GIANYAR – Sidang pembunuhan tiga anak kandung dengan terdakwa Ni Luh Putu Septiyan Permadani, 33, kembali bergulir di Ruang Tirta PN Gianyar kemarin (26/6).
Agendanya adalah pembacaan eksepsi oleh kuasa hukum terdakwa yang dibaca secara bergantian oleh penasihat hukum, Somya Putra dan Ni Luh Sukawati.
Eksepsi diawali dengan kisah pernikahan pertama Septiyan yang kandas akibat kekerasan. “Sejak saat itu terdakwa memendam rasa sakit hatinya atas tindakan I Wayan Gde Suwidra (suami pertama, red)
yang melarangnya bertemu dengan anaknya dan hal tersebut juga telah menimbulkan perasaan trauma dan ketakutan dalam diri terdakwa,” ujar Somya Putra dihadapan sidang.
Dilanjutkan, pernikahan kedua dengan Putu Moh Diana, rupanya, kembali berbuntut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Ternyata apa yang dipikirkan tidak sesuai dengan kenyataannya, terdakwa memasuki dunia yang lebih kejam,” ujar Somya.
Sejak awal perkawinannya dengan I Putu Moh Diana, terdakwa sudah sering mendapatkan perlakuan yang kasar dan tidak menyenangkan dari suaminya, berupa kekerasan fisik maupun psikis.
Kekerasan yang dialami di antaranya, memukul kepala, membentak, setiap bertengkar selalu mengancam menceraikan
dan memisahkan terdakwa dengan anak-anaknya, suka meremehkan pekerjaan terdakwa, dan sering meminta uang.
“Sejak awal perkawinan, Putu Moh Diana tidak pernah memberikan terdakwa nafkah karena gaji I Putu Moh Diana sudah habis dipakai untuk membayar hutang orang tuanya.
Sehingga selama ini terdakwa harus membiayai dirinya sendiri dan menanggung biaya hidup untuk ke-3 anaknya,” terangnya.
Selain itu, semua biaya untuk persalinan ke-3 anaknya dan biaya tiga bulanan ke-3 anaknya ditanggung sendiri oleh terdakwa.
“Kekerasan yang terdakwa alami telah terjadi berkali-kali. Namun kejadian tersebut belum pernah dilaporkan secara resmi kepada pihak yang berwajib karena
terdakwa merasa takut jika melaporkan hal tersebut akan menyebabkan dirinya mengalami perceraian kembali dan tidak dapat lagi untuk bertemu dan bersama dengan anak-anaknya,” jelasnya.
Akan tetapi, saat kasus itu diambil alih oleh Lembaga Advokasi Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, para kuasa hukum sudah mengadukan kasus KDRT itu ke Polres Gianyar pada 10 April lalu.
Lanjut Somya, dalam eksepsi itu menyebutkan, akumulasi beban kehidupan yang luar biasa membuat terdakwa mengambil keputusan bunuh diri.