27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 1:46 AM WIB

Impor Beras? Ini Poin Pemikiran Gde Sumarjaya Linggih

 

DENPASAR, Radar Bali – Menyikapi persoalan impor beras yang sedang ramai diperbincangkan saat ini, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih, SE., M.AP. menyampaikan sejumlah poin pemikiran. Berikut pernyataan politisi yang akrab disapa Demer dan wakil rakyat Bali asal partai Golkar ini:

1. Kita harus memahami bahwa kebutuhan beras nasional mencakup tiga segmen, pertama beras untuk Kesejahteran Rakyat (Kesra) yang biasanya digunakan oleh pemerintah untuk disalaurkan kepada masyarakat kurang mampu atau yang lumrah disebut beras Bantuan Sosial (Bansos). Kedua, beras untuk cadangan beras nasional. Beras ini disediakan sebagai pasokan beras cadangan yang akan digunakan pada saat beras mengalami kelangkaan. Ketiga, beras komersil yang dijual di pasar untuk konsumsi publik.

2. Kita harus akui bahwa sudah menjadi persoalan dari tahun ke tahun, kebutuhan beras nasional tidak cukup terpenuhi dari hasil produksi petani dalam negeri. Oleh sebab itu inpor beras sudah lumrah dilakukan setiap tahun. Waktu impor beras juga diatur sedemikian rupa. Ketika hasil panen dari petani kita sedang melimpah, belum perlu dilakukan impor dalam rangka melindungi kepentingan petani kita. Sebaliknya ketika beras langka belum dapat ditutupi oleh petani dalam negeri maka, mau tidak mau harus dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum.

3. Satu-satunya institusi sebagai pelaksana untuk melakukan impor beras adalah Bulog. Tidak ada institusi lain. Jadi, menurut saya agak janggal juga ketika pihak Bulog berusaha mendiskreditkan institusi lain dalam rencana impor beras baru-baru ini yang sedang hangat diperbincangkan.

4. Terkait dengan perencanaan ketersedian beras untuk ke depan memang harus disiapkan sedini mungkin dalam menghadapi berbagai kondisi dan keadaan ke depan. Justeru akan sangat fatal akibatnya apabila penerintah tidak menyiapakan perencanaan yang matang untuk mengjadapi berbagai kemunhkinan ke depan. Yang namanya perencanaan, yah belum tentu tepat seratus persen. Sama hanya misalkan kita menyiapkan rencana APBN, pelaksanaannya belum tentu sama persis dengan apa yang direncanakan.

5. Kalau kita perhatikan selama ini, ketidakberdayaan petani juga akibat ketidakmapuan Bulog dalam menyerap produksi gabah petani kita. Bolog kalah cepat dibandingkan dengan tengkulak. Pendekatan yang dilakukan oleh tengkulak lebih cepat, padahal seringkali dengan modal yang pas-pasan. Gabah petani baru dibayar setelah digiling menjadi beras. Selain itu, harga beli Bolog lebih rendah dari Tengkulak. Misalnya tengkulak membeli gabah kering petani dengan harga Rp 4.100 sementara Bulog hanya mampu membeli dengan harga Rp 3.700.  Selain itu juga, Bulog tidak mampu menjual beras. Ini kita bisa buktikan dari adanya stok betas yang sudah tidak layak kondumsi di gudang-gudang Bulog. Ini sudah menjadi rahasia umum, beras Bulog itu identik dengan beras kelas tendah.

6. Sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, saya akan segera melakukan koordinasi di dalam Komisi untuk segara melakukan evaluasi terhadap kinerja Bulog. Ketika keberadaan Bulog tidak mampu mengatasi persoalan logistik nasional, saya rasa perlu dipertanyakan apakah keberadaan Bulog masih diperlukan. Kalau tidak, untuk apa menghabiskan anggaran negara untuk sebuah institusi yang tidak bermanfaat. Apalagi dalam visi misi Pak Jokowi yang ingin maksimal dalam memberikan pelayanan publik. Termasuk efektif dan efesiensi berbagai institusi yang dibiayai oleh negara.

7. Ada satu lagi yang menjadi sorotan publik yang dibicarakan akhir-akhir ini, yakni impor beras ini selalu dicuriagai ada permainan para pemburu rente. Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa satu-satunya institusi yang melaksanakan impor beras adalah Bulog. Oleh sebab itu, ketika ada pemburu rente maka tentu tidak akan jauh dari lingkaran pelaksana impor beras. Hal ini tentunya akan menjadi atensi khusus DPR RI dalam melaksanakan pengawasan.

 

DENPASAR, Radar Bali – Menyikapi persoalan impor beras yang sedang ramai diperbincangkan saat ini, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih, SE., M.AP. menyampaikan sejumlah poin pemikiran. Berikut pernyataan politisi yang akrab disapa Demer dan wakil rakyat Bali asal partai Golkar ini:

1. Kita harus memahami bahwa kebutuhan beras nasional mencakup tiga segmen, pertama beras untuk Kesejahteran Rakyat (Kesra) yang biasanya digunakan oleh pemerintah untuk disalaurkan kepada masyarakat kurang mampu atau yang lumrah disebut beras Bantuan Sosial (Bansos). Kedua, beras untuk cadangan beras nasional. Beras ini disediakan sebagai pasokan beras cadangan yang akan digunakan pada saat beras mengalami kelangkaan. Ketiga, beras komersil yang dijual di pasar untuk konsumsi publik.

2. Kita harus akui bahwa sudah menjadi persoalan dari tahun ke tahun, kebutuhan beras nasional tidak cukup terpenuhi dari hasil produksi petani dalam negeri. Oleh sebab itu inpor beras sudah lumrah dilakukan setiap tahun. Waktu impor beras juga diatur sedemikian rupa. Ketika hasil panen dari petani kita sedang melimpah, belum perlu dilakukan impor dalam rangka melindungi kepentingan petani kita. Sebaliknya ketika beras langka belum dapat ditutupi oleh petani dalam negeri maka, mau tidak mau harus dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum.

3. Satu-satunya institusi sebagai pelaksana untuk melakukan impor beras adalah Bulog. Tidak ada institusi lain. Jadi, menurut saya agak janggal juga ketika pihak Bulog berusaha mendiskreditkan institusi lain dalam rencana impor beras baru-baru ini yang sedang hangat diperbincangkan.

4. Terkait dengan perencanaan ketersedian beras untuk ke depan memang harus disiapkan sedini mungkin dalam menghadapi berbagai kondisi dan keadaan ke depan. Justeru akan sangat fatal akibatnya apabila penerintah tidak menyiapakan perencanaan yang matang untuk mengjadapi berbagai kemunhkinan ke depan. Yang namanya perencanaan, yah belum tentu tepat seratus persen. Sama hanya misalkan kita menyiapkan rencana APBN, pelaksanaannya belum tentu sama persis dengan apa yang direncanakan.

5. Kalau kita perhatikan selama ini, ketidakberdayaan petani juga akibat ketidakmapuan Bulog dalam menyerap produksi gabah petani kita. Bolog kalah cepat dibandingkan dengan tengkulak. Pendekatan yang dilakukan oleh tengkulak lebih cepat, padahal seringkali dengan modal yang pas-pasan. Gabah petani baru dibayar setelah digiling menjadi beras. Selain itu, harga beli Bolog lebih rendah dari Tengkulak. Misalnya tengkulak membeli gabah kering petani dengan harga Rp 4.100 sementara Bulog hanya mampu membeli dengan harga Rp 3.700.  Selain itu juga, Bulog tidak mampu menjual beras. Ini kita bisa buktikan dari adanya stok betas yang sudah tidak layak kondumsi di gudang-gudang Bulog. Ini sudah menjadi rahasia umum, beras Bulog itu identik dengan beras kelas tendah.

6. Sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, saya akan segera melakukan koordinasi di dalam Komisi untuk segara melakukan evaluasi terhadap kinerja Bulog. Ketika keberadaan Bulog tidak mampu mengatasi persoalan logistik nasional, saya rasa perlu dipertanyakan apakah keberadaan Bulog masih diperlukan. Kalau tidak, untuk apa menghabiskan anggaran negara untuk sebuah institusi yang tidak bermanfaat. Apalagi dalam visi misi Pak Jokowi yang ingin maksimal dalam memberikan pelayanan publik. Termasuk efektif dan efesiensi berbagai institusi yang dibiayai oleh negara.

7. Ada satu lagi yang menjadi sorotan publik yang dibicarakan akhir-akhir ini, yakni impor beras ini selalu dicuriagai ada permainan para pemburu rente. Sebagaimana saya sampaikan di awal, bahwa satu-satunya institusi yang melaksanakan impor beras adalah Bulog. Oleh sebab itu, ketika ada pemburu rente maka tentu tidak akan jauh dari lingkaran pelaksana impor beras. Hal ini tentunya akan menjadi atensi khusus DPR RI dalam melaksanakan pengawasan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/