29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:04 AM WIB

Rocky N: Ilmu Kerohanian Bali Tak Boleh Punah

BULELENG, Radar Bali– Perhatian masyarakat tertuju pada sosok Dr. I Ketut Rochineng, SH, MH. Tokoh kharismatik asal Desa Patemon, Seririt, Buleleng eks Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali itu disebut-sebut memiliki 5 ajudan gaib bernama Nengrus, Dewi Cuaca, Arga, Ki Harmono, Romo Angker. Tak hanya itu, beredar informasi bahwa Jero Ratun Gamang dari Pura Puncak Batu Kursi, Buleleng dan Ki Ageng Ronggojoyo asal Jogyakarta juga bersahabat dengan Rochineng. Seperti apa?

 

Ditemui di kediamannya, Rocky N, awalnya menolak diwawancarai. Setelah didesak akhirnya ia bersedia dan tak menampik mempelajari ilmu spiritual khas Bali sehingga bisa berkomunikasi dan bersahabat dengan makhluk gaib. Ungkapnya, ilmu kerohanian tak bisa dipelajari secara instan. Ajaran Kanda Pat dan ikutannya pada tahap awal saja, butuh waktu 6 bulan untuk mempelajari. Itu pun jika disiplin, tekun, dan rajin.

 

“Bila disiplin menjalankan tuntunan kerohanian Bali, maka segala permasalahan hidup akan dimudahkan karena didapatkan petunjuk gaib mengantisipasi masalah itu. Kita bisa memohon kadiatmikan (kekuatan), kawisesan (kepandaian), dan usadha (pengobatan). Saya belum merasa hebat, tetapi merasa terpanggil melestarikan ajaran warisan leluhur agar generasi penerus tanah Bali tidak melupakan tutur luwih lelangit Bali,” tegas anggota Komisi 1 DPRD Bali yang 42 tahun mendalami ilmu kerohanian Bali.

 

Berkat ketekunannya, Rochineng kini setara S3 jika dikaitkan dengan dunia akademik dalam struktur keilmuan di dunia kerohanian menurut versi ajarannya. Tetapi, ia sadar masih banyak yang perlu diketahui dan dipelajari. “Di atas langit masih ada langit,” tegasnya. S1 ia raih tahun 1995, S2 tahun 2015, dan S3 awal tahun 2021. Beberapa ujian harus dilewati Rochineng sebelum lulus secara rohani di tiga tingkatan dan kini bisa mengangkat sisya atau murid. Di antaranya, berpuasa menyucikan jasmani dan rohani; Memantapkan ilmu kerohanian dengan meditasi dan tapa semadi di tempat suci, pura, dan lokasi angker seperti setra atau kuburan; Pengenalan alam dan isi alam gaibnya sekaligus bertemu dan berkomunikasi dengan makhluk alam gaib di setra seperti gegendu (kuda berkaki tiga), lenda-lendi, celuluk, joko tunggul (makhluk halus tak berkepala), gerombong selem, dan banaspati yang dipimpin oleh sedahan setra sebagai ancangan dalem. Demikian juga Bhatara yang berstana di Pura Dalem seperti Ratu Bhatari Durga, Bhatara Manik Gni, Bhatara Ratu Gede Penyarikan, dan lain-lain. “Setelah melewati tahap pengenalan itu semua baru dinyatakan lulus ujian tingkat setara S1 kerohanian tahun 1995. Ujian ini menekankan pada keyakinan ilmu dan keteguhan mental,” ungkapnya sembari mengaku diuji di tempat pembakaran mayat Setra Badung.

 

Bagaimana dengan ujian setara S2? Rochineng menjawab harus melewati 3 ujian inti. Pertama, memantapkan ilmu kerohanian ke tingkat kesempurnaan untuk menuju genah Ida Bhatara leluhur atau Dewa Hyang. Tata laksananya dengan melakukan persembahyangan di tepi pantai pada malam Tilem Kapitu pukul 24.00 untuk mendapatkan ilmu kerohanian Dewa Ruci Sejati yang berwujud Naga Basuki. “Gelombang ombak besar menghadang saya. Suhu yang sangat dingin membuat keraguan sempat muncul di hati saya. Mau maju atau mundur? Akhirnya dengan keyakinan dan pasrah siap mati demi ilmu kerohanian saya lanjut menyelam ke dalam laut dan mengambil segenggam pasir di dasarnya. Anak kandung saya Gede Ray Ardian dan saksi Wayan Bales mengaku takut melihat saya tenggelam dan mati. Syukurnya ujian ini berhasil saya lewati tahun 2015,” ungkap pria murah senyum itu.

 

Lebih lanjut, di awal tahun 2021, Rochineng melewati ujian ilmu setara S3 kerohanian tingkat puncak. Pada tingkatan ini ia mengaku hanya melakukan komunikasi gaib dengan Ida Bhatara dan Dewa Hyang dalam bentuk sabda dan wahyu-wahyu gaib. “Tata laksana ujian ini dengan berbusana serba putih dari bawah sampai atas dan melakukan komunikasi gaib dengan Ida Bhatara dan Dewa Hyang. Memantapkan ilmu kerohanian tingkat dewa yang berstana di Merajan Dadia,” tegasnya.

 

Rochineng menganut sistem pembelajaran kerohanian dengan dua guru, yakni guru manusia dan guru Bhatara (Sungsungan). Saat guru manusia memberikan materi A dan guru bhatara memberikan anugerah si murid memperoleh kawisesan A. Kurikulumnya mulai dari pelajaran dasar. Mulai dari pengenalan saudara-saudara lahir (Kanda Pat), dasar-dasar puasa, dan sejenisnya. Setelah dasar-dasar ini kuat, barulah naik ke tingkatkan ilmu keagamaan. Pada fase ini diajarkan tata cara sembahyang, tapa semadi, cara komunikasi gaib, dan pengenalan makhluk gaib.

 

Semakin tinggi, seorang murid akan dikenalkan dengan alam semesta sebelum akhirnya sampai tahap guru dan memiliki sisya atau murid. Pada tataran S1 spiritual seseorang sudah tahu ilmu pengobatan, ilmu perang batin, penolak bala, perwujudan, dan sejenisnya. Ilmu kerohanian seri Bali ditopang oleh aksara yang maurip, diuntal, dan meditasi. “Ada yang ditulis latin, aksara modre, Sansekerta. Ada juga bahasa Jawa Kuno. Tidak murni semuanya bahasa Indonesia. Bahasanya jarang sekali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Komitmen dan ketulusan menjadi modal dasar belajar ilmu kerohanian karena taruhannya adalah nyawa,” tegasnya.

 

Soal guru, Rochineng menyebut nama almarhum Mahaguru Made Regog alias Pekak Gunung dari Banjar Celagigendong, Pemecutan, Denpasar. “Beliau adalah mahaguru dan Swawira yang menerima warisan ilmu dari Majapahit. Sangat dihormati di kalangan pendekar dan masyarakat, khususnya di Perguruan Pencak Silat Kertha Wisesa,” ungkap Rochineng. Mencapai tingkatan puncak, ia mengaku tak boleh menolak bila ada orang yang ingin berguru padanya karena ajaran atau ilmu kerohanian wajib diamalkan dan bermanfaat bagi banyak orang. Namun, sebelum ilmu diturunkan, akan ada proses sekala niskala untuk menentukan seseorang layak atau tidak menerima ilmu tersebut. Rochineng berkomitmen agar ilmu kerohanian yang diwariskan leluhur Bali tetap lestari.

 

Menariknya, Rochineng menegaskan berbekal ilmu kerohanian khas Bali tersebut seseorang bisa berpikir dan berperilaku positif, sekaligus melindungi diri, keluarga, usaha, serta karier. Termasuk melakukan perlindungan pada gelaran upacara kelahiran, nelubulanin, ngaben, masangih, dan lain-lain.

 

Seluruhnya ada dalam ilmu kerohanian tersebut jika dipelajari secara berjenjang dan sistematis. “Ilmu ini termasuk kekayaan budaya Bali dan sejalan dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Yang dipelajari adalah ilmu putih. Antara lain bagaimana menjalankan usadha, penolak bala, menjaga keharmonisan lingkungan, dan meningkatkan sradha bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” bebernya. Rochineng menegaskan sesungguhnya manusia Bali tak bisa lepas dari ilmu kerohanian yang diwariskan leluhur. Di masa penjajahan, ilmu ini yang menyelamatkan leluhur kita. Logikanya, tidak mungkin bambu runcing mengalahkan pesawat tempur.

 

Tentang pantangan mempelajari ilmu kerohanian, Rochineng menjawab kata kuncinya pengendalian diri dan ketulusan. Di tingkat dasar, untuk membentuk mental sisya agar tak emosi, pola makannya diatur. “Tidak boleh makan darah, jeroan, dan kepala. Berkelahi, mukul orang juga tidak boleh. Selanjutnya diikuti dengan melakukan penyucian jasmani rohani dengan puasa secara bertahap dari seminggu, dua minggu, hingga satu bulan 7 hari. Untuk tahap dasar, proses yang harus dilalui minimal 5 tahun,” ungkapnya. Pada tahap yang lebih tinggi, puasa ini juga ditempuh dengan tidak mengonsumsi nasi dan karbohidrat lainnya. “Ibaratnya seperti seekor kera. Hanya boleh daun-daunan saja,” ujarnya meyakinkan. 

 

BULELENG, Radar Bali– Perhatian masyarakat tertuju pada sosok Dr. I Ketut Rochineng, SH, MH. Tokoh kharismatik asal Desa Patemon, Seririt, Buleleng eks Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali itu disebut-sebut memiliki 5 ajudan gaib bernama Nengrus, Dewi Cuaca, Arga, Ki Harmono, Romo Angker. Tak hanya itu, beredar informasi bahwa Jero Ratun Gamang dari Pura Puncak Batu Kursi, Buleleng dan Ki Ageng Ronggojoyo asal Jogyakarta juga bersahabat dengan Rochineng. Seperti apa?

 

Ditemui di kediamannya, Rocky N, awalnya menolak diwawancarai. Setelah didesak akhirnya ia bersedia dan tak menampik mempelajari ilmu spiritual khas Bali sehingga bisa berkomunikasi dan bersahabat dengan makhluk gaib. Ungkapnya, ilmu kerohanian tak bisa dipelajari secara instan. Ajaran Kanda Pat dan ikutannya pada tahap awal saja, butuh waktu 6 bulan untuk mempelajari. Itu pun jika disiplin, tekun, dan rajin.

 

“Bila disiplin menjalankan tuntunan kerohanian Bali, maka segala permasalahan hidup akan dimudahkan karena didapatkan petunjuk gaib mengantisipasi masalah itu. Kita bisa memohon kadiatmikan (kekuatan), kawisesan (kepandaian), dan usadha (pengobatan). Saya belum merasa hebat, tetapi merasa terpanggil melestarikan ajaran warisan leluhur agar generasi penerus tanah Bali tidak melupakan tutur luwih lelangit Bali,” tegas anggota Komisi 1 DPRD Bali yang 42 tahun mendalami ilmu kerohanian Bali.

 

Berkat ketekunannya, Rochineng kini setara S3 jika dikaitkan dengan dunia akademik dalam struktur keilmuan di dunia kerohanian menurut versi ajarannya. Tetapi, ia sadar masih banyak yang perlu diketahui dan dipelajari. “Di atas langit masih ada langit,” tegasnya. S1 ia raih tahun 1995, S2 tahun 2015, dan S3 awal tahun 2021. Beberapa ujian harus dilewati Rochineng sebelum lulus secara rohani di tiga tingkatan dan kini bisa mengangkat sisya atau murid. Di antaranya, berpuasa menyucikan jasmani dan rohani; Memantapkan ilmu kerohanian dengan meditasi dan tapa semadi di tempat suci, pura, dan lokasi angker seperti setra atau kuburan; Pengenalan alam dan isi alam gaibnya sekaligus bertemu dan berkomunikasi dengan makhluk alam gaib di setra seperti gegendu (kuda berkaki tiga), lenda-lendi, celuluk, joko tunggul (makhluk halus tak berkepala), gerombong selem, dan banaspati yang dipimpin oleh sedahan setra sebagai ancangan dalem. Demikian juga Bhatara yang berstana di Pura Dalem seperti Ratu Bhatari Durga, Bhatara Manik Gni, Bhatara Ratu Gede Penyarikan, dan lain-lain. “Setelah melewati tahap pengenalan itu semua baru dinyatakan lulus ujian tingkat setara S1 kerohanian tahun 1995. Ujian ini menekankan pada keyakinan ilmu dan keteguhan mental,” ungkapnya sembari mengaku diuji di tempat pembakaran mayat Setra Badung.

 

Bagaimana dengan ujian setara S2? Rochineng menjawab harus melewati 3 ujian inti. Pertama, memantapkan ilmu kerohanian ke tingkat kesempurnaan untuk menuju genah Ida Bhatara leluhur atau Dewa Hyang. Tata laksananya dengan melakukan persembahyangan di tepi pantai pada malam Tilem Kapitu pukul 24.00 untuk mendapatkan ilmu kerohanian Dewa Ruci Sejati yang berwujud Naga Basuki. “Gelombang ombak besar menghadang saya. Suhu yang sangat dingin membuat keraguan sempat muncul di hati saya. Mau maju atau mundur? Akhirnya dengan keyakinan dan pasrah siap mati demi ilmu kerohanian saya lanjut menyelam ke dalam laut dan mengambil segenggam pasir di dasarnya. Anak kandung saya Gede Ray Ardian dan saksi Wayan Bales mengaku takut melihat saya tenggelam dan mati. Syukurnya ujian ini berhasil saya lewati tahun 2015,” ungkap pria murah senyum itu.

 

Lebih lanjut, di awal tahun 2021, Rochineng melewati ujian ilmu setara S3 kerohanian tingkat puncak. Pada tingkatan ini ia mengaku hanya melakukan komunikasi gaib dengan Ida Bhatara dan Dewa Hyang dalam bentuk sabda dan wahyu-wahyu gaib. “Tata laksana ujian ini dengan berbusana serba putih dari bawah sampai atas dan melakukan komunikasi gaib dengan Ida Bhatara dan Dewa Hyang. Memantapkan ilmu kerohanian tingkat dewa yang berstana di Merajan Dadia,” tegasnya.

 

Rochineng menganut sistem pembelajaran kerohanian dengan dua guru, yakni guru manusia dan guru Bhatara (Sungsungan). Saat guru manusia memberikan materi A dan guru bhatara memberikan anugerah si murid memperoleh kawisesan A. Kurikulumnya mulai dari pelajaran dasar. Mulai dari pengenalan saudara-saudara lahir (Kanda Pat), dasar-dasar puasa, dan sejenisnya. Setelah dasar-dasar ini kuat, barulah naik ke tingkatkan ilmu keagamaan. Pada fase ini diajarkan tata cara sembahyang, tapa semadi, cara komunikasi gaib, dan pengenalan makhluk gaib.

 

Semakin tinggi, seorang murid akan dikenalkan dengan alam semesta sebelum akhirnya sampai tahap guru dan memiliki sisya atau murid. Pada tataran S1 spiritual seseorang sudah tahu ilmu pengobatan, ilmu perang batin, penolak bala, perwujudan, dan sejenisnya. Ilmu kerohanian seri Bali ditopang oleh aksara yang maurip, diuntal, dan meditasi. “Ada yang ditulis latin, aksara modre, Sansekerta. Ada juga bahasa Jawa Kuno. Tidak murni semuanya bahasa Indonesia. Bahasanya jarang sekali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Komitmen dan ketulusan menjadi modal dasar belajar ilmu kerohanian karena taruhannya adalah nyawa,” tegasnya.

 

Soal guru, Rochineng menyebut nama almarhum Mahaguru Made Regog alias Pekak Gunung dari Banjar Celagigendong, Pemecutan, Denpasar. “Beliau adalah mahaguru dan Swawira yang menerima warisan ilmu dari Majapahit. Sangat dihormati di kalangan pendekar dan masyarakat, khususnya di Perguruan Pencak Silat Kertha Wisesa,” ungkap Rochineng. Mencapai tingkatan puncak, ia mengaku tak boleh menolak bila ada orang yang ingin berguru padanya karena ajaran atau ilmu kerohanian wajib diamalkan dan bermanfaat bagi banyak orang. Namun, sebelum ilmu diturunkan, akan ada proses sekala niskala untuk menentukan seseorang layak atau tidak menerima ilmu tersebut. Rochineng berkomitmen agar ilmu kerohanian yang diwariskan leluhur Bali tetap lestari.

 

Menariknya, Rochineng menegaskan berbekal ilmu kerohanian khas Bali tersebut seseorang bisa berpikir dan berperilaku positif, sekaligus melindungi diri, keluarga, usaha, serta karier. Termasuk melakukan perlindungan pada gelaran upacara kelahiran, nelubulanin, ngaben, masangih, dan lain-lain.

 

Seluruhnya ada dalam ilmu kerohanian tersebut jika dipelajari secara berjenjang dan sistematis. “Ilmu ini termasuk kekayaan budaya Bali dan sejalan dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Yang dipelajari adalah ilmu putih. Antara lain bagaimana menjalankan usadha, penolak bala, menjaga keharmonisan lingkungan, dan meningkatkan sradha bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” bebernya. Rochineng menegaskan sesungguhnya manusia Bali tak bisa lepas dari ilmu kerohanian yang diwariskan leluhur. Di masa penjajahan, ilmu ini yang menyelamatkan leluhur kita. Logikanya, tidak mungkin bambu runcing mengalahkan pesawat tempur.

 

Tentang pantangan mempelajari ilmu kerohanian, Rochineng menjawab kata kuncinya pengendalian diri dan ketulusan. Di tingkat dasar, untuk membentuk mental sisya agar tak emosi, pola makannya diatur. “Tidak boleh makan darah, jeroan, dan kepala. Berkelahi, mukul orang juga tidak boleh. Selanjutnya diikuti dengan melakukan penyucian jasmani rohani dengan puasa secara bertahap dari seminggu, dua minggu, hingga satu bulan 7 hari. Untuk tahap dasar, proses yang harus dilalui minimal 5 tahun,” ungkapnya. Pada tahap yang lebih tinggi, puasa ini juga ditempuh dengan tidak mengonsumsi nasi dan karbohidrat lainnya. “Ibaratnya seperti seekor kera. Hanya boleh daun-daunan saja,” ujarnya meyakinkan. 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/