31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:21 AM WIB

Ada Kode Mau Muntah-Muntah, Ke Kamar Mandi Sebelum Sidang

Setelah sidang perdana digelar pada 21 November 2018, sidang korupsi dana PNPM Kecamatan Rendang, Karangasem, pertengahan pekan ini dijadwalkan putusan.

Ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Karangasem selama ini harus berjuang dalam menangani salah satu dari dua terdakwa, yaitu Ni Ketut Wartini, 39.

 

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

SEBAGAIMANA emak-emak dari desa pada umumnya, penampilan Wartini biasa-biasa saja. Bahkan, penampilannya tidak menunjukkan orang yang sudah mengorupsi dana PNPM hingga merugikan negara Rp 1,9 miliar.

Perempuan yang memiliki nama alias Gembrod, itu selalu memakai baju putih dan celana kain hitam agak lusuh.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai I Wayan Sukanila, Gembrod bicaranya juga “gado-gado”. Sebentar bahasa Indonesia, sebentar lagi bahasa Bali dialek Karangasem.

Namun, yang menarik sebelum memulai persidangan, wajah Gembrod selalu terlihat agak pucat.

Belakangan baru diketahui jika wajah pucat itu disebabkan mabuk darat perjalanan dari Karangasem menuju Denpasar.

Salah satu JPU yang bertugas mengatakan, Gembrod selalu muntah-muntah ketika dibawa menuju ke Pengadilan Tipikor, di Renon, Denpasar.

Gembrod rupanya tak terbiasa naik mobil jarak jauh. Apalagi, mobil tahanan yang digunakan membawa Gembrod kursinya berhadap-hadapan.

Tak ayal, perjalanan dari Karangasem menuju Denpasar selalu menjadi perjuangan tersendiri bargi Gembrod dan juga JPU.      

“Pokoknya selama perjalanan ke sini (Pengadilan Tipikor), pasti ada saja berhentinya di tengah jalan. Bu Wartini (Gembrod) bilang kepalanya pusing, habis itu muntah,” ujar salah satu JPU kepada Jawa Pos Radar Bali, baru-baru ini.

Ketika merasa pusing dan mual hendak muntah, Gembrod memberi kode pada JPU dan polisi pengawal tahanan yang duduk di depan.

“Dia ketuk-ketuk dari belakang, tok-tok-tok, berarti kami harus berhenti untuk memberi waktu agar ibunya (muntah-muntah),” imbuhnya.

Kalau sudah ada kode khusus dari Wartini, maka tim jaksa dan polisi pengawal tahanan harus sigap. Segera memberhentikan mobil memberikan kesempatan pada Wartini untuk mengeluarkan muntahnya.

Wartini yang sudah tahu diri bakal muntah biasanya sudah membawa bekal kresek sebelum berangkat. Meski demikian, bukan berarti tak pernah muntah Wartini tercecer di dalam mobil.

Karena mabuk itu juga membuat tim jaksa tidak bisa tancap gas. Jalan mobil harus dipelankan agar Wartini tak semakin pusing.

Terlebih, ketika lepas dari wilayah Kabupaten Klungkung menuju Kabupaten Karangasem jalurnya lumayan ekstrem. Membelah bukit, berkelok, naik dan turun.

“Biasanya perjalanan ke pengadilan 1,5 jam, ini bisa jadi 2,5 jam,” bebernya. Tidak hanya dalam perjalanan saja Wartini muntah.

Begitu sampai di Pengadilan Tipikor, Wartini segera lari ke kamar mandi. Dia kembali mengeluarkan isi perutnya. Kondisi Wartini itu membuat JPU harus bersabar.

“Kami biasanya menunggu satu jam, ibunya sudah keluar kamar mandi dan tenang, baru kami ajukan ke persidangan,” tandasnya.

Nah, karena pertimbangan Wartini yang hobi mabuk darat itu, JPU harus mengambil langkah taktis. JPU harus memastikan sidang pembacaan putusan hakim tidak tertunda.

Sebab, jika sidang ditunda, maka JPU wajib kembali memberi layanan ekstra pada Wartini. Sebelumnya, dalam sidang dengan agenda tuntutan pada 6 Februari lalu, Wartini dituntut delapan tahun penjara oleh JPU.

Wartini juga dituntut pidana denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Tidak hanya itu saja, Wartini juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 1,67 miliar sesuai yang dia tidak bisa pertanggungjawabkan.

Jika Wartini tidak bisa membayar uang pengganti, hartanya dirampas dan dilelang. Seandainya tidak cukup maka diganti dengan kurungan selama empat tahun.

Sementara itu, terdakwa Murtiani, 47, alias Bebel dituntut dengan hukuman selama tujuh tahun. Kemudian denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.

Selain itu, Murtiani juga dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 292,6 juta. Itupun dengan ketentuan bila dalam sebulan sejak putusan hukuman sudah berkekuatan hukum tetap, pengganti tidak dibayarkan, maka harta bendanya dirampas.

Jika terdakwa tidak punya harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan.

Kendati tuntutan hukuman mereka selisih setahun, kedua terdakwa sama-sama dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan korupsi sebagaimana dakwaan primer.

Ancaman dan ketentuan pidana pada dakwaan primer itu sesuai Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sesuai surat dakwaan, kedua terdakwa didakwa melakukan korupsi dengan modus membuat kelompok fiktif agar bisa mencairkan dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang jadi program bergulir PNPM.

Meski modus yang diterapkan sama, keduanya bekerja sendiri-sendiri. Nilai kerugiannya pun berbeda. Total kerugian yang ditimbulkan kedua terdakwa mencapai Rp 1,9 miliar. (*)

 

 

Setelah sidang perdana digelar pada 21 November 2018, sidang korupsi dana PNPM Kecamatan Rendang, Karangasem, pertengahan pekan ini dijadwalkan putusan.

Ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Karangasem selama ini harus berjuang dalam menangani salah satu dari dua terdakwa, yaitu Ni Ketut Wartini, 39.

 

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

SEBAGAIMANA emak-emak dari desa pada umumnya, penampilan Wartini biasa-biasa saja. Bahkan, penampilannya tidak menunjukkan orang yang sudah mengorupsi dana PNPM hingga merugikan negara Rp 1,9 miliar.

Perempuan yang memiliki nama alias Gembrod, itu selalu memakai baju putih dan celana kain hitam agak lusuh.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai I Wayan Sukanila, Gembrod bicaranya juga “gado-gado”. Sebentar bahasa Indonesia, sebentar lagi bahasa Bali dialek Karangasem.

Namun, yang menarik sebelum memulai persidangan, wajah Gembrod selalu terlihat agak pucat.

Belakangan baru diketahui jika wajah pucat itu disebabkan mabuk darat perjalanan dari Karangasem menuju Denpasar.

Salah satu JPU yang bertugas mengatakan, Gembrod selalu muntah-muntah ketika dibawa menuju ke Pengadilan Tipikor, di Renon, Denpasar.

Gembrod rupanya tak terbiasa naik mobil jarak jauh. Apalagi, mobil tahanan yang digunakan membawa Gembrod kursinya berhadap-hadapan.

Tak ayal, perjalanan dari Karangasem menuju Denpasar selalu menjadi perjuangan tersendiri bargi Gembrod dan juga JPU.      

“Pokoknya selama perjalanan ke sini (Pengadilan Tipikor), pasti ada saja berhentinya di tengah jalan. Bu Wartini (Gembrod) bilang kepalanya pusing, habis itu muntah,” ujar salah satu JPU kepada Jawa Pos Radar Bali, baru-baru ini.

Ketika merasa pusing dan mual hendak muntah, Gembrod memberi kode pada JPU dan polisi pengawal tahanan yang duduk di depan.

“Dia ketuk-ketuk dari belakang, tok-tok-tok, berarti kami harus berhenti untuk memberi waktu agar ibunya (muntah-muntah),” imbuhnya.

Kalau sudah ada kode khusus dari Wartini, maka tim jaksa dan polisi pengawal tahanan harus sigap. Segera memberhentikan mobil memberikan kesempatan pada Wartini untuk mengeluarkan muntahnya.

Wartini yang sudah tahu diri bakal muntah biasanya sudah membawa bekal kresek sebelum berangkat. Meski demikian, bukan berarti tak pernah muntah Wartini tercecer di dalam mobil.

Karena mabuk itu juga membuat tim jaksa tidak bisa tancap gas. Jalan mobil harus dipelankan agar Wartini tak semakin pusing.

Terlebih, ketika lepas dari wilayah Kabupaten Klungkung menuju Kabupaten Karangasem jalurnya lumayan ekstrem. Membelah bukit, berkelok, naik dan turun.

“Biasanya perjalanan ke pengadilan 1,5 jam, ini bisa jadi 2,5 jam,” bebernya. Tidak hanya dalam perjalanan saja Wartini muntah.

Begitu sampai di Pengadilan Tipikor, Wartini segera lari ke kamar mandi. Dia kembali mengeluarkan isi perutnya. Kondisi Wartini itu membuat JPU harus bersabar.

“Kami biasanya menunggu satu jam, ibunya sudah keluar kamar mandi dan tenang, baru kami ajukan ke persidangan,” tandasnya.

Nah, karena pertimbangan Wartini yang hobi mabuk darat itu, JPU harus mengambil langkah taktis. JPU harus memastikan sidang pembacaan putusan hakim tidak tertunda.

Sebab, jika sidang ditunda, maka JPU wajib kembali memberi layanan ekstra pada Wartini. Sebelumnya, dalam sidang dengan agenda tuntutan pada 6 Februari lalu, Wartini dituntut delapan tahun penjara oleh JPU.

Wartini juga dituntut pidana denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Tidak hanya itu saja, Wartini juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 1,67 miliar sesuai yang dia tidak bisa pertanggungjawabkan.

Jika Wartini tidak bisa membayar uang pengganti, hartanya dirampas dan dilelang. Seandainya tidak cukup maka diganti dengan kurungan selama empat tahun.

Sementara itu, terdakwa Murtiani, 47, alias Bebel dituntut dengan hukuman selama tujuh tahun. Kemudian denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.

Selain itu, Murtiani juga dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 292,6 juta. Itupun dengan ketentuan bila dalam sebulan sejak putusan hukuman sudah berkekuatan hukum tetap, pengganti tidak dibayarkan, maka harta bendanya dirampas.

Jika terdakwa tidak punya harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan.

Kendati tuntutan hukuman mereka selisih setahun, kedua terdakwa sama-sama dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan korupsi sebagaimana dakwaan primer.

Ancaman dan ketentuan pidana pada dakwaan primer itu sesuai Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sesuai surat dakwaan, kedua terdakwa didakwa melakukan korupsi dengan modus membuat kelompok fiktif agar bisa mencairkan dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang jadi program bergulir PNPM.

Meski modus yang diterapkan sama, keduanya bekerja sendiri-sendiri. Nilai kerugiannya pun berbeda. Total kerugian yang ditimbulkan kedua terdakwa mencapai Rp 1,9 miliar. (*)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/