MANGUPURA – Berawa Beach Arts Festival (BBAF) Tibubeneng Village tahun ini memasuki tahun kedua resmi dibuka Kamis (23/5) kemarin.
Mengusung Pasisi Lango, even tahunan ini akan menampilkan berbagai jenis kesenian selama pelaksanaannya hingga tanggal 26 Mei mendatang.
BBAF kali ini juga akan tetap mengejar rekor MURI, namun untuk tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya yang menampilkan tarian kolosal kecak yang melibatkan 5.555 siswi SMU dan SMK se Kabupaten Badung.
Rekor MURI yang mencoba dipecahkan yakni karya seni unik dengan membuat seni instalasi dari ulatan bambu berbentuk gurita raksasa yang juga akan menjadi panggung utama dari perayaan ini.
Selain itu, dalam even ini juga akan memperkenalkan karya seni tari maskot Desa Tibubeneng yang diberi nama tari Wasundhari.
Anggaran BBAF untuk tahun ini mencapai Rp 1,2 miliar. Jumlah ini sendiri setengah lebih kecil dari anggaran tahun lalu yang mencapai Rp 2,3 miliar.
Tilem Pastika, art director dan Koordinator Festival menuturkan, tarian maskot Wasundhari ini ditampilkan saat pembukaan BBAF.
Tarian ini, kata dia, merupakan lambang dari air yang ada di bumi pertiwi. Konsep tersebut didapat atas acuan sejarah Desa Tibubeneng.
Kata Tibubeneng sendiri memiliki dua unsur kata yang memiliki arti berbeda. Tibu sendiri dalam bahasa Bali memiliki arti sebuah bulakan atau kubangan air, sedangkan Neng memiliki arti kering.
“Jadi dulunya, Desa Tibubeneng terkenal dengan daerah kering. Padahal berada dekat dengan laut seperti Pantai Berawa ini, akan tetapi sumber aliran air tawar tidak ada,” tuturnya kemarin.
Saat itu, Tibubeneng di bawah kepemimpinan I Gusti Gede Mangku. Atas kondisi tersebut kata Tilem, sang raja melakukan semedi, atau tapa brata.
Saat menjalani tapa brata itu, raja tersebut mendapat pusaka yang kemudian pusaka tersebut menjadi pemecah atas kondisi kekeringan yang terjadi di Desa Tibubeneng.
“Dari persemedian itu, akhirnya Tibuan atau kubangan yang sebelumnya kering bisa keluar air. Dari sanalah kehidupan warga desa Tibubeneng mulai bergeliat,” jelasnya.
Mengacu dari cerita tersebut, karya tari ini mengangkat konsep tentang air sebagai wujud perwakilan Desa Tibubeneng.
“Bagaimana kesegaran tercipta. Jadi ini sebuah pengingat bagi pemimpin atau siapapun yang mengenal Desa Tibubeneng untuk bersifat
layaknya seperti air yang bisa meresap di segala bidang, menyejukan, bisa tegas dengan kederasannya, dan bisa tenang,” kata Tilem.
Tarian ini akan dimainkan oleh tujuh penari, konsepnya sendiri sudah dirancang sejak setahun lalu. Dari hasil usulan untuk membuat tarian kreasi untuk dijadikan maskot dengan melibatkan seniman-seniman tari lokal yang ada di Desa Tibubeneng.
“Pematangan konsepnya sendiri baru dilakukan sejak Januari awal tahun ini. Kemudian sudah mulai progres masalah iringan, baru masuk pada latihan tarinya.
Awalnya, ada usulan konsep tarian ini ingin mengangkat sosok I Gusti Gede Mangku, namun Tilem memberikan saran agar tarian
yang akan dipentaskan dalam berbagai acara ini selain berkaitan dengan identitas desa, juga gampang dipelajari karena untuk menyebarkan ke generasi selanjutnya.
“Jadi semua orang atau penari yang berasal dari desa Tibubeneng itu harus bisa menarikan, itu namanya tari maskot. Tidak susah dipelajari,” terangnya.
Dalam kesempatan itu, selain memperkenalkan tarian maskot, ada juga tarian kolosal bernama tari Baruna yang juga akan ditampilkan dalam acara BBAF 2019 ini.
Sebuah tarian kolosal untuk merespon tema gurita yang dikonsep oleh seniman asal Desa Tibubeneng yakni Ketut Putrayasa yang dalam hal ini gurita tersebut menjadi ikon dari BBAF 2019.
“Kami ingin mengampanyekan go green juga. Bahwa saat ini kondisi laut sudah tercemar dengan adanya sampah.
Makanya mengankat ikon gurita sebagai seni instalasi ini sebagai wujud sindiran bahwa gurita yang hidup di dasar laut sudah mulai muncul
ke permukaan karena kondisi dasar laut yang sudah tercemar oleh sampah,” tutup Made Dwijantara, selaku Ketua Panitia BBAF 2019 menimpali.