27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 7:57 AM WIB

Tradisi Ngerebek, Cara Krama Kubutambahan Buleleng Tolak Bencana Alam

KUBUTAMBAHAN – Krama di Desa Pakraman Kubutambahan, kemarin (5/2) menggelar tradidi ngerebeg.

Tradisi ini hanya dilangsungkan lima tahun sekali. Ngerebeg juga menjadi upacara dengan tujuan menyeimbangkan alam, dengan harapan tak terjadi lagi bencana alam.

Sejak Rabu siang, krama di Kubutambahan mulai berkumpul di Pura Dalem Purwa Kubutambahan. Mereka membawa tombak. Baik itu tombak pusaka, maupun tombak yang dibuat dari bambu.

Selain itu prajuru desa juga menyiapkan seekor anak sapi (godel) dengan jenis kelamin betina. Hewan itu pun dililit dengan kain merah.

Upacara itu memang menggunakan sarana seekor sapi. Sapi merupakan sarana caru yang disampaikan pada Sang Kala Bang iringan Bhatara Dalem yang berstana di Pura Dalem Purwa.

Setelah melakukan persembahyangan di Pura Dalem Purwa, krama kemudian berjalan menuju Pura Segara Kubutambahan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Pura Dalem Purwa.

Sapi yang disiapkan juga diarak menuju Pura Segara. Sapi itu akan dijadikan sebagai sarana upacara di segara (pantai).

Begitu sampai di pantai, krama kembali melakukan persembahyangan. Sapi pun ditarik ke dekat titik pasang tertinggi.

Salah seorang prajuru kemudian menusuk sapi dengan keris pusaka. Begitu keris dicabut, giliran krama yang menusuk sapi itu dengan tombak.

Tombak yang telah terkena darah sapi kemudian dibawa pulang dan diletakkan di rumah atau kamar suci.

Tombak itu diyakini menjadi simbol penolak bala dari segala gangguan niskala. Sapi yang sudah mati kemudian ditenggelamkan di laut.

Kelian Desa Pakraman Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea mengatakan, ngerebeg merupakan salah satu rangkaian upacara di Desa Pakraman Kubutambahan.

Sebelum ngerebeg, diawali dengan upacara mabulu geles pada tilem kaenem dan ngelebarang pada tilem kapitu.

Selanjutnya ngerebeg digelar pada tilem kaulu. Menurut Warkadea, ngerebeg menjadi upacara untuk menyikapi fenomena alam yang disebabkan oleh panca maha bhuta.

Baik itu air pasang, angin ribut, erupsi gunung, kebakaran, banjir, maupun tanah longsor. “Kami meyakini fenomena alam itu sebagai panca baya. Artinya baya (musibah) yang

disebabkan panca maha bhuta. Makanya kami harus lakukan upacara ini sebagai upaya menetralisir. Mudah-mudahan tidak berlanjut,” ujarnya.

KUBUTAMBAHAN – Krama di Desa Pakraman Kubutambahan, kemarin (5/2) menggelar tradidi ngerebeg.

Tradisi ini hanya dilangsungkan lima tahun sekali. Ngerebeg juga menjadi upacara dengan tujuan menyeimbangkan alam, dengan harapan tak terjadi lagi bencana alam.

Sejak Rabu siang, krama di Kubutambahan mulai berkumpul di Pura Dalem Purwa Kubutambahan. Mereka membawa tombak. Baik itu tombak pusaka, maupun tombak yang dibuat dari bambu.

Selain itu prajuru desa juga menyiapkan seekor anak sapi (godel) dengan jenis kelamin betina. Hewan itu pun dililit dengan kain merah.

Upacara itu memang menggunakan sarana seekor sapi. Sapi merupakan sarana caru yang disampaikan pada Sang Kala Bang iringan Bhatara Dalem yang berstana di Pura Dalem Purwa.

Setelah melakukan persembahyangan di Pura Dalem Purwa, krama kemudian berjalan menuju Pura Segara Kubutambahan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Pura Dalem Purwa.

Sapi yang disiapkan juga diarak menuju Pura Segara. Sapi itu akan dijadikan sebagai sarana upacara di segara (pantai).

Begitu sampai di pantai, krama kembali melakukan persembahyangan. Sapi pun ditarik ke dekat titik pasang tertinggi.

Salah seorang prajuru kemudian menusuk sapi dengan keris pusaka. Begitu keris dicabut, giliran krama yang menusuk sapi itu dengan tombak.

Tombak yang telah terkena darah sapi kemudian dibawa pulang dan diletakkan di rumah atau kamar suci.

Tombak itu diyakini menjadi simbol penolak bala dari segala gangguan niskala. Sapi yang sudah mati kemudian ditenggelamkan di laut.

Kelian Desa Pakraman Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea mengatakan, ngerebeg merupakan salah satu rangkaian upacara di Desa Pakraman Kubutambahan.

Sebelum ngerebeg, diawali dengan upacara mabulu geles pada tilem kaenem dan ngelebarang pada tilem kapitu.

Selanjutnya ngerebeg digelar pada tilem kaulu. Menurut Warkadea, ngerebeg menjadi upacara untuk menyikapi fenomena alam yang disebabkan oleh panca maha bhuta.

Baik itu air pasang, angin ribut, erupsi gunung, kebakaran, banjir, maupun tanah longsor. “Kami meyakini fenomena alam itu sebagai panca baya. Artinya baya (musibah) yang

disebabkan panca maha bhuta. Makanya kami harus lakukan upacara ini sebagai upaya menetralisir. Mudah-mudahan tidak berlanjut,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/