27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 6:55 AM WIB

Soal Sebutan IDI Kacung WHO, Jiwa Atmaja Kritik Ahli Bahasa Sebelumnya

DENPASAR – Sidang lanjutan kasus “IDI Kacung WHO” kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (22/10). Kali ini pihak JRX SID Sebagai terdakwa menghadirkan saksi ahli bahasa, yang juga pensiunan dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Drs Made Jiwa Atmaja, S.U.

Diwawancara usai keluar dari ruang sidang, Jiwa Atmaja mengkritik kajian yang dilakukan oleh ahli bahwa sebelumnya yang dihadirkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum.

“Perkara bahasa itu tidak bisa dikaji dari segi bentuk leksikal saja,” jelas Jiwa Atmaja.

Dia menjelaskan, menurut ahli bahasa terdiri dari dua komponen. Yakni  bentuk akustik dan komponen mental. Maka, kajian ahli yang sampai pada bentuk itu harus sampai pada komponen mental.

“Hanya saja persoalan ahli bahasa sebelumnya hanya berhenti pada utak-atik pada bentuk kata saja. Tidak sampai pada kemahiran seorang penyair dengan diksi penyair atau penulis lirik lagu. Itu harus dihargai statusnya. Paling tidak dijadikan konteks untuk kajian sampai pada komponen mentalnya dia. Apakah dia bertindak buruk atau tidak,” katanya kepada awak media. 

Lanjut dia, seharusnya postingan JRX SID yang dipermasalahkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dilihat sebagai postingan seorang penyair. Di mana sebagai seorang penyair dan seniman, JRX mempunyai diksi khusus dalam berbahasa dan berbeda dengan orang lain.

Dan hal itulah yang menuruti Atmaja tidak dilihat oleh IDI dan juga Jaksa Penuntut Umum. Katanya, diksi yang digunakan oleh JRX sebagai seniman dan penyair menyebabkan satu kata berbeda dari arti leksikal pada kamus.

Lanjut dia, jika kata “kacung” atau “menyerang” itu konotasinya buruk dari makna leksikal di kamus. Namun dalam diksi seorang penyair bisa jadi tidaklah buruk.

“Kata menyerang, dia (JRX) tidak mempunyai kekuatan menyerang. Kata menyerang itu artinya dia tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya dihawab,”ujarnya.

Dengan adanya perbedaan diksi tersebut, lanjut dia, maka dengan gampangnya pihak lain menilai JRX memiliki niat buruk atau “menyerang” IDI. 

Lalu kenapa JRX menggunakan diksi seperti itu? Menurut Jiwa Atmaja, JRX menggunakan bahasa seperti itu karena seorang seniman menggunakan diksi dengan pilihan kata khusus dengan diharapkan diksi yang digunakannya mempunyai tenaga untuk menyedot perhatian orang sehingga pertanyaannya pada postingan di medsos bisa dijawab.

“Sehingga adalah kata konspirasi busuk atau  kata tidak berhenti menyerang. Apa ada niat buruk? Kan tidak ada,” terangnya. 

Terkait kata “kacung” yang dipermasalahkan IDI, Atmaja mengatakan bahwa secara struktural IDI tidak di bawah WHO. Tapi, lanjut dia, bukan kah semua SOP prosedur terkait penanganan covid itu datang dari WHO lalu diikuti oleh negara-negara anggota PBB. Dan pelaksanaan negara di garis depan itu dokter dan rumah sakit.

“Secara struktural Itu bukan atasannya dia. Tetapi secara konseptual ada hubungan konseptual. Semua kesalahpahaman memahami bahasa. Tidak memahami perspektif yang lebih luas,” tandasnya.

DENPASAR – Sidang lanjutan kasus “IDI Kacung WHO” kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (22/10). Kali ini pihak JRX SID Sebagai terdakwa menghadirkan saksi ahli bahasa, yang juga pensiunan dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Drs Made Jiwa Atmaja, S.U.

Diwawancara usai keluar dari ruang sidang, Jiwa Atmaja mengkritik kajian yang dilakukan oleh ahli bahwa sebelumnya yang dihadirkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum.

“Perkara bahasa itu tidak bisa dikaji dari segi bentuk leksikal saja,” jelas Jiwa Atmaja.

Dia menjelaskan, menurut ahli bahasa terdiri dari dua komponen. Yakni  bentuk akustik dan komponen mental. Maka, kajian ahli yang sampai pada bentuk itu harus sampai pada komponen mental.

“Hanya saja persoalan ahli bahasa sebelumnya hanya berhenti pada utak-atik pada bentuk kata saja. Tidak sampai pada kemahiran seorang penyair dengan diksi penyair atau penulis lirik lagu. Itu harus dihargai statusnya. Paling tidak dijadikan konteks untuk kajian sampai pada komponen mentalnya dia. Apakah dia bertindak buruk atau tidak,” katanya kepada awak media. 

Lanjut dia, seharusnya postingan JRX SID yang dipermasalahkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dilihat sebagai postingan seorang penyair. Di mana sebagai seorang penyair dan seniman, JRX mempunyai diksi khusus dalam berbahasa dan berbeda dengan orang lain.

Dan hal itulah yang menuruti Atmaja tidak dilihat oleh IDI dan juga Jaksa Penuntut Umum. Katanya, diksi yang digunakan oleh JRX sebagai seniman dan penyair menyebabkan satu kata berbeda dari arti leksikal pada kamus.

Lanjut dia, jika kata “kacung” atau “menyerang” itu konotasinya buruk dari makna leksikal di kamus. Namun dalam diksi seorang penyair bisa jadi tidaklah buruk.

“Kata menyerang, dia (JRX) tidak mempunyai kekuatan menyerang. Kata menyerang itu artinya dia tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya dihawab,”ujarnya.

Dengan adanya perbedaan diksi tersebut, lanjut dia, maka dengan gampangnya pihak lain menilai JRX memiliki niat buruk atau “menyerang” IDI. 

Lalu kenapa JRX menggunakan diksi seperti itu? Menurut Jiwa Atmaja, JRX menggunakan bahasa seperti itu karena seorang seniman menggunakan diksi dengan pilihan kata khusus dengan diharapkan diksi yang digunakannya mempunyai tenaga untuk menyedot perhatian orang sehingga pertanyaannya pada postingan di medsos bisa dijawab.

“Sehingga adalah kata konspirasi busuk atau  kata tidak berhenti menyerang. Apa ada niat buruk? Kan tidak ada,” terangnya. 

Terkait kata “kacung” yang dipermasalahkan IDI, Atmaja mengatakan bahwa secara struktural IDI tidak di bawah WHO. Tapi, lanjut dia, bukan kah semua SOP prosedur terkait penanganan covid itu datang dari WHO lalu diikuti oleh negara-negara anggota PBB. Dan pelaksanaan negara di garis depan itu dokter dan rumah sakit.

“Secara struktural Itu bukan atasannya dia. Tetapi secara konseptual ada hubungan konseptual. Semua kesalahpahaman memahami bahasa. Tidak memahami perspektif yang lebih luas,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/