27.6 C
Jakarta
1 Mei 2024, 0:58 AM WIB

BUMDes Lakukan Diversifikasi Usaha, Kembangkan Kampung Bandeng

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Bali, selama ini masih terpaku pada bisnis simpan pinjam dan air bersih.

Tak banyak yang berani melakukan diversifikasi usaha secara fundamental. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Dana Abadi Desa Sanggalangit berani mengambil risiko itu.

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

SIANG itu panas begitu menyengat. Di bawah terik matahari yang menyengat, sejumlah pekerja tampak berendam di air.

Mereka tengah berusaha mengeruk endapan lumpur di aliran sungai. Berusaha membuat daratan-daratan baru.

Upaya itu hanya sebagian kecil dari penataan lahan seluas 50 are, yang kini dilakukan oleh Desa Sanggalangit.

Lahan seluas 50 are yang berada di sisi timur Pura Segara Sanggalangit itu, akan disulap menjadi mina wisata. Pusat wisata perikanan di wilayah Buleleng Barat.

Pihak desa melalui BUMDes Dana Abadi sedang melakukan langkah prestisius. Mereka sedang mengembangkan lini usaha baru. Yakni usaha perikanan.

Usaha itu diberi nama Muara Kambas. Muara merujuk lokasi bisnis yang memang berada di daerah muara. Sementara Kambas merupakan akronim dari Kampung Bandeng Sanggalangit.

Kini BUMDes tengah berusaha mengembangkan bisnis pembesaran bandeng. Bisnis itu bukan tanpa pertimbangan khusus.

Selama ini Desa Sanggalangit dikenal sebagai desa penyuplai nener (bibit bandeng) terbesar di Bali. Saban tahun jutaan nener disuplai ke luar Bali.

Selama ini nener itu ditangkap usaha pembesaran yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun tak ada satu pun pembudidaya yang melakukan usaha pembesaran di Buleleng.

“Orang yang mau beli nener untuk pembesaran itu ada. Artinya pasar untuk ikan bandeng mentah dan olahan bandeng jelas ada.

Akhirnya terpikir, kenapa tidak kita sendiri di Sanggalangit membuat usaha pembesaran,” kata Perbekel Sanggalangit, I Nyoman Sudika.

Pihak desa akhirnya melirik sejumlah lahan potensial. Pilihan jatuh pada lahan milik Desa Adat Sanggalangit yang ada di sisi timur.

Lahan itu memiliki sumber air abadi. Sehingga memudahkan proses budi daya ikan. Lahan kemudian ditata sedemikian rupa.

Lahan itu disiapkan untuk lokasi pembesaran ikan bandeng, kolam pancing, wisata tirta, objek foto selfie, hingga rumah makan. Saat ini penataan baru mencapai angka sekitar 40 persen.

Untuk penataan itu, desa memberikan suntikan dana penyertaan modal sebanyak Rp 175 juta. Sebanyak Rp 20 juta diberikan lewat APBDes 2020 lalu, sementara Rp 155 juta lainnya direalisasikan lewat APBDes 2021.

Hingga kini sudah ada 80 ribu nener yang dilepas untuk pembesaran di lokasi tersebut. Panen perdana diperkirakan berlangsung dalam beberapa pekan mendatang.

Ketua Agrowisata Bandeng Sanggalangit, Petrus Rohani menyebut bisnis pembesaran bandeng terbilang minim risiko, bila dibandingkan usaha lain di bidang perikanan.

Selama ini pengusaha tak mendapat hasil signifikan dari hasil menjual nener. Kini pasaran harga nener hanya Rp 5 per ekor untuk ukuran 1,5 centimeter. Sementara nener yang masuk grade A, dijual seharga Rp 40 per ekor.

Bila dilakukan pembesaran mandiri, maka keuntungan itu bisa berlibat. Sekilo bandeng dapat dijual seharga Rp 30 ribu. Biasanya berisi 2-3 ekor bandeng.

Namun bila diolah, hasilnya jauh lebih berlipat. Khusus untuk pengolahan, pihak BUMDes telah bekerjasama dengan Kelompok Pengolahan dan Pemasaran (Poklahsar) hasil perikanan yang ada di desa.

“Ada beberapa alternatif. Seperti otak-otak, sate lilit, abon, dan presto. Yang paling dikenal itu kan bandeng presto. Kalau sudah diolah begitu, paling tidak harganya Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per ekor,” kata Petrus.

Perbekel Sudika mengaku optimistis dengan prospek bisnis tersebut. Mengingat selama ini bisnis pembesaran di daerah Tuban, Gresik, dan Lamongan, berkembang dengan pesat.

Ia yakin bandeng akan menjadi ikon baru di Desa Sanggalangit. “Sekarang juga kami mulai berjalan membuka pasar.

Sudah ada pihak-pihak yang siap bekerjasama dengan kami. Jadi kami optimistis usaha ini akan berjalan dan berdampak pada pendapatan desa,” papar Sudika. (*)

 

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Bali, selama ini masih terpaku pada bisnis simpan pinjam dan air bersih.

Tak banyak yang berani melakukan diversifikasi usaha secara fundamental. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Dana Abadi Desa Sanggalangit berani mengambil risiko itu.

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

SIANG itu panas begitu menyengat. Di bawah terik matahari yang menyengat, sejumlah pekerja tampak berendam di air.

Mereka tengah berusaha mengeruk endapan lumpur di aliran sungai. Berusaha membuat daratan-daratan baru.

Upaya itu hanya sebagian kecil dari penataan lahan seluas 50 are, yang kini dilakukan oleh Desa Sanggalangit.

Lahan seluas 50 are yang berada di sisi timur Pura Segara Sanggalangit itu, akan disulap menjadi mina wisata. Pusat wisata perikanan di wilayah Buleleng Barat.

Pihak desa melalui BUMDes Dana Abadi sedang melakukan langkah prestisius. Mereka sedang mengembangkan lini usaha baru. Yakni usaha perikanan.

Usaha itu diberi nama Muara Kambas. Muara merujuk lokasi bisnis yang memang berada di daerah muara. Sementara Kambas merupakan akronim dari Kampung Bandeng Sanggalangit.

Kini BUMDes tengah berusaha mengembangkan bisnis pembesaran bandeng. Bisnis itu bukan tanpa pertimbangan khusus.

Selama ini Desa Sanggalangit dikenal sebagai desa penyuplai nener (bibit bandeng) terbesar di Bali. Saban tahun jutaan nener disuplai ke luar Bali.

Selama ini nener itu ditangkap usaha pembesaran yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun tak ada satu pun pembudidaya yang melakukan usaha pembesaran di Buleleng.

“Orang yang mau beli nener untuk pembesaran itu ada. Artinya pasar untuk ikan bandeng mentah dan olahan bandeng jelas ada.

Akhirnya terpikir, kenapa tidak kita sendiri di Sanggalangit membuat usaha pembesaran,” kata Perbekel Sanggalangit, I Nyoman Sudika.

Pihak desa akhirnya melirik sejumlah lahan potensial. Pilihan jatuh pada lahan milik Desa Adat Sanggalangit yang ada di sisi timur.

Lahan itu memiliki sumber air abadi. Sehingga memudahkan proses budi daya ikan. Lahan kemudian ditata sedemikian rupa.

Lahan itu disiapkan untuk lokasi pembesaran ikan bandeng, kolam pancing, wisata tirta, objek foto selfie, hingga rumah makan. Saat ini penataan baru mencapai angka sekitar 40 persen.

Untuk penataan itu, desa memberikan suntikan dana penyertaan modal sebanyak Rp 175 juta. Sebanyak Rp 20 juta diberikan lewat APBDes 2020 lalu, sementara Rp 155 juta lainnya direalisasikan lewat APBDes 2021.

Hingga kini sudah ada 80 ribu nener yang dilepas untuk pembesaran di lokasi tersebut. Panen perdana diperkirakan berlangsung dalam beberapa pekan mendatang.

Ketua Agrowisata Bandeng Sanggalangit, Petrus Rohani menyebut bisnis pembesaran bandeng terbilang minim risiko, bila dibandingkan usaha lain di bidang perikanan.

Selama ini pengusaha tak mendapat hasil signifikan dari hasil menjual nener. Kini pasaran harga nener hanya Rp 5 per ekor untuk ukuran 1,5 centimeter. Sementara nener yang masuk grade A, dijual seharga Rp 40 per ekor.

Bila dilakukan pembesaran mandiri, maka keuntungan itu bisa berlibat. Sekilo bandeng dapat dijual seharga Rp 30 ribu. Biasanya berisi 2-3 ekor bandeng.

Namun bila diolah, hasilnya jauh lebih berlipat. Khusus untuk pengolahan, pihak BUMDes telah bekerjasama dengan Kelompok Pengolahan dan Pemasaran (Poklahsar) hasil perikanan yang ada di desa.

“Ada beberapa alternatif. Seperti otak-otak, sate lilit, abon, dan presto. Yang paling dikenal itu kan bandeng presto. Kalau sudah diolah begitu, paling tidak harganya Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per ekor,” kata Petrus.

Perbekel Sudika mengaku optimistis dengan prospek bisnis tersebut. Mengingat selama ini bisnis pembesaran di daerah Tuban, Gresik, dan Lamongan, berkembang dengan pesat.

Ia yakin bandeng akan menjadi ikon baru di Desa Sanggalangit. “Sekarang juga kami mulai berjalan membuka pasar.

Sudah ada pihak-pihak yang siap bekerjasama dengan kami. Jadi kami optimistis usaha ini akan berjalan dan berdampak pada pendapatan desa,” papar Sudika. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/