GIANYAR – NWPLD, mantan teller yang menjadi terdakwa kasus penggelapan uang PT. BPR Suryajaya Ubud sebesar Rp 7 miliar membuat pengakuan mengejutkan dalam sidang lanjutan di PN Gianyar, Kamis (23/4).
Sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa yang dipimpin oleh Ketua PN Gianyar Ida Ayu Sri Adriyanthi AW, Jaksa Penuntut Umum
menyodorkan alat bukti berupa slip penarikan atas nama Made Suryana yang digunakan menuduh tersangka melakukan penggelapan uang.
Saat ditanya oleh hakim dan jaksa apakah slip tersebut dibuat oleh terdakwa, terdakwa menjawab tidak pernah membuat atau menandatangani slip penarikan atas nama Made Suryana.
Bahkan untuk menambah keyakinan hakim, terdakwa disuruh oleh hakim membuat tandatangan, membuat paraf dan menulis kalimat yang sama seperti slip.
Saat tandatangan, paraf dan tulisan yang dibuat oleh terdakwa disandingkan oleh hakim, ternyata paraf dan tulisan terdakwa berbeda dengan paraf dan tulisan yang ada di slip penarikan.
“Tarikannya beda,” ujar ketua majelis. Selanjutnya terdakwa menerangkan bahwa yang menyebabkan terdakwa dirumahkan
pada tanggal 19 Desember 2018 karena terdakwa memprotes transaksi fiktif sebesar Rp 850 juta yang sama sekali tidak pernah ditangani oleh terdakwa.
Saat sudah dihapus, keesokan harinya transaksi 850 juta kembali muncul sehingga terdakwa kembali mengajukan protes hingga ke Dirut BPR.
Setelah protes tersebut, terdakwa mulai merasa tidak nyaman bekerja karena terdakwa selalu dijudesin bahkan diperintahkan oleh atasannya untuk melakukan pekerjaan yang bukan job desk terdakwa.
Dalam persidangan juga terungkap bahwa terdakwa pernah menolak perintah Direktur Operasional dan Bisnis Catur Susana untuk
mengambil uang sebesar Rp 100 juta lebih dari kredit rekening koran atas nama Luh Indriani karena sudah ditransaksikan sendiri oleh Catur Susana.
Lebih jauh, terdakwa menolak karena kredit bukan bagian dari job desk terdakwa. Atas hal tersebut, Kuasa Hukum yang mendampingi terdakwa I Wayan ‘Gendo’ Suardana
memberikan pertanyaan kepada terdakwa apakah pernah memasukkan data fiktif atau mengaburkan dokumen yang merugikan bank? Terdakwa menjawab tidak pernah.
Terdakwa juga mencabut surat pernyataan pengakuan mengambil uang BPR sejumlah Rp 7 miliar lebih yang digunakan oleh JPU sebagai alat bukti.
Terdakwa menjelaskan awalnya ia menolak paksaan atasan BPR Suryajaya Ubud yang datang ke rumahnya untuk membuat surat pernyataan dengan kalimat dan kertas yang sudah disiapkan oleh direksi.
Karena terdakwa menolak untuk membuat surat pernyataan, pihak BPR memaksa terdakwa untuk menandatangani kertas yang sudah berisi pengakuan mengambil uang BPR sejumlah Rp 7 miliar.
Gendo menanggapi terdakwa apakah semua surat pernyataan yang ditandatangani oleh terdakwa di bawah tekanan tersebut mau dicabut dalam persidangan, terdakwa menjawab tegas.
“Ya saya cabut semua,” katanya. Dalam persidangan juga JPU menanyakan alasan terdakwa menyangkal semua keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian.
Terdakwa menjelaskan bahwa dirinya ditunjukkan bukti-bukti oleh penyidik dan tidak diberikan kesempatan untuk membela diri.
Penyidik juga menyampaikan kepada terdakwa agar melakukan pembelaan di Pengadilan saja karena di Kepolisian dua alat bukti sudah cukup untuk memenjarakannya.
Dari keterangan saat persidangan, terungkap bahwa awal mula kasus ini justru karena terdakwa memprotes adanya transaksi Rp 850 juta di komputernya yang diluar sepengetahuannya.
Protes itu yang menyebabkan tanpa terdakwa mengerti, dia dirumahkan dengan alasan melakukan pengelapan.
Dengan fakta-fakta bahwa tidak ada bukti yang kuat membuktikan perbuatan terdakwa, termasuk jumlah kerugian yang tidak sesuai antara yang diklaim perusahan dengan laporan dari OJK, jelas terdakwa adalah korban kriminalisasi.
“Bagi kami terdakwa adalah pihak yang dikorbankan,” ujar Gendo. Sidang kembali dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan dari JPU pada tanggal 28 April 2020.