30.2 C
Jakarta
29 April 2024, 23:18 PM WIB

Sorot Sineas Bali, Karakteristik Lokal Layak Diangkat ke Layar Lebar

UBUD – Shrida Ubud dan Darmawan & Associates (D&A) berkomitmen menggelar kegiatan rutin berupa diskusi ringan antar penggiat seni dan budaya.

Kegiatan bertajuk “Temu Komunitas” ini turut serta menghadirkan pembicara yang punya kompeten di bidangnya.

Seperti pada Sabtu kemarin, Shrida Restaurant kedatangan A. A. Bagus Ari Brahmanta, S.E., staff ahli bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Gianyar.

Satunya lagi David Hanan, perintis program Studi Film di Monash University, Australia. Kedua sosok inspiratif tersebut membahas sejarah dan industri film nasional, khususnya Bali.

Duduk sebagai moderator Yoke Darmawan. Selama diskusi berlangsung, Yoke mengajak para tamu untuk saling bertukar pikiran.

Sebagian besar tamu adalah pegiat seni, warga ubud dan media yang meramaikan Temu Komunitas edisi kedua pada bulan Juni. 

Dimulai pukul 16.00 WITA diskusi dibuka oleh David Hanan yang membahas minimnya sineas Bali dalam industri perfilman nasional.

“Sejauh ini hanya nama Putu Wijaya yang terdengar. Sedang sineas Bali lainnya timbul-tenggelam tergantikan oleh sineas ibu kota yang jauh lebih aktif,” kata David.

Padahal, menurut David Hanan, sineas Bali tidak kalah kreatif. Penulis buku “Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity” ini menambahkan, karakteristik Bali sangatlah menarik untuk diangkat menjadi film.

Ini kemudian ditanggapi oleh Gung Ari panggilan akrab A. A. Bagus Ari Brahmanta. “Sejarah maupun cerita rakyat Bali, masih banyak yang belum diangkat ke layar lebar.

Kalau teks baik fiksi maupun non fiksi sudah banyak yang menulis kan. Itupun karya lama, mungkin para seniman muda saat ini cenderung tertarik pada objek modern,” kata Gung Ari.

Tidak terbatas tentang dunia perfilman, Gung Ari juga memaparkan sejarah Ubud, bagaimana awalnya kata “Ubud” muncul pada abad ke 7.

Pembahasan berlanjut tentang pengaruh para seniman asing terhadap karakter karya seni di Ubud. 

Di akhir diskusi Gung Ari memberikan apresiasi ke pada Shrida Restaurant yang telah menjadi lokasi Temu Komunitas.

Diharapkan acara ini menjadi agenda rutin sehingga dapat menginspirasi para peserta diskusi. Karena akan menciptakan kultur kreatif yang berdampat positif pada dunia seni Ubud dan sekitarnya. (rba/tis)

 

UBUD – Shrida Ubud dan Darmawan & Associates (D&A) berkomitmen menggelar kegiatan rutin berupa diskusi ringan antar penggiat seni dan budaya.

Kegiatan bertajuk “Temu Komunitas” ini turut serta menghadirkan pembicara yang punya kompeten di bidangnya.

Seperti pada Sabtu kemarin, Shrida Restaurant kedatangan A. A. Bagus Ari Brahmanta, S.E., staff ahli bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Gianyar.

Satunya lagi David Hanan, perintis program Studi Film di Monash University, Australia. Kedua sosok inspiratif tersebut membahas sejarah dan industri film nasional, khususnya Bali.

Duduk sebagai moderator Yoke Darmawan. Selama diskusi berlangsung, Yoke mengajak para tamu untuk saling bertukar pikiran.

Sebagian besar tamu adalah pegiat seni, warga ubud dan media yang meramaikan Temu Komunitas edisi kedua pada bulan Juni. 

Dimulai pukul 16.00 WITA diskusi dibuka oleh David Hanan yang membahas minimnya sineas Bali dalam industri perfilman nasional.

“Sejauh ini hanya nama Putu Wijaya yang terdengar. Sedang sineas Bali lainnya timbul-tenggelam tergantikan oleh sineas ibu kota yang jauh lebih aktif,” kata David.

Padahal, menurut David Hanan, sineas Bali tidak kalah kreatif. Penulis buku “Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity” ini menambahkan, karakteristik Bali sangatlah menarik untuk diangkat menjadi film.

Ini kemudian ditanggapi oleh Gung Ari panggilan akrab A. A. Bagus Ari Brahmanta. “Sejarah maupun cerita rakyat Bali, masih banyak yang belum diangkat ke layar lebar.

Kalau teks baik fiksi maupun non fiksi sudah banyak yang menulis kan. Itupun karya lama, mungkin para seniman muda saat ini cenderung tertarik pada objek modern,” kata Gung Ari.

Tidak terbatas tentang dunia perfilman, Gung Ari juga memaparkan sejarah Ubud, bagaimana awalnya kata “Ubud” muncul pada abad ke 7.

Pembahasan berlanjut tentang pengaruh para seniman asing terhadap karakter karya seni di Ubud. 

Di akhir diskusi Gung Ari memberikan apresiasi ke pada Shrida Restaurant yang telah menjadi lokasi Temu Komunitas.

Diharapkan acara ini menjadi agenda rutin sehingga dapat menginspirasi para peserta diskusi. Karena akan menciptakan kultur kreatif yang berdampat positif pada dunia seni Ubud dan sekitarnya. (rba/tis)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/