28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:59 AM WIB

Efek Covid Luar Biasa, PHRI: Puluhan Hotel & Restoran di Badung Dijual

MANGUPURA – Pandemi covid-19 berjalan sekitar satu tahun tiga bulan. Dampaknya perekonomian masyarakat lumpuh.

Tak heran banyak hotel dan restoran ditutup. Parahnya, di Badung ada sekitar 50-an hotel dan restoran pailit dan terpaksa dijual.

Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Agung Rai Suryawijaya, banyaknya aset hotel dan restoran di Badung yang dijual disebabkan karena pemasukan tidak ada, sedangkan biaya operasional tinggi. 

“Sampai saat ini hotel dan restoran yang sudah dijual dan pailit ada sekitar 50-an. Pandemi ini sangat berdampak, karena setahun tiga bulan ini betul-betul tanpa penghasilan,” ujar Agung Rai.

Kata dia, biaya operasional hotel dalam sebulan tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Karena untuk hotel bintang tiga dengan 100 kamar dalam kondisi buka diperlukan biaya operasional mencapai Rp 300 juta sampai Rp 400 juta.

Sedangkan dalam keadaan tutup diperlukan biaya minimal Rp 50 juta sampai Rp 100 juta untuk perawatan seluruh aset.

Sedangkan pendapatan sudah tidak ada, karena tamu sepi. “Kalau dilihat dari tingkat hunian yang saat ini hanya 10 persen dari jumlah kamar yang tersedia di Bali melebihi 146 ribu.

Kalau diisi 7.000 – 9.000 wisatawan itu jumlahnya masih sangat sedikit, tentunya tidak sebanding,” beber Agung Rai yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Badung ini.

Kata dia, penjualan hotel ini tentunya tak dapat memberikan keuntungan baik bagi pemilik maupun karyawan.

Sebab hotel yang dijual sudah pasti dengan harga yang lebih rendah dari harga normal sebelum pandemi. “

Di kondisi normal harga hotel dapat mencapai Rp 100 miliar, kalau sekarang harganya turun sampai 20 persen. Anggaplah mampu menjual Rp 75 miliar sampai Rp 85 miliar,

itu akan habis untuk biaya makan dan untuk memberikan pesangon kepada pegawai. Itu kan kewajiban dari pemilik dan manajemen hotel”, paparnya.

Sementara ada  beberapa upaya agar kunjungan wisatawan meningkat. Terlebih agar hotel mampu break even point atau tidak untung dan tidak rugi diperlukan minimal 40 persen tingkat hunian.

“Ada tiga langkah strategis, yakni vaksinasi minimal 70 persen, open border dan stimulus dari pemerintah pusat,” bebernya,

Selain itu, kasus covid-19 yang kembali meningkat di Bali membuat harapan dibukanya pariwisata internasional dalam waktu dekat, pupus.

Tak sedikit pelaku industri pariwisata yang kecewa dan gigit jari dengan isu tersebut. Namun mereka pun hanya bisa bersabar dan tak bisa berbuat banyak lantaran pemerintah sebagai pemegang kebijakan.

“Jujur saja, rasa kecewa pasti ada. Karena kami sangat-sangat berharap (pembukaan pariwisata internasional).

Walaupun kita sadar dengan dibukanya pariwisata, tidak serta merta langsung bisa mendatangkan banyak wisatawan,” ungkapnya.

Padahal selama tiga bulan terakhir, persiapan untuk pembukaan pariwisata internasional terus dimatangkan.

Salah satunya Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability). “Tapi apapun yang terjadi memang itu adalah kewenangan dari pemerintah sebagai regulator.

Kalau regulasi mengatakan belum bisa dilaksanakan, industri pariwisata tidak bisa bilang apa. Hanya bisa sabar,” pungkasnya.

MANGUPURA – Pandemi covid-19 berjalan sekitar satu tahun tiga bulan. Dampaknya perekonomian masyarakat lumpuh.

Tak heran banyak hotel dan restoran ditutup. Parahnya, di Badung ada sekitar 50-an hotel dan restoran pailit dan terpaksa dijual.

Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Agung Rai Suryawijaya, banyaknya aset hotel dan restoran di Badung yang dijual disebabkan karena pemasukan tidak ada, sedangkan biaya operasional tinggi. 

“Sampai saat ini hotel dan restoran yang sudah dijual dan pailit ada sekitar 50-an. Pandemi ini sangat berdampak, karena setahun tiga bulan ini betul-betul tanpa penghasilan,” ujar Agung Rai.

Kata dia, biaya operasional hotel dalam sebulan tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Karena untuk hotel bintang tiga dengan 100 kamar dalam kondisi buka diperlukan biaya operasional mencapai Rp 300 juta sampai Rp 400 juta.

Sedangkan dalam keadaan tutup diperlukan biaya minimal Rp 50 juta sampai Rp 100 juta untuk perawatan seluruh aset.

Sedangkan pendapatan sudah tidak ada, karena tamu sepi. “Kalau dilihat dari tingkat hunian yang saat ini hanya 10 persen dari jumlah kamar yang tersedia di Bali melebihi 146 ribu.

Kalau diisi 7.000 – 9.000 wisatawan itu jumlahnya masih sangat sedikit, tentunya tidak sebanding,” beber Agung Rai yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Badung ini.

Kata dia, penjualan hotel ini tentunya tak dapat memberikan keuntungan baik bagi pemilik maupun karyawan.

Sebab hotel yang dijual sudah pasti dengan harga yang lebih rendah dari harga normal sebelum pandemi. “

Di kondisi normal harga hotel dapat mencapai Rp 100 miliar, kalau sekarang harganya turun sampai 20 persen. Anggaplah mampu menjual Rp 75 miliar sampai Rp 85 miliar,

itu akan habis untuk biaya makan dan untuk memberikan pesangon kepada pegawai. Itu kan kewajiban dari pemilik dan manajemen hotel”, paparnya.

Sementara ada  beberapa upaya agar kunjungan wisatawan meningkat. Terlebih agar hotel mampu break even point atau tidak untung dan tidak rugi diperlukan minimal 40 persen tingkat hunian.

“Ada tiga langkah strategis, yakni vaksinasi minimal 70 persen, open border dan stimulus dari pemerintah pusat,” bebernya,

Selain itu, kasus covid-19 yang kembali meningkat di Bali membuat harapan dibukanya pariwisata internasional dalam waktu dekat, pupus.

Tak sedikit pelaku industri pariwisata yang kecewa dan gigit jari dengan isu tersebut. Namun mereka pun hanya bisa bersabar dan tak bisa berbuat banyak lantaran pemerintah sebagai pemegang kebijakan.

“Jujur saja, rasa kecewa pasti ada. Karena kami sangat-sangat berharap (pembukaan pariwisata internasional).

Walaupun kita sadar dengan dibukanya pariwisata, tidak serta merta langsung bisa mendatangkan banyak wisatawan,” ungkapnya.

Padahal selama tiga bulan terakhir, persiapan untuk pembukaan pariwisata internasional terus dimatangkan.

Salah satunya Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability). “Tapi apapun yang terjadi memang itu adalah kewenangan dari pemerintah sebagai regulator.

Kalau regulasi mengatakan belum bisa dilaksanakan, industri pariwisata tidak bisa bilang apa. Hanya bisa sabar,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/