31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 12:11 PM WIB

Sawah Abadi di Menyusut Puluhan Hektare, Status WBD Jatiluwih Terancam

TABANAN – Lahan pertanian produktif yang ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) di Jatiluwih, Tabanan kondisinya sangat memprihatinkan.

Sejak ditetapkan tahun 2012 lalu sebagai WBD dan menjadi sawah abadi oleh Unesco, lahan pertanian yang berada di kawasan Jatiluwih terus menyusut hingga puluhan hektar.

Itu diungkapkan oleh Manager DTW Jatiluwih I Nengah Sutiryasa saat bertemu awak media Tabanan belum lama ini.

Menurutnya, berdasar data, ada 305 hektare lahan produktif yang ditetapkan Unesco menjadi sawah abadi.

Namun, kini terjadi penyusutan lahan menjadi 227 hektare. Penyusutan lahan produktif yang ada di Jatiluwih itu disebabkan karena berbagai persoalan.

Mulai dari alih fungsi lahan yang dulu pertanian menjadi bangunan fisik. Permasalahan ketersediaan sumber mata air yang debitnya

semakin berkurang, tidak beroperasinya irigasi dan belum dibangunnya bendungan di Desa Adat Gunung Sari, Jatiluwih.

“Permasalahan ini sudah kami ajukan dan laporkan ke pemerintah daerah dan pusat. Namun, sampai saat ini belum tertangani,” keluhnya.

Pihaknya berharap pemerintah lebih bijak menangani ini. Karena setiap tahun terjadi penyusutan lahan pertanian di kawasan Jatiluwih.

Selain itu lahan pertanian juga menjadi pendapatan ekonomi dan aktivitas masyarakat. “Ya, kami berharap segera ada penanganan terutama mencakup pembangunan bendungan untuk penyediaan air bagi pertanian,” ungkapnya.

Asisten I Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Tabanan I Wayan Miarsana tak menampik adanya penyusutan lahan pertanian di Jatiluwih.

Menurutnya, banyak faktor yang membuat lahan pertanian di Jatiluwih menyusut. Seperti jumlah penduduk yang bertambah di Jatiluwih sehingga membuat masyarakat membuat pemukiman.

Kemudian dibangunnya akomodasi pariwisata. Termasuk juga rusaknya saluran irigasi karena berada di daerah pegunungan.

“Untuk menekan penyusutan lahan kami sudah sampaikan kepada pemerintah desa, masyarakat dan pihak pengelola DTW Jatiluwih.

Sebelum adanya rencana detail tata ruang (RDTR) daerah wajib tidak ada pembangunan apapun. Artinya pemerintah Tabanan

komitmen untuk mempertahankan kelestarian subak di Jatiluwih dan dinyatakan status quo, tidak boleh adanya pembangunan,” ungkapnya.

RTDR ini nantinya akan memberikan jawaban kepada masyarakat Jatiluwih. Mana saja lahan atau daerah yang peruntukkan dan kelayakan untuk membangun di kawasan WBD.

“Sekarang RDTR masih dalam proses penggodokan di Pemkab Tabanan,” ucapnya. 

TABANAN – Lahan pertanian produktif yang ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) di Jatiluwih, Tabanan kondisinya sangat memprihatinkan.

Sejak ditetapkan tahun 2012 lalu sebagai WBD dan menjadi sawah abadi oleh Unesco, lahan pertanian yang berada di kawasan Jatiluwih terus menyusut hingga puluhan hektar.

Itu diungkapkan oleh Manager DTW Jatiluwih I Nengah Sutiryasa saat bertemu awak media Tabanan belum lama ini.

Menurutnya, berdasar data, ada 305 hektare lahan produktif yang ditetapkan Unesco menjadi sawah abadi.

Namun, kini terjadi penyusutan lahan menjadi 227 hektare. Penyusutan lahan produktif yang ada di Jatiluwih itu disebabkan karena berbagai persoalan.

Mulai dari alih fungsi lahan yang dulu pertanian menjadi bangunan fisik. Permasalahan ketersediaan sumber mata air yang debitnya

semakin berkurang, tidak beroperasinya irigasi dan belum dibangunnya bendungan di Desa Adat Gunung Sari, Jatiluwih.

“Permasalahan ini sudah kami ajukan dan laporkan ke pemerintah daerah dan pusat. Namun, sampai saat ini belum tertangani,” keluhnya.

Pihaknya berharap pemerintah lebih bijak menangani ini. Karena setiap tahun terjadi penyusutan lahan pertanian di kawasan Jatiluwih.

Selain itu lahan pertanian juga menjadi pendapatan ekonomi dan aktivitas masyarakat. “Ya, kami berharap segera ada penanganan terutama mencakup pembangunan bendungan untuk penyediaan air bagi pertanian,” ungkapnya.

Asisten I Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab Tabanan I Wayan Miarsana tak menampik adanya penyusutan lahan pertanian di Jatiluwih.

Menurutnya, banyak faktor yang membuat lahan pertanian di Jatiluwih menyusut. Seperti jumlah penduduk yang bertambah di Jatiluwih sehingga membuat masyarakat membuat pemukiman.

Kemudian dibangunnya akomodasi pariwisata. Termasuk juga rusaknya saluran irigasi karena berada di daerah pegunungan.

“Untuk menekan penyusutan lahan kami sudah sampaikan kepada pemerintah desa, masyarakat dan pihak pengelola DTW Jatiluwih.

Sebelum adanya rencana detail tata ruang (RDTR) daerah wajib tidak ada pembangunan apapun. Artinya pemerintah Tabanan

komitmen untuk mempertahankan kelestarian subak di Jatiluwih dan dinyatakan status quo, tidak boleh adanya pembangunan,” ungkapnya.

RTDR ini nantinya akan memberikan jawaban kepada masyarakat Jatiluwih. Mana saja lahan atau daerah yang peruntukkan dan kelayakan untuk membangun di kawasan WBD.

“Sekarang RDTR masih dalam proses penggodokan di Pemkab Tabanan,” ucapnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/