DENPASAR – I Gede Ari Astina alias JRX SID kembali menjalani sidang secara online Selasa (29/9). Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Ida Ayu Adnya Dewi didampingi hakim anggota Made Pasek dan I Dewa Made Watsara itu, pembacaan eksepsi alias nota keberatan dari JRX selaku terdakwa dijadikan satu dengan tim kuasa hukumnya.
Salah satu poin yang dibacakan dalam eksepsi itu, baik JRX maupun tim kuasa hukumnya menyatakan tidak menerima dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum. Alasannya, karena dakwaan itu tidak memenuhi kualifikasi syarat pembuatan dakwaan.
Dibeberkan kuasa hukum JRX dalam eksepsinya, salah satu jenis keberatan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah dakwaan tidak dapat diterima, dengan pengertian; apabila dakwaan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure), baik terkait kekeliruan terhadap orang yang didakwa, kesalahaan atau kekeliruan terhadap susunan atau bentuk surat yang diajukan Penuntut Umum.
Menurut kuasa hukum JRX, Penuntut Umum tidak memahami karakteristik dakwaan alternatif.
Bahwa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan berpegang pada aturan yaitu Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Se-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, selanjutnya disebut Surat Edaran Jaksa Agung dan petunjuk teknisnya berdasar surat B-607/E/11/1993.
Sesuai dengan surat edaran itu, dakwaan merupakan mahkota bagi Penuntut Umum yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap. Lebih lanjut, Penuntut Umum lewat surat edaran ini dituntut untuk mampu dan mahir dalam menyusun dakwaan. Dalam, kata kuasa hukum JRX, hal ini Surat Edaran Jaksa Agung tersebut menjelaskan dua aspek penting dakwaan, yaitu syarat surat dakwaan dan bentuk surat dakwaan.
Dalam dakwaan ini, kata kuasa hukum, Penuntut Umum sama sekali tidak menjelaskan apa unsur yang saling mengecualikan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengakibatkan Penuntut Umum menggunakan dakwaan alternatif.
“Sedangkan kedua pasal dakwaan ini sama sekali tidak saling mengecualikan,” jelas kuasa hukum JRX.
Kemudian dijelaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE ditujukan untuk melakukan penghinaan secara individu melalui tuduhan untuk diketahui umum sebagaimana harus merujuk pasal 310 dan 311 KUHP, merupakan delik aduan absolut. Sehingga, lanjutnya, korban harus disebutkan namanya secara tegas dan jelas untuk memastikan adanya kesengajaan dengan tujuan merendahkan martabat orang.
“Sedangkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak harus bersifat “tuduhan” melainkan informasi yang merupakan penghasutan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan, dengan berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), bukan Individu,” tegas kuasa hukum JRX.
Sedangkan apa yang dilakukan Penuntut Umum dalam dakwaan aquo (tersebut), terang kuasa hukum, adalah dakwaan yang tidak jelas dengan mencampuradukan semua dakwaan tanpa memberikan pengecualian sebagaimana harusnya dakwaan alternatif disusun.
“Penuntut Umum pada dakwaan pertama menggunakan uraian yang sama sekali tidak dialternatifkan dengan dakwaan kedua bahkan cenderung “copy paste” (salin-tempel),” bebernya.
Padahal, urai kuasa hukum JRX, secara jelas dinyatakan bahwa dakwaan pertama adalah tentang perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Yakni dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Perbuatan berdasarkan pasal ini tidak sama sekali ditujukan untuk penghinaan/ pencemaran nama baik, seperti yang diuraikan penuntut umum dalam halaman 3 dakwaan aquo (tersebut),” paparnya.
Selain itu, dalam eksepsi tersebut, baik JRX maupun tim kuasa hukum menilai perumusan dakwaan tentang perbuatan berlanjut tidak lengkap. Dijelaskan, dalam dakwaan tidak ada uraian lengkap soal perbuatan terdakwa JRX yang membuat 2 postingan tersebut sebagai satu kesatuan niat yang sama ataupun sebagai kesatuan perbuatan/tujuan yang sama.
Secara konten pun, katanya, masing-masing postingan tersebut memiliki muatan yang berbeda sehingga tidak memenuhi bentuk surat dakwaan alternatif yang berarti dakwaan disusun secara berlapis dimana satu dakwaan merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Oleh karenanya uraian tentang perbuatan berlanjut gagal dimuat dalam dakwaan oleh Penuntut Umum.
“Sehingga sebagai penutup, berdasarkan fakta hukum yang telah kami uraikan di atas, maka Penasihat Hukum Terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx menyimpulkan bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b dan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, oleh karenanya Kami mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara aquo agar menerima Nota Keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa I Gede Aryastina alias JRX,” pinta kuasa hukum JRX.
Terakhir, kuasa hukum meminta agar majelis hakim menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum dengan register perkara nomor PDM-0637/Denpa/KTB-TPUL/08/2020, tertanggal 26 Agustus 2020 batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya menyatakan Surat Dakwaan harus dibatalkan. Itu artinya JRX melalui keberatan ini minta bebas dari segala dakwaan jaksa.
“Atau apabila yang terhormat majelis hakim pemeriksa berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” tandas salah satu kuasa hukum JRX SID, Sugeng Teguh Santoso membacakan eksepsi terdakwa.