33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:50 PM WIB

Bangunan Liar Marak, WBD Jatiluwih Butuh Penataan

TABANAN – Maraknya bangunan liar mulai dari rumah makan, restoran, dan penginapan yang tidak mengantongi ijin di kawasan warisan budaya dunia (WBD) Jatiluwih perlu ditangani serius.

Fakta itu terungkap dari hasil inspeksi Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Penataan Kawasan Pemukiman (PUPRPKP) Tabanan beberapa saat lalu.

Manager Pengelola DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa mengatakan, sebenarnya bukan ranah pengelola DTW Jatiluwih mengomentari masalah ini.

Karena pihak pengelola hanya menangani masalah retribusi parkir, tiket masuk, dan aktivitas para wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih.

“Masalah pembangunan yang melanggar dan belum kantongi ijin masuk dalam ranah ke badan pengelola.

Dalam badan pengelola terdiri dari 5 unsur pihak yang akan mengambil kebijakan apakah boleh ada atau tidak pembangunan tersebut.

Yakni pihak desa dinas, subak Jatiluwih, subak Gunung Sari, pemda daerah dan pihak masyarakat yang dilibatkan,” terang Sutirtayasa.

Diakui Sutirtayasa, pembangunan saat ini di DTW Jatiluwih masih berada di rumah warga milik pribadi. Bukan berada dilahan pertanian.

Hanya saja ada beberapa bangunan yang begitu mencolok yakni empat lantai. “Kalau pembangunan tersebut belum kantongi ijin IMB kami tidak tahu. Itu sudah masuk dalam ranah perizinan di daerah,”  jelasnya.

Mengenai banyak dan bertambahnya pembangunan di kawasan Jatiluwih, manajemen Jatiluwih sebenarnya cukup khawatir. Karena imbas nantinya terhadap pariwisata.

Wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih sebenarnya hanya menikmati keindahan alam berupa hamparan persawahan dengan latar belakang Gunung Batukaru dan melihat sistem irigasi pertanian masyarakat Jatiluwih.

Kemudian banyak pembangunan lalu apa yang akan dinikmati para wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih.  

“Kami berharap pemerintah daerah segera berikan penataan pada kawasan Jatiluwih. Selanjutnya adanya aturan payung hukum yang mengatur tentang kawasan Jatiluwih,” bebernya.

Sementara itu, Nengah Wirata, Wakil Bendesa Adat Jatiluwih mengungkapkan, mengenai pembangunan 4 lantai dan bangunan lainnya yang melanggar itu masih berada di pekarangan rumah tinggal warga.

Saat ini 80 persen di kawasan Jatiluwih masih berupa lahan pertanian persawahan. Sisa rumah warga dan lahan tegalan.

“Sebenarnya kami sudah mendesak pemerintah segera buat aturan main terkait penataan kawasan Jatiluwih. Agar pembagunan yang ada di kawasan Jatiluwih tidak melanggar kawasan WBD,” ujarnya.

Mantan Kepada Desa Jatiluwih ini menambahkan, Jatiluwih hanya perlu penataan rencana detail tata ruang dan zoning regulation kawasan Jatiluwih (RDTR).

Kemudian aturan hukum berupa perda. “Hanya itu satu-satu solusi yang harus dijalankan,” tegasnya.

Dari masyarakat Jatiluwih sejak tahun 2012 sudah meminta kepada pemerintah daerah untuk membuat aturan pada kawasan Jatiluwih.

Tapi, hingga saat ini tidak ada aturan yang secara jelas menyangkut masalah pembangunan.

“Kami di masyarakat sudah membuat dan menerapkan pararem desa. Yakni masyarakat tidak boleh menjual dan mengalihkan lahan pertanian dalam bentuk sebuah bangunan.

Pararem tersebut hingga saat ini masih berjalan. Sejauh ini hanya itu yang kami bisa lakukan,” pungkasnya.

TABANAN – Maraknya bangunan liar mulai dari rumah makan, restoran, dan penginapan yang tidak mengantongi ijin di kawasan warisan budaya dunia (WBD) Jatiluwih perlu ditangani serius.

Fakta itu terungkap dari hasil inspeksi Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Penataan Kawasan Pemukiman (PUPRPKP) Tabanan beberapa saat lalu.

Manager Pengelola DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa mengatakan, sebenarnya bukan ranah pengelola DTW Jatiluwih mengomentari masalah ini.

Karena pihak pengelola hanya menangani masalah retribusi parkir, tiket masuk, dan aktivitas para wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih.

“Masalah pembangunan yang melanggar dan belum kantongi ijin masuk dalam ranah ke badan pengelola.

Dalam badan pengelola terdiri dari 5 unsur pihak yang akan mengambil kebijakan apakah boleh ada atau tidak pembangunan tersebut.

Yakni pihak desa dinas, subak Jatiluwih, subak Gunung Sari, pemda daerah dan pihak masyarakat yang dilibatkan,” terang Sutirtayasa.

Diakui Sutirtayasa, pembangunan saat ini di DTW Jatiluwih masih berada di rumah warga milik pribadi. Bukan berada dilahan pertanian.

Hanya saja ada beberapa bangunan yang begitu mencolok yakni empat lantai. “Kalau pembangunan tersebut belum kantongi ijin IMB kami tidak tahu. Itu sudah masuk dalam ranah perizinan di daerah,”  jelasnya.

Mengenai banyak dan bertambahnya pembangunan di kawasan Jatiluwih, manajemen Jatiluwih sebenarnya cukup khawatir. Karena imbas nantinya terhadap pariwisata.

Wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih sebenarnya hanya menikmati keindahan alam berupa hamparan persawahan dengan latar belakang Gunung Batukaru dan melihat sistem irigasi pertanian masyarakat Jatiluwih.

Kemudian banyak pembangunan lalu apa yang akan dinikmati para wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih.  

“Kami berharap pemerintah daerah segera berikan penataan pada kawasan Jatiluwih. Selanjutnya adanya aturan payung hukum yang mengatur tentang kawasan Jatiluwih,” bebernya.

Sementara itu, Nengah Wirata, Wakil Bendesa Adat Jatiluwih mengungkapkan, mengenai pembangunan 4 lantai dan bangunan lainnya yang melanggar itu masih berada di pekarangan rumah tinggal warga.

Saat ini 80 persen di kawasan Jatiluwih masih berupa lahan pertanian persawahan. Sisa rumah warga dan lahan tegalan.

“Sebenarnya kami sudah mendesak pemerintah segera buat aturan main terkait penataan kawasan Jatiluwih. Agar pembagunan yang ada di kawasan Jatiluwih tidak melanggar kawasan WBD,” ujarnya.

Mantan Kepada Desa Jatiluwih ini menambahkan, Jatiluwih hanya perlu penataan rencana detail tata ruang dan zoning regulation kawasan Jatiluwih (RDTR).

Kemudian aturan hukum berupa perda. “Hanya itu satu-satu solusi yang harus dijalankan,” tegasnya.

Dari masyarakat Jatiluwih sejak tahun 2012 sudah meminta kepada pemerintah daerah untuk membuat aturan pada kawasan Jatiluwih.

Tapi, hingga saat ini tidak ada aturan yang secara jelas menyangkut masalah pembangunan.

“Kami di masyarakat sudah membuat dan menerapkan pararem desa. Yakni masyarakat tidak boleh menjual dan mengalihkan lahan pertanian dalam bentuk sebuah bangunan.

Pararem tersebut hingga saat ini masih berjalan. Sejauh ini hanya itu yang kami bisa lakukan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/