26.7 C
Jakarta
21 September 2024, 4:41 AM WIB

Melirik Daya Tarik Wisata Kawasan Bali Aga SCTPB, Kementerian Dorong Garap Konservasi Budaya

SINGARAJA – Para pegiat pariwisata dan budaya di Kawasan Bali Aga, Kecamatan Banjar, terlihat serius mendengar penjelasan dari Vinsensius Jemadu, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Pagi kemarin, Vinsen sengaja datang ke Buleleng. Dia menjadi salah satu pembicara kunci dalam acara focus group discussion (FGD) Pemetaan Desa Wisata Bali Aga, di Lovina Beach Club, Singaraja.

Kawasan Bali Aga Kecamatan Banjar sendiri terdiri atas lima desa. Yakni Desa Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa, dan Banyuseri. Seluruhnya merupakan desa bertetangga. Desa-desa itu punya sejarah panjang dan diyakini jadi pusat perkembangan kebudayaan pra Hindu.

Desa-desa itu memiliki budaya berupa tari-tarian sakral. Tari itu hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu dalam kalender Bali Aga. Selain itu beberapa tradisi yang unik dan otentik. Bukan hanya tradisi, di Desa Banyuseri juga terdapat beberapa tinggalan sejarah yang berkaitan dengan jejak sejarah keberadaan Kawasan tersebut.

“Kami lihat potensinya besar. Di Kawasan Bali Aga itu ada budaya asli. Jadi harus dibangun kebanggaan terhadap kebudayaan, kesenian, dan kearifan lokal. Sehingga budaya itu lestari, dan memberi dampak pada lingkungan dan ekonomi,” kata Vinsensius.

Merujuk hal tersebut, Kementerian Pariwisata pun melirik potensi kawasan tersebut. Vinsen mengatakan Bali sudah memiliki zonasi pariwisata. Dalam zonasi kawasan itu, wilayah Bali Timur ditetapkan sebagai wisata spiritual. Sedangkan Bali Utara menjadi kawasan pariwisata berbasis konservasi dan pertanian.

“Kita fokus pengembangannya pada hal itu. Bukan berarti potensi lain tidak dikembangkan. Tapi karena core value-nya di sana, kita prioritaskan itu. Karena kalau berhasil, value-nya dari wisata konservasi itu sangat luar biasa. Dalam hal ini di Bali Aga yang kita konservasi itu budaya,” jelasnya.

Lebih lanjut Vinsensius menjelaskan, pasca-pandemi terjadi perubahan tren pariwisata. Wisatawan cenderung ingin kembali ke alam. Mencari destinasi yang menyediakan udara bersih, budaya yang unik dan otentik, daya tarik yang sangat lokal, serta interaksi yang erat dengan masyarakat setempat. Hal itu hanya bisa disediakan desa wisata yang tak mengembangkan pariwisata massal.

Setelah FGD tersebut, kementerian berjanji akan memboyong sejumlah program bagi pengembangan destinasi di Bali Aga. Baik dalam hal promosi dan pengembangan pariwisata, serta pengembangan ekonomi kreatif.

Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Buleleng Gede Dody Sukma Oktiva Askara mengungkapkan, saat ini pegiat pariwisata di Kawasan Bali Aga membutuhkan penguatan. Baik dalam hal SDM, promosi, serta atraksi.

Menurutnya Bali Aga punya potensi besar menggaet wisatawan. Apalagi selama ini wisatawan mancanegara kerap datang ke wilayah tersebut untuk mengenal budaya, terlibat membuat kerajinan, serta berinteraksi dengan masyarakat.

“Mereka sudah menerima wisatawan sejak lama dan semakin intens sejak 2017. Sekarang tentu promosi yang harus gencar. Kami harap momentum G-20 ini memberikan dampak yang baik. Sehingga Desember nanti, pas high season, semakin banyak wisatawan yang datang,” demikian Dody. (eka prasetya/rid)

SINGARAJA – Para pegiat pariwisata dan budaya di Kawasan Bali Aga, Kecamatan Banjar, terlihat serius mendengar penjelasan dari Vinsensius Jemadu, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Pagi kemarin, Vinsen sengaja datang ke Buleleng. Dia menjadi salah satu pembicara kunci dalam acara focus group discussion (FGD) Pemetaan Desa Wisata Bali Aga, di Lovina Beach Club, Singaraja.

Kawasan Bali Aga Kecamatan Banjar sendiri terdiri atas lima desa. Yakni Desa Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa, dan Banyuseri. Seluruhnya merupakan desa bertetangga. Desa-desa itu punya sejarah panjang dan diyakini jadi pusat perkembangan kebudayaan pra Hindu.

Desa-desa itu memiliki budaya berupa tari-tarian sakral. Tari itu hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu dalam kalender Bali Aga. Selain itu beberapa tradisi yang unik dan otentik. Bukan hanya tradisi, di Desa Banyuseri juga terdapat beberapa tinggalan sejarah yang berkaitan dengan jejak sejarah keberadaan Kawasan tersebut.

“Kami lihat potensinya besar. Di Kawasan Bali Aga itu ada budaya asli. Jadi harus dibangun kebanggaan terhadap kebudayaan, kesenian, dan kearifan lokal. Sehingga budaya itu lestari, dan memberi dampak pada lingkungan dan ekonomi,” kata Vinsensius.

Merujuk hal tersebut, Kementerian Pariwisata pun melirik potensi kawasan tersebut. Vinsen mengatakan Bali sudah memiliki zonasi pariwisata. Dalam zonasi kawasan itu, wilayah Bali Timur ditetapkan sebagai wisata spiritual. Sedangkan Bali Utara menjadi kawasan pariwisata berbasis konservasi dan pertanian.

“Kita fokus pengembangannya pada hal itu. Bukan berarti potensi lain tidak dikembangkan. Tapi karena core value-nya di sana, kita prioritaskan itu. Karena kalau berhasil, value-nya dari wisata konservasi itu sangat luar biasa. Dalam hal ini di Bali Aga yang kita konservasi itu budaya,” jelasnya.

Lebih lanjut Vinsensius menjelaskan, pasca-pandemi terjadi perubahan tren pariwisata. Wisatawan cenderung ingin kembali ke alam. Mencari destinasi yang menyediakan udara bersih, budaya yang unik dan otentik, daya tarik yang sangat lokal, serta interaksi yang erat dengan masyarakat setempat. Hal itu hanya bisa disediakan desa wisata yang tak mengembangkan pariwisata massal.

Setelah FGD tersebut, kementerian berjanji akan memboyong sejumlah program bagi pengembangan destinasi di Bali Aga. Baik dalam hal promosi dan pengembangan pariwisata, serta pengembangan ekonomi kreatif.

Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Buleleng Gede Dody Sukma Oktiva Askara mengungkapkan, saat ini pegiat pariwisata di Kawasan Bali Aga membutuhkan penguatan. Baik dalam hal SDM, promosi, serta atraksi.

Menurutnya Bali Aga punya potensi besar menggaet wisatawan. Apalagi selama ini wisatawan mancanegara kerap datang ke wilayah tersebut untuk mengenal budaya, terlibat membuat kerajinan, serta berinteraksi dengan masyarakat.

“Mereka sudah menerima wisatawan sejak lama dan semakin intens sejak 2017. Sekarang tentu promosi yang harus gencar. Kami harap momentum G-20 ini memberikan dampak yang baik. Sehingga Desember nanti, pas high season, semakin banyak wisatawan yang datang,” demikian Dody. (eka prasetya/rid)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/