DENPASAR – Kasus dugaan pedofil yang terjadi di ashram di Klungkung hingga kini masih menjadi isu panas di tengah masyarakat Bali.
Meski Kapolda Bali Irjen Petrus Golose secara tegas menyatakan bahwa penyelidikan kasus ini dihentikan, namun publik masih berharap kasus ini diungkap secara gamblang.
Lantas, apa alasan Polda Bali menghentikan penyelidikan kasus ini? Sebagai catatan, penyidik Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali telah melakukan upaya penyelidikan secara proaktif.
Mereka juga telah menemukan orang yang diduga sebagai korban. Namun, menemui sejumlah kendala.
Menurut Kabidhumas Polda Bali Kombes Hengky Widjaja, kendala pertama, orang yang diduga sebagai korban tidak bersedia untuk memberikan keterangan,
baik terkait kapan dan dimana kejadiannya, modus operandi bagaimana, dan lainnya) kepada pihak kepolisian.
Sehingga penyidik tidak bisa mengumpulkan alat bukti yang mendukung guna membuktikan apakah benar telah terjadi dugaan pidana pedofil.
“Jadi, masalah intinya adalah belum ada yang merasa jadi korban. Bagaimana mau lanjut prosesnya? Artinya sama saja tidak terjadi tindak pidana pedofil,” kata Kombes Hengky Widjaja.
Yang kedua, kata dia, penyidik tidak bisa melakukan penyidikan tanpa adanya keterangan korban (korban masih hidup/sehat).
Karena keterangan para saksi yang baru diperoleh hanya saksi yang mendengar cerita dari orang yang diduga sebagai korban dan bukan saksi yang mengalami atau mengetahui peristiwa secara langsung (testimonium de auditu).
Ketiga bahwa terhadap informasi adanya rekaman pengakuan pelaku, sampai saat ini belum diperoleh penyidik.
Dan, bila benar ada rekaman tersebut, maka rekaman tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti berdiri sendiri tanpa didukung oleh alat bukti yang lain (keterangan korban, saksi, surat, ahli dan petunjuk).
Menurutnya, pengakuan pelaku baru bernilai sebagai alat bukti bila diucapkan di depan sidang pengadilan (keterangan terdakwa).
Keempat, terkait dengan orang yang diduga sebagai korban tidak mau memberikan keterangan penyidik tidak bisa memaksa karena sesuai dengan
pasal 5 huruf c UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan korban berhak memberikan keterangan tanpa tekanan.
“Saat ini seharusnya kita bersama tidak memaksa orang yang diduga sebagai korban untuk memberikan keterangan,
karena korban sudah tidak mau mengingat kembali peristiwa yang dialami atau trauma masa lalunya,” tambah Kombes Hengky Widjaja.
Menurut dia, justru seharusnya sekarang semua pihak bersama-sama harus melindungi hak korban yang sudah hidup tenang dan bahagia dan sudah pulih dari traumanya serta sudah melupakan peristiwa yang dialaminya.
“Agar kasus-kasus seperti ini tidak dipolitisir karena akan mengingatkan korban kembali pada trauma masa lalunya,” tandasnya.