DUGAAN adanya upaya menyudutkan suporter di tragedi Kanjuruhan kembali mengemuka.
Kali ini yang mengonfirmasinya adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyebut bila pihaknya telah mendapat 20 pengajuan perlindungan saksi dan korban.
Beberapa di antaranya merasa terancam pasca tragedi tersebut. Semua permohonan itu diterima LPSK. Temuan lain juga dibeberkan kepada awak media.
Sebelum LPSK, ada Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Malang Nazarudin Hasan Seliant yang mengonfirmasi bila kabar temuan 46 botol berisi minuman keras (miras) di stadion tidak benar.
Dia memastikan bila botol-botol itu berisi obat ternak. Sebelumnya, kabar itu sempat jadi bahan untuk menyudutkan suporter yang datang ke pertandingan.
Selain Kepala Dispora, ada juga seorang perempuan yang bernama Suprapti, yang juga mencuatkan dugaan adanya upaya menyudutkan suporter. Suaranya yang direkam melalui voice note itu beredar luas di media sosial (medsos).
Rekaman suara tersebut jelas-jelas menyudutkan suporter yang datang ke laga Arema FC kontra Persebaya. Beberapa hari lalu, video permintaan maafnya kepada salah satu keluarga korban muncul di medsos.
Kembali ke LPSK. Setelah mengabulkan permohonan perlindungan kepada 20 saksi dan korban tragedi Kanjuruhan, mereka juga ikut menggali keterangan. Hasilnya, LPSK melihat bila jeratan empat pasal untuk enam tersangka masih bisa ditambah.
Seperti diketahui sebelumnya, keenam tersangka itu dijerat dengan pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian. Juga pasal 52 dan pasal 103 UU nomor 11 tahun 2022 tentang keolahragaan.
Sebab LPSK menemukan indikasi kelalaian dari aparat keamanan yang bertugas. “Data di kami ada 32 anak meninggal dunia. Penggunaan gas air mata seharusnya bisa disadari aparat, karena di sana (tribun selatan) banyak anak-anak dan perempuan,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.
Berkaca dari itu, LPSK menyarankan penyidik untuk meninjau ulang jeratan hukum kepada para tersangka. Setidaknya ada empat saran pasal yang bisa ditambahkan. Yakni pasal 351 dan 354 KUHP tentang penganiayaan. Serta pasal 76C UU 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, dan pasal 421 KUHP tentang pegawai negeri yang sewenang-wenang memakai kekuasaan.
Tak cukup dari pemeriksaan korban dan saksi, pria berkacamata itu juga menyebut bila pihaknya telah menganalisis kelalaian aparat keamanan melalui video berdurasi 16 menit 26 detik.
Dari hasil rekaman video yang diambil dari tribun VIP itu, tampak aparat keamanan sudah lalai ketika peluit panjang laga Arema FC kontra Persebaya ditiup wasit. “Kami melihat di tribun timur, steward yang memakai rompi hijau justru bergerombol dan meninggalkan area sentel ban dari arah selatan ke utara,” beber Edwin.
Seharusnya, steward yang berjumlah 250 personel itu berjaga mengelilingi sentel ban. Begitu juga dengan prosedur lain, yang mewajibkan petugas untuk menghadap ke penonton, bukan sebaliknya. Temuan itu jadi dasar asumsi mereka bila aparat keamanan tak menjalankan prosedur yang sesuai.
Aparat keamanan dari unsur polisi yang menembakkan gas air mata juga jadi mendapat perhatian khusus dari LPSK. Sebab analisis dari LPSK memperlihatkan rentetan tembakan hanya memiliki jeda satu menit sekali. Artinya, ada sekitar 16 tembakan gas air mata yang ada di dalam stadion.
“Paling parah itu di awal (tembakan), ada setidaknya tiga tembakan yang membuat penonton panik,” imbuh Edwin.
Pria yang pernah menjadi Tim Pembela Kasus Munir pada 2008-2010 itu menambahkan, hasil temuan LPSK itu masih bersifat sementara. Pihaknya masih terus melakukan investigasi dan melaporkan temuan ke tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) yang dibentuk Kemenko Polhukam.
Yang juga penting lagi, pihaknya menjamin perlindungan korban ketika diperiksa menjadi saksi. Jika memang sampai ada restitusi (ganti rugi), maka LPSK akan mengawal sampai tuntas.
Perdebatan tentang berapa jumlah gas air mata yang ditembakkan saat tragedi Kanjuruhan masih berlangsung. Beberapa waktu lalu, The Washington Post menyebut ada 40 tembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan. Sementara Polri menyangkalnya, dan menyebut ada 11 tembakan gas air mata saat kerusuhan terjadi.
Meski begitu, beberapa Aremania yang menjadi saksi mata mulai angkat bicara. MI, salah satu korban tragedi Kanjuruhan menyebut ada tiga gas air mata yang ditembakkan saling berdekatan. “Di depan saya pas (ada tembakan gas air mata), semua itu berdekatan (jaraknya) dan langsung membuat mata perih,” jelasnya.
Remaja berusia 17 tahun itu yakin bila jumlah tembakan gas air mata lebih dari 11 kali. Sebab sebelum diarahkan ke tribun, gas air mata juga ditembakkan di lapangan. “Baru saat ditembak ke tribun ini kami panik,” tambah dia. (jpg)