26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:14 AM WIB

Kasus OTT Sewa Ruko, Mantan Kasatker Bina Marga Didakwa Pasal Berlapis

RadarBali.com – Setelah upaya pra peradilan dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT)  dan dugaan korupsi markup sewa menyewa aset ruko Wisma Bina Marga di Jalan Raya Kuta, Badung kandas, Hartono alias Hartana, 53, mantan Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Unit Pengembangan Kapasitas Tenaga Kebinamargaan (UPKTK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Wilayah III Bali,  yang sempat tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) di kantornya,  mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar. 

Pada sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU)  I Wayan Suardi di hadapan majelis hakim pimpinan Ni Made Sukereni menjerat Hartana dengan pasal berlapis.

Yakni dakwaan primer Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana tekah diubah dengan UU Nomor. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor. 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor,  dan subsider Pasal 11 UU yang sama dengan ancaman maksimal seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar. 

Sesuai surat dakwaan JPU, jerat pasal berlapis bagi mantan kepala Wisma Bina Marga Kementerian PUPR kelahiran Sleman, DIY,  ini bermula dari berawal dari laporan salah satu calon penyewa kios yakni saksi korban Eddy Harliyanto.

Oleh terdakwa, Eddy Harliyanto diminta terdakwa membayar ongkos sewa kios Rp 70 juta per tahun oleh terdakwa.

Padahal penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk satu unit sewa kios ke negara, sebesar Rp 34.760.000. Sehingga terjadi pungli Rp 35.240.000 atau dua kali lipat dari penyetoran PNBP. 

Saksi juga merasa dipaksa melalui telepon dan sms agar disuruh membayar biaya sewa paling lambat tanggal 28 Februari, sedangkan dalam perjanjian pelunasan sewa menyewa paling lambat 30 April 2017 mendatang.

Dari enam unit kios yang disewakan, tiga penyewa, yakni masing-masing Roy Christian Wijaya (UD Bali Luna) sebanyak 1 unit; AA Mira Darini (UD Agung) sebanyak 3 unit; dan Komang Gede Wibawa (UD Bali Enjoy) sebanyak 2 unit telah melakukan pembayaran Rp 70 juta kepada terdakwa.

Sehingga total uang yang telah diterima Rp 420.000.000. “Dari tiga unit kios yang telah dibayar penyewa, total dana PNBP sebesar Rp 208.560.00. Ada dugaan terjadi kelebihan uang sewa sebesar Rp 211.440.000. Kelebihan itu dimasukan ke rekening tersangka,” ujar Suardi. 

Padahal lanjut Suardi dalam surat dakwaannya, terdakwa selaku kasatker memanfaatkan Barang Milik Negara (BMN) berupa 6 unit tanah dan bangunan (ruko)  yang terletak di Jalan Raya Kuta Nomor 195, Kuta, Badung, dengan cara sewa dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar atas nama Menteri Keuangan selaku pengelola sekitar Februari 2017 lalu tidak seijin kepala KPKNL. 

“Selain pungutan sewa tanah dan bangunan ruko terdakwa juga tidak menyertakan surat permohonan sewa ke KPKNL Denpasar. Selain itu,  dalam proses pembayarannya, terdakwa Hartana selaku kuasa pengguna barang juga tidak memberikan atau tanpa kuitansi atau bukti pembayaran,” terang Suardi. 

Atas perbuatannya itu,  terdakwa diduga mencari keuntungan sendiri dan atau menambah kekayaannya sendiri. 

Atas dakwaan JPU, terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya, Nengah Sukardika tidak mengajukan eksepsi. Sidang selanjutnya ditunda dan silanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.

RadarBali.com – Setelah upaya pra peradilan dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT)  dan dugaan korupsi markup sewa menyewa aset ruko Wisma Bina Marga di Jalan Raya Kuta, Badung kandas, Hartono alias Hartana, 53, mantan Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Unit Pengembangan Kapasitas Tenaga Kebinamargaan (UPKTK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Wilayah III Bali,  yang sempat tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) di kantornya,  mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar. 

Pada sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU)  I Wayan Suardi di hadapan majelis hakim pimpinan Ni Made Sukereni menjerat Hartana dengan pasal berlapis.

Yakni dakwaan primer Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana tekah diubah dengan UU Nomor. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor. 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor,  dan subsider Pasal 11 UU yang sama dengan ancaman maksimal seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar. 

Sesuai surat dakwaan JPU, jerat pasal berlapis bagi mantan kepala Wisma Bina Marga Kementerian PUPR kelahiran Sleman, DIY,  ini bermula dari berawal dari laporan salah satu calon penyewa kios yakni saksi korban Eddy Harliyanto.

Oleh terdakwa, Eddy Harliyanto diminta terdakwa membayar ongkos sewa kios Rp 70 juta per tahun oleh terdakwa.

Padahal penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk satu unit sewa kios ke negara, sebesar Rp 34.760.000. Sehingga terjadi pungli Rp 35.240.000 atau dua kali lipat dari penyetoran PNBP. 

Saksi juga merasa dipaksa melalui telepon dan sms agar disuruh membayar biaya sewa paling lambat tanggal 28 Februari, sedangkan dalam perjanjian pelunasan sewa menyewa paling lambat 30 April 2017 mendatang.

Dari enam unit kios yang disewakan, tiga penyewa, yakni masing-masing Roy Christian Wijaya (UD Bali Luna) sebanyak 1 unit; AA Mira Darini (UD Agung) sebanyak 3 unit; dan Komang Gede Wibawa (UD Bali Enjoy) sebanyak 2 unit telah melakukan pembayaran Rp 70 juta kepada terdakwa.

Sehingga total uang yang telah diterima Rp 420.000.000. “Dari tiga unit kios yang telah dibayar penyewa, total dana PNBP sebesar Rp 208.560.00. Ada dugaan terjadi kelebihan uang sewa sebesar Rp 211.440.000. Kelebihan itu dimasukan ke rekening tersangka,” ujar Suardi. 

Padahal lanjut Suardi dalam surat dakwaannya, terdakwa selaku kasatker memanfaatkan Barang Milik Negara (BMN) berupa 6 unit tanah dan bangunan (ruko)  yang terletak di Jalan Raya Kuta Nomor 195, Kuta, Badung, dengan cara sewa dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar atas nama Menteri Keuangan selaku pengelola sekitar Februari 2017 lalu tidak seijin kepala KPKNL. 

“Selain pungutan sewa tanah dan bangunan ruko terdakwa juga tidak menyertakan surat permohonan sewa ke KPKNL Denpasar. Selain itu,  dalam proses pembayarannya, terdakwa Hartana selaku kuasa pengguna barang juga tidak memberikan atau tanpa kuitansi atau bukti pembayaran,” terang Suardi. 

Atas perbuatannya itu,  terdakwa diduga mencari keuntungan sendiri dan atau menambah kekayaannya sendiri. 

Atas dakwaan JPU, terdakwa yang didampingi penasehat hukumnya, Nengah Sukardika tidak mengajukan eksepsi. Sidang selanjutnya ditunda dan silanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/