DENPASAR-Lambannya proses penyidikan dan kekukuhan penyidik Polres Buleleng untuk tetap meminta dan memeriksa NEA, 17, korban kasus dugaan asusila yang dilakukan oknum pimpinan Yayasan Panti Asuhan di Buleleng menuai kecaman dari Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali.
Seperti disampaikan Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi KPPAD Bali Ni Luh Gede Yastini, SH.
Dikonfirmasi, Rabu (19/6), Yastini menegaskan jika atas kasus yang diduga terjadi pada, Maret 2018 untuk bisa segera diproses demi kepastian hukum dan keadilan korban.
“Kami (KPPAD Bali) mendorong kepolisian Polres Buleleng dan Kejaksaan Negeri Buleleng untuk segera memproses kasus ini demi keadilan bagi korban dan juga kepastian hukum,”tegas Yastini.
Terlebih, dorongan KPPAD Bali itu karena atas kasus ini, pihak KPPAD Bali sebelumnya juga telah menggelar rapat koordinasi dengan melibatkan aparat penegak hukum di Buleleng yang intinya akan menindaklanjuti kasus ini. “Tetapi hingga kini tidak ada perkembangan yang jelas,”imbuhnya.
Apalagi yang makin mengejutkan, atas kkasus yang sempat membuat gempar jagat Bali karena korban mengalami depresi berat pasca peristiwa kekerasan yang dialami.
Kini pihak aparat penegak hukum menyampaikan bahwa kasus belum bisa lanjut karena kondisi mental anak yang tidak bisa dimintai keterangan.
“Hal ini sangat kami sayangkan seharus dengan kondisi mental anak yang terganggu digunakan alat bukti lain untuk bisa mengungkap kasus ini bukan memaksakan harus dengan keterangan korban,“ ujarnya.
Menurut Yastini, soal saksi yang selalu dijadikan persoalan selama ini, selain melihat KUHAP, pihaknya juga menyarankan agar penyidik juga melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai perluasan pengertian saksi.
“Sekali lagi, kami mendesak Polres Buleleng dan Kejaksaan Negeri Buleleng agar kasus ini bisa diproses sehingga tidak menjadi perseden buruk dalam penegakan hukum kasus kekerasan seksual anak terutama bagi korban anak yang mengalami gangguan mental,”pungkasnya.