arief Poyuono, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu.

 

“Logika sederhananya, jika perkara pertama telah diputus seumur hidup, seharusnya untuk perkara kedua yang nilai korupsinya jauh lebih besar, harusnya diputus lebih berat lagi, yakni hukuman mati,” tegas Arief, Rabu (19/2/2022).

 

Menurut Arief, undang-undang tidak melarang hukuman mati, namun mengapa korupsi megatriliun yang dilakukan Heru tidak dihukum mati. Apalagi yang bersangkutan sudah dua kali melakukan korupsi.

 

Arief menuturkan, patut diduga bahwa majelis hakim yang meyidangkan kasus ini masuk angin sehingga memutus nihil hukuman atau tidak menjatuhkan hukuman badan.

 

“Karena itu saya hakim hakim yang meyidangkan kasus ini perlu diperiksa oleh Komisi Yudisial, dan Kejaksaan Agung harus melakukan banding ke Mahkamah Agung untuk bisa mendapatkan keadilan bagi masyrakat Indonesia,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Boyamin Saiman selaku koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), mengatakan menghormati putusan tersebut, namun tetap menyatakan kecewa karena tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

 

Boyamin menilai, jika hakim tidak memberi hukuman mati sesuai tuntutan jaksa, maka semestinya tetap memberikan hukuman seumur hidup atau hukuman seumur hidup secara bersyarat.

 

“Berdasar Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika hakim menyatakan terdakwa bersalah, maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana. Tidak boleh nihil, karena hukuman sebelumnya dalam kasus Jiwasraya adalah seumur hidup dan bukan penjara dalam hitungan maksimal 20 tahun,” jelasnya.

 

Hukuman nihil hanya berlaku di perkara penjara terhitung yaitu 1 hari hingga maksimal 20 tahun. Jika hukuman seumur hidup maka bisa dijatuhkan hukuman yang sama atau hukuman diatasnya yaitu mati.

 

Putusan kemarin menyatakan perbuatan Terdakwa Heru Hidayat terbukti, maka mestinya dipidana dan bukan nihil. Bisa seumur hidup atau mati.

 

Sesuai pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga MAKI meminta jaksa Kejagung harus melakukan upaya Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

“Putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan masyarakat, mengingat perbuatan Heru Hidayat sangat merugikan negara, masyarakat dan nasabah secara berulang (Jiwasraya dan Asabri),” tandasnya.

 

Hal senada diungkapkan Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad.

 

“Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan menciderai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” terang Suparji.

 

Ia juga menjelaskan bahwa putusan tersebut memang harus dihormati, namun patut dikritisi. Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.

 

Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat.

 

Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp. 16,7 Triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp22,7 Triliun.

 

Suparji Ahmad mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut Suparji merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.

 

Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung RI Leonard Eben Ezer Simanjutak menyatakan banding atas putusan hakim. Ia menilai putusan hakim telah menciderai rasa keadilan masyarakat. (rba) 

DENPASAR-Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi ASABRI yang merugikan negara triliunan rupiah lolos dari tuntutan hukuman mati. Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memutus Heru bersalah, tapi hakim tidak menjatuhkan hukuman pidana badan alias nihil. Hakim hanya menjatuhkan pidana pembayaran yang ganti rugi.

 

Hakim membebaskan Heru dari tuntutan hukuman mati dengan dalih sudah mendapat hukuman maksimal pada kasus lain. Sontak putusan hakim Pengadilan Tipikor yang memberikan hukuman nihil pada Heru itu langsung banjir kecaman. Salah satunya dari Arief Poyuono, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu.

 

“Logika sederhananya, jika perkara pertama telah diputus seumur hidup, seharusnya untuk perkara kedua yang nilai korupsinya jauh lebih besar, harusnya diputus lebih berat lagi, yakni hukuman mati,” tegas Arief, Rabu (19/2/2022).

 

Menurut Arief, undang-undang tidak melarang hukuman mati, namun mengapa korupsi megatriliun yang dilakukan Heru tidak dihukum mati. Apalagi yang bersangkutan sudah dua kali melakukan korupsi.

 

Arief menuturkan, patut diduga bahwa majelis hakim yang meyidangkan kasus ini masuk angin sehingga memutus nihil hukuman atau tidak menjatuhkan hukuman badan.

 

“Karena itu saya hakim hakim yang meyidangkan kasus ini perlu diperiksa oleh Komisi Yudisial, dan Kejaksaan Agung harus melakukan banding ke Mahkamah Agung untuk bisa mendapatkan keadilan bagi masyrakat Indonesia,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Boyamin Saiman selaku koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), mengatakan menghormati putusan tersebut, namun tetap menyatakan kecewa karena tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

 

Boyamin menilai, jika hakim tidak memberi hukuman mati sesuai tuntutan jaksa, maka semestinya tetap memberikan hukuman seumur hidup atau hukuman seumur hidup secara bersyarat.

 

“Berdasar Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika hakim menyatakan terdakwa bersalah, maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana. Tidak boleh nihil, karena hukuman sebelumnya dalam kasus Jiwasraya adalah seumur hidup dan bukan penjara dalam hitungan maksimal 20 tahun,” jelasnya.

 

Hukuman nihil hanya berlaku di perkara penjara terhitung yaitu 1 hari hingga maksimal 20 tahun. Jika hukuman seumur hidup maka bisa dijatuhkan hukuman yang sama atau hukuman diatasnya yaitu mati.

 

Putusan kemarin menyatakan perbuatan Terdakwa Heru Hidayat terbukti, maka mestinya dipidana dan bukan nihil. Bisa seumur hidup atau mati.

 

Sesuai pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga MAKI meminta jaksa Kejagung harus melakukan upaya Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

“Putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan masyarakat, mengingat perbuatan Heru Hidayat sangat merugikan negara, masyarakat dan nasabah secara berulang (Jiwasraya dan Asabri),” tandasnya.

 

Hal senada diungkapkan Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad.

 

“Putusan ini jauh dari tuntutan pidana dari penuntut umum dan menciderai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara dengan sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” terang Suparji.

 

Ia juga menjelaskan bahwa putusan tersebut memang harus dihormati, namun patut dikritisi. Salah satu yang perlu dieksaminasi adalah pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam surat dakwaan, yang kemudian menjadi dasar tidak diberinya sanksi pidana.

 

Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat.

 

Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp. 16,7 Triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp22,7 Triliun.

 

Suparji Ahmad mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut Suparji merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.

 

Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung RI Leonard Eben Ezer Simanjutak menyatakan banding atas putusan hakim. Ia menilai putusan hakim telah menciderai rasa keadilan masyarakat. (rba) 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/