33.9 C
Jakarta
24 November 2024, 17:23 PM WIB

Hotel Lavaya Bikin Private Beach, Parta: Memangnya Milik Moyang Loe?

MANGUPURA – Lavaya Nusa Dua jadi sorotan. Pasalnya, proyek yang berdiri di atas tanah seluas 2,1 hektar di daerah Tanjung Benoa mengusung konsep private residence. 

Lokasi yang berada tepat di pinggir pantai dengan tumpukan pasir putih dirancang sebagai private beach. 

Kontraktor Ardhi Persada Gedung juga mengklaim akan mengelola kawasan mangrove di lokasi tersebut menjadi kawasan private.

Rencana besar Lavaya, Nusa Dua disentil I Nyoman Parta, anggota Komisi VI PDI Perjuangan. Secara tersirat politisi asal Banjar Wangbung, 

Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar itu mengingatkan Lavaya agar tak sewenang-wenang di tanah Bali. “Private beach? Memangnya milik moyang lo?” ujar Parta, Senin (25/7) pagi.

Parta mengaku secara langsung sudah mengirim beberapa buah foto ke Bupati Badung, Nyoman Giri Prasta dan Wakil Bupati Badung Ketut Suiasa. 

Termasuk Ketua DPRD Badung Putu Parwata. Parta berpesan agar eksekutif dan legislatif Badung menegur perusahaan yang sedang membangun Hotel Lavaya. 

Sejauh ini, tahap pembangunan Hotel Lavaya sudah mencapai 5 lantai.  “Saya mengambil gambar ini kemarin Minggu (26/7) saat ikut menanam mangrove. 

Saya share ini untuk membangun kesadaran kolektif kita sebagai orang Bali bahwa harus menjaga pantainya, terutama masyarakat pesisir. 

Jangan sampai pantai menjadi wilayah khusus pemilik atau tamu yang masuk hotel,” ujar eks aktivis gerakan mahasiswa Indonesia di zaman Orde Baru itu.

Ironisnya, imbuh Parta, Bali juga seenaknya “dijual murah” demi kepentingan bisnis. Hal itu diulas dalam salah satu 

stasiun televisi swasta nasional yang menawarkan Lavaya Beach Nusa Dua dengan harga unit Rp 3,5 miliar, namun konsumen hanya membayar Rp 33 juta. 

“DP-nya hanya Rp 6 juta rupiah dan pembeli bisa memiliki bisnis properti senilai miliaran rupiah di Bali. 

Ini sungguh miris di tengah upaya Pemprov Bali mendesain pariwisata Bali yang berkualitas pasca pandemi Covid-19,” tegas politisi yang dikenal merakyat tersebut.

Parta menekankan persoalan tersebut mendesak di-clear-kan. Sebab kejadian serupa sering terjadi dan tak sedikit bisnis akomodasi pariwisata di Bali yang mengklaim kepemilikan wilayah pantai. 

Tak sedikit pula masyarakat lokal yang diusir karena menginjakkan kaki di wilayah yang diklaim private. 

“Hal seperti ini sudah sering terjadi. Tujuh bulan lalu saya sudah sampaikan protes terkait hal yang sama terhadap akomodasi vila di Tabanan.

Ada juga keributan warga dengan wisatawan yang menginap di akomodasi pinggir pantai di Buleleng. Gunung, sungai, laut melekat dengan tradisi beragama orang Hindu Bali. 

Sepanjang masih ada melasti, nyegara gunung, nganyut, nangluk merana, dan banyak tradisi lainnya, maka gunung, sungai, laut harus tetap menjadi wilayah milik umum,” tegas Parta.

Agar tidak terulang lagi di kemudian hari dan memicu polemik yang merugikan masyarakat lokal, Parta mengajak  seluruh warga Bali, khususnya warga adat untuk ikut mengawasi hal- hal seperti ini. 

Sekaligus tidak memberi ruang bagi pengusaha rakus dan tidak memikirkan dampak lingkungan. 

“Kepada eksekutif dan legislatif di seluruh Bali untuk memperhatikan hal ini. Begitu juga kepada masyarakat adat yang ada di pesisir,” pesannya.

Untuk menghindari adanya klaim di kemudian hari oleh sejumlah pihak, Parta juga mengingatkan agar pantai di seluruh Bali tetap menggunakan nama lokal Bali. 

Seperti Pantai Sanur, Pantai Lembeng, Pantai Gumicik, Pantai Lebih, dan lain-lain. Jelasnya nama-nama lokal itu di samping otentik juga mengandung pesan bahwa wilayah pantai tetap menjadi milik umum.

“Kepada pihak Lavaya Hotel saya minta agar  mencabut tiang besi yang  dipasang di pantai dan tidak lagi mempromosikan pantai sebagai private beach. 

Kepada Bendesa Adat  Tengkulung Kelurahan Benoa agar segera menyikapi. Sesuai pembicaraan kita kemarin (Minggu, 26/7) kembalikan ke nama lokal, Pantai Telaga Waja,” ungkapnya. 

MANGUPURA – Lavaya Nusa Dua jadi sorotan. Pasalnya, proyek yang berdiri di atas tanah seluas 2,1 hektar di daerah Tanjung Benoa mengusung konsep private residence. 

Lokasi yang berada tepat di pinggir pantai dengan tumpukan pasir putih dirancang sebagai private beach. 

Kontraktor Ardhi Persada Gedung juga mengklaim akan mengelola kawasan mangrove di lokasi tersebut menjadi kawasan private.

Rencana besar Lavaya, Nusa Dua disentil I Nyoman Parta, anggota Komisi VI PDI Perjuangan. Secara tersirat politisi asal Banjar Wangbung, 

Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar itu mengingatkan Lavaya agar tak sewenang-wenang di tanah Bali. “Private beach? Memangnya milik moyang lo?” ujar Parta, Senin (25/7) pagi.

Parta mengaku secara langsung sudah mengirim beberapa buah foto ke Bupati Badung, Nyoman Giri Prasta dan Wakil Bupati Badung Ketut Suiasa. 

Termasuk Ketua DPRD Badung Putu Parwata. Parta berpesan agar eksekutif dan legislatif Badung menegur perusahaan yang sedang membangun Hotel Lavaya. 

Sejauh ini, tahap pembangunan Hotel Lavaya sudah mencapai 5 lantai.  “Saya mengambil gambar ini kemarin Minggu (26/7) saat ikut menanam mangrove. 

Saya share ini untuk membangun kesadaran kolektif kita sebagai orang Bali bahwa harus menjaga pantainya, terutama masyarakat pesisir. 

Jangan sampai pantai menjadi wilayah khusus pemilik atau tamu yang masuk hotel,” ujar eks aktivis gerakan mahasiswa Indonesia di zaman Orde Baru itu.

Ironisnya, imbuh Parta, Bali juga seenaknya “dijual murah” demi kepentingan bisnis. Hal itu diulas dalam salah satu 

stasiun televisi swasta nasional yang menawarkan Lavaya Beach Nusa Dua dengan harga unit Rp 3,5 miliar, namun konsumen hanya membayar Rp 33 juta. 

“DP-nya hanya Rp 6 juta rupiah dan pembeli bisa memiliki bisnis properti senilai miliaran rupiah di Bali. 

Ini sungguh miris di tengah upaya Pemprov Bali mendesain pariwisata Bali yang berkualitas pasca pandemi Covid-19,” tegas politisi yang dikenal merakyat tersebut.

Parta menekankan persoalan tersebut mendesak di-clear-kan. Sebab kejadian serupa sering terjadi dan tak sedikit bisnis akomodasi pariwisata di Bali yang mengklaim kepemilikan wilayah pantai. 

Tak sedikit pula masyarakat lokal yang diusir karena menginjakkan kaki di wilayah yang diklaim private. 

“Hal seperti ini sudah sering terjadi. Tujuh bulan lalu saya sudah sampaikan protes terkait hal yang sama terhadap akomodasi vila di Tabanan.

Ada juga keributan warga dengan wisatawan yang menginap di akomodasi pinggir pantai di Buleleng. Gunung, sungai, laut melekat dengan tradisi beragama orang Hindu Bali. 

Sepanjang masih ada melasti, nyegara gunung, nganyut, nangluk merana, dan banyak tradisi lainnya, maka gunung, sungai, laut harus tetap menjadi wilayah milik umum,” tegas Parta.

Agar tidak terulang lagi di kemudian hari dan memicu polemik yang merugikan masyarakat lokal, Parta mengajak  seluruh warga Bali, khususnya warga adat untuk ikut mengawasi hal- hal seperti ini. 

Sekaligus tidak memberi ruang bagi pengusaha rakus dan tidak memikirkan dampak lingkungan. 

“Kepada eksekutif dan legislatif di seluruh Bali untuk memperhatikan hal ini. Begitu juga kepada masyarakat adat yang ada di pesisir,” pesannya.

Untuk menghindari adanya klaim di kemudian hari oleh sejumlah pihak, Parta juga mengingatkan agar pantai di seluruh Bali tetap menggunakan nama lokal Bali. 

Seperti Pantai Sanur, Pantai Lembeng, Pantai Gumicik, Pantai Lebih, dan lain-lain. Jelasnya nama-nama lokal itu di samping otentik juga mengandung pesan bahwa wilayah pantai tetap menjadi milik umum.

“Kepada pihak Lavaya Hotel saya minta agar  mencabut tiang besi yang  dipasang di pantai dan tidak lagi mempromosikan pantai sebagai private beach. 

Kepada Bendesa Adat  Tengkulung Kelurahan Benoa agar segera menyikapi. Sesuai pembicaraan kita kemarin (Minggu, 26/7) kembalikan ke nama lokal, Pantai Telaga Waja,” ungkapnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/