27.2 C
Jakarta
2 Mei 2024, 8:35 AM WIB

Cening Liadi, Kompromikan Teater dan Seni Tradisi, Begini Hasilnya…

PENARUKAN – Pementasan dalam rangkaian project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah, terus berlanjut. Kali ini, seorang seniman tradisi Cening Liadi tampil membawakan kisah hidupnya.

Pementasan ini terbilang unik. Lantaran konsep pementasan menjadi titik temu antara seni teater dengan seni tradisi.

Cening Liadi selama ini dikenal sebagai seorang pegawai di Dinas Kebudayaan Buleleng. Ia mendirikan sanggar seni yang fokus pada kegiatan-kegiatan tradisi.

Tak pernah sedikit pun ia terpikir menggeluti kesenian modern, termasuk teater. Saat pentas di rumahnya pada Selasa (11/12) malam lalu, Cening Liadi membawakan naskah berjudul “Aku Cening, Penari Kehidupan”.

Ia membawakan naskah itu selama 45 menit. Pementasan itu tampaknya cukup menguras energi Cening. Buktinya dalam beberapa bagian, ia nampak kesulitan mengatur nafas.

Pementasan malam itu diawali dengan penampilan Cening Liadi membawakan Tari Sekar Jagat. Cening yang selama ini hadir sebagai seorang pelatih, justru tampil membawakan tarian itu di atas panggung.

Ia kemudian menceritakan sejumlah kisah hidupnya. Terutama kisah hidup terkait anak-anaknya yang terkena penyakit non medis.

Meski berkali-kali tertimpa masalah serupa, Cening tetap tegar dan berhasil menjalani hidupnya dengan bahagia hingga kini. Hingga pada akhir pementasan, para ibu yang terlibat dalam project juga ikut menari.

Pementasan malam itu, bisa dibilang titik kompromi tertinggi antara seni teater dengan seni tradisi. Cening Liadi yang notabene seniman tradisi, membawakan pementasan tersebut dengan gaya seni peran dalam pementasan arja.

Meski begitu, pementasan teater malam itu tak mengurangi makna keseluruhan pentas maupun naskah.

Usai pementasan, Cening Liadi mengaku pementasan malam itu cukup unik.

Meski selama ini ia menggeluti aktifitas sebagai seorang seniman, namun bermain seni peran dalam pentas teater sangat berbeda. Terlebih lagi ia harus membawakan kisah hidupnya sendiri.

“Sebenarnya saya sangat susah mengekspose segala hal yang saya alami. Saya lebih banyak memendam. Tapi pementasan malam ini, menjadi pengalaman yang sangat luar biasa sepanjang hidup saya,” kata Cening.

Sementara itu sutradara sekaligus penulis naskah, Kadek Sonia Piscayanti menuturkan, dirinya tertarik melibatkan Cening Liadi dalam project karena kesamaan visi yang diemban.

Menurut Sonia, Cening Liadi memiliki cita-cita membebaskan wanita Bali menjadi diri sendiri, perempuan mandiri, sekaligus perempuan yang merdeka.

Selama proses persiapan, Sonia mengaku ada beberapa hal unik yang terjadi. Salah satunya, ia harus membongkar naskah hampir separonya. Sebab ada beberapa hal yang harus disensor karena masalah niskala.

“Prosesnya cukup unik dan perjuangan untuk pentas ini sangat luar biasa. Ketika sampai pada bagian harus mengeksplorasi non medis, Ibu Cening kakinya selalu lemas.

Ini kondisi yang benar-benar magic. Akhirnya bagian itu saya potong, dan semua tersaji seperti pementasan malam ini,” kata Sonia. 

PENARUKAN – Pementasan dalam rangkaian project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah, terus berlanjut. Kali ini, seorang seniman tradisi Cening Liadi tampil membawakan kisah hidupnya.

Pementasan ini terbilang unik. Lantaran konsep pementasan menjadi titik temu antara seni teater dengan seni tradisi.

Cening Liadi selama ini dikenal sebagai seorang pegawai di Dinas Kebudayaan Buleleng. Ia mendirikan sanggar seni yang fokus pada kegiatan-kegiatan tradisi.

Tak pernah sedikit pun ia terpikir menggeluti kesenian modern, termasuk teater. Saat pentas di rumahnya pada Selasa (11/12) malam lalu, Cening Liadi membawakan naskah berjudul “Aku Cening, Penari Kehidupan”.

Ia membawakan naskah itu selama 45 menit. Pementasan itu tampaknya cukup menguras energi Cening. Buktinya dalam beberapa bagian, ia nampak kesulitan mengatur nafas.

Pementasan malam itu diawali dengan penampilan Cening Liadi membawakan Tari Sekar Jagat. Cening yang selama ini hadir sebagai seorang pelatih, justru tampil membawakan tarian itu di atas panggung.

Ia kemudian menceritakan sejumlah kisah hidupnya. Terutama kisah hidup terkait anak-anaknya yang terkena penyakit non medis.

Meski berkali-kali tertimpa masalah serupa, Cening tetap tegar dan berhasil menjalani hidupnya dengan bahagia hingga kini. Hingga pada akhir pementasan, para ibu yang terlibat dalam project juga ikut menari.

Pementasan malam itu, bisa dibilang titik kompromi tertinggi antara seni teater dengan seni tradisi. Cening Liadi yang notabene seniman tradisi, membawakan pementasan tersebut dengan gaya seni peran dalam pementasan arja.

Meski begitu, pementasan teater malam itu tak mengurangi makna keseluruhan pentas maupun naskah.

Usai pementasan, Cening Liadi mengaku pementasan malam itu cukup unik.

Meski selama ini ia menggeluti aktifitas sebagai seorang seniman, namun bermain seni peran dalam pentas teater sangat berbeda. Terlebih lagi ia harus membawakan kisah hidupnya sendiri.

“Sebenarnya saya sangat susah mengekspose segala hal yang saya alami. Saya lebih banyak memendam. Tapi pementasan malam ini, menjadi pengalaman yang sangat luar biasa sepanjang hidup saya,” kata Cening.

Sementara itu sutradara sekaligus penulis naskah, Kadek Sonia Piscayanti menuturkan, dirinya tertarik melibatkan Cening Liadi dalam project karena kesamaan visi yang diemban.

Menurut Sonia, Cening Liadi memiliki cita-cita membebaskan wanita Bali menjadi diri sendiri, perempuan mandiri, sekaligus perempuan yang merdeka.

Selama proses persiapan, Sonia mengaku ada beberapa hal unik yang terjadi. Salah satunya, ia harus membongkar naskah hampir separonya. Sebab ada beberapa hal yang harus disensor karena masalah niskala.

“Prosesnya cukup unik dan perjuangan untuk pentas ini sangat luar biasa. Ketika sampai pada bagian harus mengeksplorasi non medis, Ibu Cening kakinya selalu lemas.

Ini kondisi yang benar-benar magic. Akhirnya bagian itu saya potong, dan semua tersaji seperti pementasan malam ini,” kata Sonia. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/