31.9 C
Jakarta
26 April 2024, 16:31 PM WIB

Pengungsi Rencananya Galungan di Posko, Tak Mau Tragedi 63 Terulang

Menjelang Hari Raya Galungan, posko pengungsian di lapangan Sutasoma, Kecamatan Sukawati masih dipenuhi dengan pengungsi.

Berdasar data di posko, jumlah pengungsi kini mencapai 544 jiwa. Jumlah itu menciut saat awal gelombang besar pengungsian.

Dan total pengungsi yang tersebar di kabupaten Gianyar mencapai 12.963. Beberapa pengungsi di posko memilih bertahan dan merayakan Galungan di pengungsian saja.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

POSKO Sutasoma di Kecamatan Sukawati, Gianyar, merupakan rumah kedua bagi para pengungsi dari lereng Gunung Agung.

Salah satunya bagi kakek I Wayan Tamba, warga Banjar Pengalusan, Desa Ban, Kecamatan Kubu. Ditemui Minggu kemarin (29/10), Tamba nongkrong di depan posko sambil memandangi halaman posko pengungsian.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Tamba memilih bertahan di pengungsian. Itu karena desanya berada di kaki Gunung Agung.

“Saya tidak berani pulang, masih ada gempa. Rumah saya pas di bawah gunung,” ujar I Wayan Tamba yang juga saksi tragedi kelam letusan gunung Agung pada 1963 itu.

Menurut Tamba, rumahnya berada di bawah kaki gunung. Dengan adanya gempa, disebut berpotensi mengirimkan bebatuan ke rumahnya.

“Takutnya kalau gempa keras, batu di atas gunung jatuh,” jelasnya. Maka dari itulah, dia memilih bertahan di posko pengungsian.

“Kalau pulang, saya tidak punya apa-apa. Tidak ada bekal, sudah habis,” ujar kakek lima cucu dari anak laki-lakinya itu.

Dia menjelaskan, sudah sebulan di pengungsian meninggalkan ladang di desa. “Di desa saya tanam (sayur) sawi. Kalau sekarang sudah wayah (tua, red). Umbinya mungkin sudah keluar,” keluhnya.

Tidak ada jalan lain baginya selain menetap untuk sementara waktu di pengungsian. “Kalau di sini, dapat makan tiga kali. Makanan beda-beda. Kalau saya kembali, mengulang dari awal, tidak ada apa di sana,” ungkapnya.

Nanti pada saat Galungan, Tamba bersama istrinya dan dua anak laki-lakinya berencana merayakan Galungan di pengungsian saja.

“Cukup haturkan canang saja di sanggah di belakang (timur, red). Mau bagaimana lagi. Begitu keadaannya,” jelasnya.

Mengenai tradisi mebat atau memasak lawar seperti yang dilakukan krama Bali pada umumnya, Tamba memilih pasrah saja.

“Kami tidak punya uang. Kalau ada yang kasih bahan, kami siap mengolah. Kalau tidak, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi?,” ujarnya sambil tertawa menutupi kesedihannya.

Tamba, kakek 70 tahun itu ingat betul tragedi letusan gunung Agung pada 54 tahun silam itu.

“Waktu letusan 63, saya segini. Saya sudah truna,” ujar Tamba sambil menunjuk salah satu pengungsi remaja.

Saat itu, gunung meletus di Penyajaan Galungan atau pada hari Senin, dua hari sebelum hari raya Galungan.

“Waktu gunung meletus, saya lari sebisa mungkin. Lari tidak tentu arah, yang jelas menjauh dari gunung. Untung saya tidak apa-apa, hanya kaki kena pasir yang jatuh,” kenang Tamba.

Saat letusan terjadi, orang tuanya meninggal dunia terkena runtuhan batu dari gunung. “Batu yang jatuh besar sekali. Ada sebesar itu,” ujar Tamba menunjuk ruangan poskamling di posko berukuran sekitar 3×3 meter dengan tinggi sekitar 5 meter.

Pasca letusan, situasi pun tegang dan mencekam. Dia sendiri tidak menemukan di mana jasad orang tuanya berada. 

Pada saat itu, lanjut Tamba merupakan Galungan kelabu bagi keluarga dan warga desanya.

“Makanya sekarang tidak ada yang berani dengan situasi begini. Hampir setengah warga desa saya ada di posko ini,” ungkapnya.

Berdasar laporan dari posko Sutasoma, rencananya akan ada donatur menyumbangkan daging babi seberat 60 kilogram lengkap dengan bumbunya untuk mebat/memasak.

Namun, daging yang dimaksud belum tiba. Menurut petugas di stan sumbangan, kemungkinan daging tiba pada hari Senin atau Selasa, yang jelas sebelum Galungan

Menjelang Hari Raya Galungan, posko pengungsian di lapangan Sutasoma, Kecamatan Sukawati masih dipenuhi dengan pengungsi.

Berdasar data di posko, jumlah pengungsi kini mencapai 544 jiwa. Jumlah itu menciut saat awal gelombang besar pengungsian.

Dan total pengungsi yang tersebar di kabupaten Gianyar mencapai 12.963. Beberapa pengungsi di posko memilih bertahan dan merayakan Galungan di pengungsian saja.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

POSKO Sutasoma di Kecamatan Sukawati, Gianyar, merupakan rumah kedua bagi para pengungsi dari lereng Gunung Agung.

Salah satunya bagi kakek I Wayan Tamba, warga Banjar Pengalusan, Desa Ban, Kecamatan Kubu. Ditemui Minggu kemarin (29/10), Tamba nongkrong di depan posko sambil memandangi halaman posko pengungsian.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Tamba memilih bertahan di pengungsian. Itu karena desanya berada di kaki Gunung Agung.

“Saya tidak berani pulang, masih ada gempa. Rumah saya pas di bawah gunung,” ujar I Wayan Tamba yang juga saksi tragedi kelam letusan gunung Agung pada 1963 itu.

Menurut Tamba, rumahnya berada di bawah kaki gunung. Dengan adanya gempa, disebut berpotensi mengirimkan bebatuan ke rumahnya.

“Takutnya kalau gempa keras, batu di atas gunung jatuh,” jelasnya. Maka dari itulah, dia memilih bertahan di posko pengungsian.

“Kalau pulang, saya tidak punya apa-apa. Tidak ada bekal, sudah habis,” ujar kakek lima cucu dari anak laki-lakinya itu.

Dia menjelaskan, sudah sebulan di pengungsian meninggalkan ladang di desa. “Di desa saya tanam (sayur) sawi. Kalau sekarang sudah wayah (tua, red). Umbinya mungkin sudah keluar,” keluhnya.

Tidak ada jalan lain baginya selain menetap untuk sementara waktu di pengungsian. “Kalau di sini, dapat makan tiga kali. Makanan beda-beda. Kalau saya kembali, mengulang dari awal, tidak ada apa di sana,” ungkapnya.

Nanti pada saat Galungan, Tamba bersama istrinya dan dua anak laki-lakinya berencana merayakan Galungan di pengungsian saja.

“Cukup haturkan canang saja di sanggah di belakang (timur, red). Mau bagaimana lagi. Begitu keadaannya,” jelasnya.

Mengenai tradisi mebat atau memasak lawar seperti yang dilakukan krama Bali pada umumnya, Tamba memilih pasrah saja.

“Kami tidak punya uang. Kalau ada yang kasih bahan, kami siap mengolah. Kalau tidak, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi?,” ujarnya sambil tertawa menutupi kesedihannya.

Tamba, kakek 70 tahun itu ingat betul tragedi letusan gunung Agung pada 54 tahun silam itu.

“Waktu letusan 63, saya segini. Saya sudah truna,” ujar Tamba sambil menunjuk salah satu pengungsi remaja.

Saat itu, gunung meletus di Penyajaan Galungan atau pada hari Senin, dua hari sebelum hari raya Galungan.

“Waktu gunung meletus, saya lari sebisa mungkin. Lari tidak tentu arah, yang jelas menjauh dari gunung. Untung saya tidak apa-apa, hanya kaki kena pasir yang jatuh,” kenang Tamba.

Saat letusan terjadi, orang tuanya meninggal dunia terkena runtuhan batu dari gunung. “Batu yang jatuh besar sekali. Ada sebesar itu,” ujar Tamba menunjuk ruangan poskamling di posko berukuran sekitar 3×3 meter dengan tinggi sekitar 5 meter.

Pasca letusan, situasi pun tegang dan mencekam. Dia sendiri tidak menemukan di mana jasad orang tuanya berada. 

Pada saat itu, lanjut Tamba merupakan Galungan kelabu bagi keluarga dan warga desanya.

“Makanya sekarang tidak ada yang berani dengan situasi begini. Hampir setengah warga desa saya ada di posko ini,” ungkapnya.

Berdasar laporan dari posko Sutasoma, rencananya akan ada donatur menyumbangkan daging babi seberat 60 kilogram lengkap dengan bumbunya untuk mebat/memasak.

Namun, daging yang dimaksud belum tiba. Menurut petugas di stan sumbangan, kemungkinan daging tiba pada hari Senin atau Selasa, yang jelas sebelum Galungan

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/