DENPASAR – Pilkada serentak di seluruh Indonesia memang telah usai. Namun, beragam hal menarik justru muncul dalam pelaksanaan pemilihan pemimpin daerah di tengah pandemi Covid-19 ini.
Salah satunya terjadi di pemilihan Wali Kota Denpasar, di mana suara pemenang menurut hasil survey kalah dengan suara Golongan Putih (Golput). Tercatat, dari 444.292 jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), Golput keluar sebagai pemenang karena sebanyak 204.668 warga tak menggunakan hak pilihnya.
Sedangkan suara pemenang, yakni pasangan Jaya Negara – Kadek Wibawa hanya mendapatkan suara 184.818 atau selisih 19.850 suara dari Golput tersebut.
Lalu bagaimana pengamat sosial dan politik melihat hal ini? Apakah akan berpengaruh pada keabsahan pemenang?
Pengamat sosial dan politik, I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, di Denpasar menyebut meski angka Golput lebih tinggi daripada suara pemenang, tak menjadi persoalan untuk melegitimasi pemenang pemilu dalam konteks Peraturan Pemilu.
“Hanya saja, kalau Golput yang tinggi, ini berkaitan dengan legitimasi pemenang yang rendah di masyarakat,” ujarnya Senin (14/12).
Tingginya angka Golput ini juga harus dicari tahu penyebabnya oleh pihak penyelenggara. Karena, ada beberapa faktor yang memengaruhi Golput yang tinggi dalam sebuah pemilihan kepala daerah.
Pertama, bisa karena politis. Artinya, masyarakat tak percaya dengan para calon yang maju. Kedua, karena faktor administrasi. Nah faktor ini bisa saja karena faktor penyelenggaraan yang kurang bekerja dengan baik.
Ketiga bisa karena faktor geografis dan keempat karena faktor Pilkada dibuat di tengah pandemi seperti ini. “Ini bisa saja, dalam tanda kutip pemilih malas atau takut ke TPS dan memilih diam di rumah seperti kampanye Corona,” ujarnya.
Dari sejumlah faktor itu, KPU harus membuat gambaran berupa persentase untuk melihat pengaruh yang membuat angka golput tinggi. Faktor mana yang membuat Golput tinggi? Politis, Administrasi, Geografis, Corona atau bisa lainnya?
Sebab, bisa juga masyarakat yang Golput ini memandang calon-calon yang muncul ini belum bisa meyakinkan dirinya untuk bisa memilih si calon.
“Kalau di luar negeri, antusias pemilih itu tinggi. Mungkin karena para calonnya menawarkan program yang real, seperti dalam menghadapi pandemi seperti ini. Nah di sini, mungkin saja para calon tidak menawarkan program yang real ke masyarakat,” sebutnya.
Baik dalam program pemulihan ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Terlepas dari itu semua juga, tingginya angka Golput ini juga harus dimaknai bahwa masyarakat harus memberikan alternatif ke depannya untuk mengkritisi si pemenang.