DENPASAR – Pembubaran diskusi mahasiswa di lingkungan halaman kampus Universitas Udayana oleh petugas keamanan atas perintah rektor Senin (28/10) kemarin kini menjadi buah bibir dan cibir mahasiswa.
Bagaimana tidak, sikap Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Rektor Universitas Udayana pun kini dianggap anti terhadap demokrasi.
Lalu bagaimana kronologi pembubaran? Berdasar informasi dari Excel Bagaskhara, SDMN (Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional) Bali,
saat itu pihaknya dengan organisasi Front Mahasiswa Nasional (FMN), LPM Kanaka, dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) membuka diskusi tentang dinamika pemerintahan Jokowi pasca-pelantikan.
Isu yang diangkat terkait oligarki pemerintahan, dan pembantaian rakyat Papua yang ditutupi oleh pemerintah.
Sekitar pukul 19.00 acara dimulai, satpam atas arahan birokrasi kampus menanyakan soal acara diskusi yang diselenggarakan.
Dalam pembicaraan, satpam mengatakan kalau rektor melarang segala aktivitas diskusi yang memprovokasi aksi massa.
“Namun, karena kami hanya melakukan diskusi, satpam mengerti namun dengan kesepakatan jika ada pembicaraan tentang aksi massa, maka diskusi akan dibubarkan,” katanya.
Lima belas menit kemudian, dua satpam datang lagi menanyakan hal yang sama. Namun, kali ini memanggil kawan-kawan yang bertanggung jawab untuk diinterogasi di pos satpam.
“Nah, satpam mengatakan kalau ada intel yang mengawasi diskusi sehingga diskusi lebih baik dibubarkan,” ungkapnya
Namun, karena memiliki relasi yang baik dengan satpam, maka dalam beberapa kali berargumen, satpam mengerti untuk tidak membubarkan.
Kurang lebih 10 menit setelah interogasi, satpam datang lagi namun mengatakan kalau arahan dari rektor acara ini harus dibubarkan tanpa basa-basi dan argumentasi yang jelas.
Alasannya, karena acara ini tidak ada izin dari rektor. Padahal, acara diskusi seperti ini biasanya tetap bisa dilaksanakan cukup dgn pemberitahuan dan pihaknya sudah melakukan sehari sebelumnya.
“Apalagi kami tidak menggunakan kelas namun ruang publik (taman internet),” lanjutnya. Namun, karena tekanan dari rektor, satpam tetap membubarkan,
sampai-sampai satpam memohon karena khawatir jika tidak mematuhi arahan rektor, mereka diputus hubungan kerjanya.
Pihaknya sudah memahami bahwa rektor memang tidak demokratis. Karena sebenarnya bukan kali ini saja rektor menunjukkan watak anti-demokratisnya.
Misalnya, saat aksi massa #BaliTidakDiam, rektor sampai-sampai mengeluarkan arahan agar mahasiswa tidak ikut aksi mengikuti perintah dari Presiden Jokowi melalui kemenristekdikti.
“Jadi, kami sendiri memang sejak awal tidak punya “harapan” apa-apa ke rektor. Justru, dengan adanya hal seperti ini, kawan-kawan justru
menjadi semakin terpicu untuk tetap membangun kesadaran lebih luas untuk melawan kebijakan yang anti demokratis,” tegasnya.
Dalam pembubaran, tidak ada kekerasan fisik, hanya saja memang sempat ada intimidasi (marah-marah) kepada salah satu kawan mahasiswa yang “emosi” duluan.
“Namun, ini bisa kita selesaikan tanpa berkontradiksi lebih jauh dengan satpam, apalagi kami memahami bahwa satpam juga sebenarnya hanya bekerja atas tekanan rektor,” tutupnya.