DENPASAR – Gubernur Bali bersama Pimpinan DPRD Bali, anggota DPR RI Dapil Bali, Bupati/Walikota Se-Bali,
dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota Se-Bali, serta sejumlah pimpinan lembaga melakukan audensi ke Komisi II DPR RI yang membidangi Pemerintahan Daerah.
Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ketua Parisada Provinsi Bali, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Ketua PW NU Bali, Ketua PW Muhammadiyah Bali,
Ketua Walubi Bali, Ketua PGI Bali, serta sejumlah Rektor Perguruan Tinggi di Bali turut serta dalam kunjungan tersebut.
Audensi dilakukan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Bali mengenai RUU Provinsi Bali berupa Dokumen Usulan Draft RUU Provinsi Bali dan naskah akademik yang sudah disiapkan selama 1 tahun.
Gubernur Koster menyampaikan bahwa berbagai komponen masyarakat Bali sejak tahun 2005 menginginkan agar Provinsi Bali dipayungi dengan UU yang
bisa dipakai untuk memperkuat keberadaan Bali dengan kekayaan dan keunikan adat-istiadat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal yang telah terbukti menjadi daya tarik masyarakat dunia.
Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; yang masih berdasar
pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUD’S 1950) dan dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
dinilai kurang mampu mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan daerah Bali.
Mantan Anggota Komisi II DPR RI, Gede Pasek Suardika mengapresiasi langkah tersebut.
Namun, di sisi lain, GPS – sebutannya menilai ada yang menarik sekaligus berpeluang jadi batu sandungan perjuangan tersebut.
Yakni tidak adanya wakil rakyat dari Bali yang bercokol di Komisi II DPR RI. Dalam Prolegnas 2015-2019, terangnya RUU ini sudah masuk list nomer 27.
“Saat itu saya memperjuangkan ketika memimpin delegasi PPUU DPD RI dalam pembahasan Tripartit. Aspirasi dari Gubernur Bali diterima di Komisi II DPR RI
di bawah pimpinan Arief Wibowo. Uniknya bila nanti dibahas di Komisi itu, tidak ada satupun wakil rakyat asal Bali yang ada di Komisi II.
Maklum komisi ini disebut komisi air mata alias tidak ada bansosnya. Jarang yang mau. Saya pernah di sana selama setahun saat bahas RUU terkait penyelenggara Pemilu dan Pemilu,” ucap GPS kepada Jawa Pos Radar Bali.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, politisi yang kini fokus pada profesi advokat itu mengaku tidak mengerti bentuk perjuangan menggolkan RUU Provinsi Bali tersebut.
Lebih-lebih tidak adanya perwakilan Bali di sana. “Pengalaman saya dulu, untuk masuk Prolegnas saja susah. Perdebatannya panjang.
Setelah masuk malah Pemprov dan DPRD Bali dan Pemkab/kota di Bali nggak respons. Kini, syukur Gubernur Bali semangat.
Tapi, kalau di Komisi II DPR RI nggak ada yang jaga, saya nggak mengerti bentuk perjuangan teman-teman nanti seperti apa.
Karena namanya RUU jadi UU kan dengan pembahasan, perdebatan, dan lainnya. Kalau nggak jadi anggotanya lalu
bagaimana ikut bahasnya? Kan nggak cukup pose bareng dengan jempol dan kepal tangan saja buat UU,” kritiknya.
GPS menilai, karena perjuangan dilakukan di lintas komisi, maka pansus harus dibentuk. Bila pansus terbentuk pembahasan dilaksanakan bukan di Komisi II DPR RI, melainkan di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat alias Baleg.
“Maaf, kata mendukung dan memperjuangkan tidak cukup dengan berpose dan mengepalkan tangan lalu jeprat-jepret.
Tapi berdebat dalam pasal demi pasal di Rapat Panja, Rapat Timus,Timcil hingga Rapat Pleno Komisi dan akhirnya di Rapat Paripurna.
Ayo wakil rakyat Bali, masuk Komisi II DPR RI kalau memang berjanji mau serius memperjuangkan,” tegasnya.