34.7 C
Jakarta
30 April 2024, 13:08 PM WIB

Temukan Ketenangan di Sanur, Melukat Sebelum Pindah Rumah ke Bali

Bagi Indra Lesmana musik jazz dan kopi memiliki kesamaan. Sama-sama memiliki spirit keterbukaan. Melalui secangkir kopi dan alunan musik jazz, spirit keterbukaan itu yang akan ditularkan pada orang lain.

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

DENGAN senyum mengembang Indra ramah menyapa pengunjungnya. Dia juga melayani permintaan pengunjung yang ingin foto bersama.

Hampir satu jam membicarakan kisah dirinya menggeluti dunia kopi, Indra membawa pembicaraan tentang perkembangan musik jazz, apresiasi terhadap seni, dan sejarah hijrah ke Bali.

Dikatakan Indra, dinding-dinding di kafe Mostly Jazz Brew saat ini sengaja dibiarkan polos tanpa hiasan.

Bukan karena tidak memiliki foto atau lukisan untuk dipajang. Namun, Indra ingin dinding itu menjadi media apresiasi terhadap seni rupa.

Ke depan Indra akan memajang foto-foto karya istrinya Hanny Trihandojo atau yang lebih dikenal dengan Honhon Lesmana.

Kebetulan Haonhon menekuni dunia fotografi.  Selain foto juga dipasang lukisan dan gambar kartun.

“Sebab pecinta kopi biasanya juga penggemar seni dan buku. Dan itu harus diapresiasi,” kata pria yang sudah mengeluarkan album solo saat masih berumur 12 tahun itu.

Indra akan tetap konsisten menyajikan musik jazz dan blues kepada para pecinta kopi. Menurut dia, Indonesia negara yang memiliki bakat jazz terbesar kedua di dunia setelah Jepang.

Besarnya bakat musik jazz yang dimiliki Indonesia kerap mengundang penasaran bule yang mampir ke kafe Mostly Jazz Brew.

“Suatu hari ada orang dari New York, Amerika bertanya kok bisa ya ada negara seperti ini? Anak-anak mudanya banyak suka jazz,” ucap Indra menirukan bule Amerika itu.

Indra pun menjelaskan pada bule yang keheranan itu. Ditegaskan Indra, bahwa musik Indonesia kaya akan improvisasi.

Nah, musik jazz terus berimprovisasi sehingga pemainnya mudah beradaptasi. Jazz bisa digabungkan dengan pop, rock bahkan dangdut sekalipun.

Spirit keterbukaan itu yang akhirnya membuat jazz berkembang pesat di dunia. “Saya bilang pada mereka, yang kamu lihat itu belum apa-apa.

Indonesia itu memiliki festival musik jazz terbanyak di dunia. Ada sekitar 60-an jazz festival. Dari pantai sampai gunung ada festival jazz,” jelasnya bersemangat.

Lalu kenapa tertarik hidup di Bali? Indra sedikit menarik napas. Suami Hanny Trihandojo Lesmana itu mulai jatuh cinta pada Bali pada 1982.

Saat itu Indra yang sedang mentas di RRI Denpasar baru pertama ke Bali. Waktu itu Indra juga bertemu untuk pertama kalinya dengan Dewa Budjana, gitaris band Gigi yang kini menjadi sahabat karibnya.

Bali mendapat tempat istimewa di hati Indra. Pada 1996 dia sempat mengutarakan niatnya untuk tinggal di Bali pada Dewa Budjana.

Menanggapi keinginan Indra, Dewa Budjana mengatakan suatu saat cita-cita Indra tinggal di Bali pasti terwujud. Selanjutnya, pada tahun 1999 dia menikah.

Indra mengajak istrinya honey moon ke Bali. Tidak hanya berbulan madu, Indra juga mengajak istrinya tinggal di Bali. Sayangnya, keinginan itu tidak terwujud.

Hingga akhirnya satu hari pada Agustus 2014, Indra dihubungi Dewa Budjana diajak main di Sanur Village Festival (SVF).

Tak berpikir panjang, Indra langsung mengiyakan. Menariknya, dari sekian tempat di Bali yang didatangi Indra, hatinya seolah tertambat di Sanur.

“Percaya tidak percaya saya punya perasaan di sini (Sanur) akan jadi tempat tinggal aku,” papar musisi yang bergabung dengan Krakatau sejak umur 18 tahun itu.

Setelah tampil SVF, Indra dikenalkan dengan Gusde, salah satu tokoh masyarakat Sanur. Indra berbicara panjang lebar dari malam hingga pagi dengan Gusde.

Yang menjadi topik pembicaraan adalah kehidupan di Sanur dari zaman dulu hingga sekarang. Setelah berbicara dengan Gusde, Indra memutuskan tekad tinggal di Bali.

Masalahnya sekarang Indra harus bicara dengan istrinya Hanny Trihandojo Lesmana bersama, perempuan yang sudah dinikahinya 19 tahun dan memberikan dua anak itu. 

Gayung bersambut. Sebulan setelah pertemuan dengan Gusde, Indra mengajak keluarganya berlibur di tempat Gusde di Griya Santrian, Sanur.

Indra sengaja mengajak keluarganya jalan-jalan keliling Sanur. Di luar dugaan, di hari ketiga liburan itu Hanny malah mengajak Indra pindah rumah dan hidup di Bali.

Sejak Desember 2014 Indra hijrah ke Bali. Bapak tiga anak itu (bukan empat anak seperti berita sebelumnya), Sanur adalah tempat yang istimewa.

Dia mendapat apa yang sempat hilang saat masa kecilnya. Dulu Indra dibesarkan di sebuah daerah di Jakarta Selatan pada 1970 hingga awal 1980. Suasananya saat itu masih tenang.

Namun, suasana tenang itu hilang tenggelam arus zaman. Indra menyatakan tidak cocok hidup di kota padat dan ramai seperti Jakarta.

“Jadi aku merasakan home feeling di Sanur. Aku perlu suasana tenang untuk menulis, berpikir dan berkarya,” ungkap pria yang 28 Maret nanti berusia 52 tahun itu.

Sanur juga masih memiliki keseimbangan alam berupa keharmonisan hubungan antar manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan.

Keseimbangan alam Sanur itu juga yang menurut Indra banyak menarik para seniman dan orang-orang besar. Salah satunya maestro lukis, Le Mayeur.

Indra mengaku banyak belajar di Bali. Contohnya ngayah dan kehidupan mebanjaran yang menggambarkan kepedulian manusia terhadap lingkungan.

Bagi Indra, keseimbangan dengan alam sangat penting. Karena itu, meski Indra seorang muslim dia melukat (menyucikan diri) sebelum pindah sini.

“Saya percaya ada yang lebih tinggi dari kita semua, yaitu Tuhan. Hubungan manusia dengan alam (sekala dan niskala) itu perlu dijaga,” urainya.

Keputusannya pindah ke Bali juga mendapat dukungan dari keluarga besarnya. Indra sudah memutuskan hingga masa tua akan menetap di Bali.

Indra kini tengah merampungkan sanggar untuk mengajar seni. Dia bercita-cita menanam kopi sendiri dengan memberdayakan petani di Bali, sehingga bisa menghidupkan petani setempat.

Dia tertarik di Batur, Bangli. Meski suka ketenangan, Indra bukan berarti anti terhadap kemajuan teknologi.

Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi pasti memberi pengaruh tidak hanya dalam sistem bekerja tapi perkembangan musik sendiri.

Musik ikut berubah karena teknologi. “Saya pikir seorang seniman harus terbuka dengan segala hal. Kalau tidak terbuka kita ada di era jadul, terus mainnya di acara jadul,” tukasnya.

Walau begitu, teknologi mesti dimanfaatkan dengan bijaksana. Indra mencontohkan dirinya dan personel Krakatau lainnya yang tinggalnya terpisah antar pulau.

Mereka sepakat menggunakan aplikasi google drive. Siapa saja yang memiliki ide dimasukkan dalam aplikasi khusus itu.

Dengan demikian Indra dan personel Krakatau lainnya masih bisa berkarya. Setelah mengeluarkan album Krakatau Reuni 2013, kini menyiapkan album lagi. (habis)

 

                

Bagi Indra Lesmana musik jazz dan kopi memiliki kesamaan. Sama-sama memiliki spirit keterbukaan. Melalui secangkir kopi dan alunan musik jazz, spirit keterbukaan itu yang akan ditularkan pada orang lain.

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

DENGAN senyum mengembang Indra ramah menyapa pengunjungnya. Dia juga melayani permintaan pengunjung yang ingin foto bersama.

Hampir satu jam membicarakan kisah dirinya menggeluti dunia kopi, Indra membawa pembicaraan tentang perkembangan musik jazz, apresiasi terhadap seni, dan sejarah hijrah ke Bali.

Dikatakan Indra, dinding-dinding di kafe Mostly Jazz Brew saat ini sengaja dibiarkan polos tanpa hiasan.

Bukan karena tidak memiliki foto atau lukisan untuk dipajang. Namun, Indra ingin dinding itu menjadi media apresiasi terhadap seni rupa.

Ke depan Indra akan memajang foto-foto karya istrinya Hanny Trihandojo atau yang lebih dikenal dengan Honhon Lesmana.

Kebetulan Haonhon menekuni dunia fotografi.  Selain foto juga dipasang lukisan dan gambar kartun.

“Sebab pecinta kopi biasanya juga penggemar seni dan buku. Dan itu harus diapresiasi,” kata pria yang sudah mengeluarkan album solo saat masih berumur 12 tahun itu.

Indra akan tetap konsisten menyajikan musik jazz dan blues kepada para pecinta kopi. Menurut dia, Indonesia negara yang memiliki bakat jazz terbesar kedua di dunia setelah Jepang.

Besarnya bakat musik jazz yang dimiliki Indonesia kerap mengundang penasaran bule yang mampir ke kafe Mostly Jazz Brew.

“Suatu hari ada orang dari New York, Amerika bertanya kok bisa ya ada negara seperti ini? Anak-anak mudanya banyak suka jazz,” ucap Indra menirukan bule Amerika itu.

Indra pun menjelaskan pada bule yang keheranan itu. Ditegaskan Indra, bahwa musik Indonesia kaya akan improvisasi.

Nah, musik jazz terus berimprovisasi sehingga pemainnya mudah beradaptasi. Jazz bisa digabungkan dengan pop, rock bahkan dangdut sekalipun.

Spirit keterbukaan itu yang akhirnya membuat jazz berkembang pesat di dunia. “Saya bilang pada mereka, yang kamu lihat itu belum apa-apa.

Indonesia itu memiliki festival musik jazz terbanyak di dunia. Ada sekitar 60-an jazz festival. Dari pantai sampai gunung ada festival jazz,” jelasnya bersemangat.

Lalu kenapa tertarik hidup di Bali? Indra sedikit menarik napas. Suami Hanny Trihandojo Lesmana itu mulai jatuh cinta pada Bali pada 1982.

Saat itu Indra yang sedang mentas di RRI Denpasar baru pertama ke Bali. Waktu itu Indra juga bertemu untuk pertama kalinya dengan Dewa Budjana, gitaris band Gigi yang kini menjadi sahabat karibnya.

Bali mendapat tempat istimewa di hati Indra. Pada 1996 dia sempat mengutarakan niatnya untuk tinggal di Bali pada Dewa Budjana.

Menanggapi keinginan Indra, Dewa Budjana mengatakan suatu saat cita-cita Indra tinggal di Bali pasti terwujud. Selanjutnya, pada tahun 1999 dia menikah.

Indra mengajak istrinya honey moon ke Bali. Tidak hanya berbulan madu, Indra juga mengajak istrinya tinggal di Bali. Sayangnya, keinginan itu tidak terwujud.

Hingga akhirnya satu hari pada Agustus 2014, Indra dihubungi Dewa Budjana diajak main di Sanur Village Festival (SVF).

Tak berpikir panjang, Indra langsung mengiyakan. Menariknya, dari sekian tempat di Bali yang didatangi Indra, hatinya seolah tertambat di Sanur.

“Percaya tidak percaya saya punya perasaan di sini (Sanur) akan jadi tempat tinggal aku,” papar musisi yang bergabung dengan Krakatau sejak umur 18 tahun itu.

Setelah tampil SVF, Indra dikenalkan dengan Gusde, salah satu tokoh masyarakat Sanur. Indra berbicara panjang lebar dari malam hingga pagi dengan Gusde.

Yang menjadi topik pembicaraan adalah kehidupan di Sanur dari zaman dulu hingga sekarang. Setelah berbicara dengan Gusde, Indra memutuskan tekad tinggal di Bali.

Masalahnya sekarang Indra harus bicara dengan istrinya Hanny Trihandojo Lesmana bersama, perempuan yang sudah dinikahinya 19 tahun dan memberikan dua anak itu. 

Gayung bersambut. Sebulan setelah pertemuan dengan Gusde, Indra mengajak keluarganya berlibur di tempat Gusde di Griya Santrian, Sanur.

Indra sengaja mengajak keluarganya jalan-jalan keliling Sanur. Di luar dugaan, di hari ketiga liburan itu Hanny malah mengajak Indra pindah rumah dan hidup di Bali.

Sejak Desember 2014 Indra hijrah ke Bali. Bapak tiga anak itu (bukan empat anak seperti berita sebelumnya), Sanur adalah tempat yang istimewa.

Dia mendapat apa yang sempat hilang saat masa kecilnya. Dulu Indra dibesarkan di sebuah daerah di Jakarta Selatan pada 1970 hingga awal 1980. Suasananya saat itu masih tenang.

Namun, suasana tenang itu hilang tenggelam arus zaman. Indra menyatakan tidak cocok hidup di kota padat dan ramai seperti Jakarta.

“Jadi aku merasakan home feeling di Sanur. Aku perlu suasana tenang untuk menulis, berpikir dan berkarya,” ungkap pria yang 28 Maret nanti berusia 52 tahun itu.

Sanur juga masih memiliki keseimbangan alam berupa keharmonisan hubungan antar manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan.

Keseimbangan alam Sanur itu juga yang menurut Indra banyak menarik para seniman dan orang-orang besar. Salah satunya maestro lukis, Le Mayeur.

Indra mengaku banyak belajar di Bali. Contohnya ngayah dan kehidupan mebanjaran yang menggambarkan kepedulian manusia terhadap lingkungan.

Bagi Indra, keseimbangan dengan alam sangat penting. Karena itu, meski Indra seorang muslim dia melukat (menyucikan diri) sebelum pindah sini.

“Saya percaya ada yang lebih tinggi dari kita semua, yaitu Tuhan. Hubungan manusia dengan alam (sekala dan niskala) itu perlu dijaga,” urainya.

Keputusannya pindah ke Bali juga mendapat dukungan dari keluarga besarnya. Indra sudah memutuskan hingga masa tua akan menetap di Bali.

Indra kini tengah merampungkan sanggar untuk mengajar seni. Dia bercita-cita menanam kopi sendiri dengan memberdayakan petani di Bali, sehingga bisa menghidupkan petani setempat.

Dia tertarik di Batur, Bangli. Meski suka ketenangan, Indra bukan berarti anti terhadap kemajuan teknologi.

Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi pasti memberi pengaruh tidak hanya dalam sistem bekerja tapi perkembangan musik sendiri.

Musik ikut berubah karena teknologi. “Saya pikir seorang seniman harus terbuka dengan segala hal. Kalau tidak terbuka kita ada di era jadul, terus mainnya di acara jadul,” tukasnya.

Walau begitu, teknologi mesti dimanfaatkan dengan bijaksana. Indra mencontohkan dirinya dan personel Krakatau lainnya yang tinggalnya terpisah antar pulau.

Mereka sepakat menggunakan aplikasi google drive. Siapa saja yang memiliki ide dimasukkan dalam aplikasi khusus itu.

Dengan demikian Indra dan personel Krakatau lainnya masih bisa berkarya. Setelah mengeluarkan album Krakatau Reuni 2013, kini menyiapkan album lagi. (habis)

 

                

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/